"Dear hati ...
Mengapa kau begitu buta? Padahal kau tahu dia sudah berkeluarga. Mengapa masih menaruh harapan besar kepadanya?"
Hati tak bisa memilih, pada siapa ia akan berlabuh.
Harapan untuk mencintai pria yang juga bisa membalas cintanya harus pupus begitu ia mengetahui pria itu telah berkeluarga.
Hatinya tak lagi bisa berpaling, tak bisa dialihkan. Cintanya telah bercokol terlalu dalam.
Haruskah ia merelakan cinta terlarang itu atau justru memperjuangkan, namun sebagai orang ketiga?
~Secretly Loving You~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 34 - Kamu Mau?
Dua pria terlibat dalam obrolan yang santai namun juga serius. Sesekali pria yang lebih tua menepuk punggung pria yang lebih muda. Dari gestur tubuhnya, sepertinya dia tengah memberi wejangan. Pria muda menanggapi dengan mengangguk-anggukan kepala. Beberapa saat kemudian, keduanya tertawa bersama.
"Sudah, jangan dilihat terus. Nanti matamu bintitan, Nduk." Sebuah tangan menutupi mata. Menghalangi pandanganku dalam melihat calon suami.
"Ih, Ibu ...." Kami berada di ruang tengah. Baru saja pulang dari check up. Sementara Pak Armand dan Ayah ada di ruang tamu.
"Kamu suka ya Nduk? Sama bosmu itu?" tanya Ibu sembari menyisir rambutku dengan jemari tangannya.
"Terlalu keliatan ya, Bu?" Aku memandang Ibu dengan wajah memelas. Ibu beralih mengelus wajahku sembari mengangguk.
"Ya wajar kalau kamu suka Nduk. Bosmu orangnya sangat baik. Perhatian terhadap bawahannya. Tapi, sebagai perempuan, kamu harus punya harga diri. Meskipun suka, jangan terlalu menunjukkan, ditahan. Mengerti?" Ibu merangkum wajahku, menekankan setiap perkataannya. Memastikan bahwa aku harus mematuhi setiap ucapannya.
"Enggeh, Bu."
"Ibu tidak tahu niat dia. Sekedar tanggung jawab atau memang ada niat lebih. Tapi, sebelum dia datang kemari bersama orangtuanya dan memintamu untuk menjadi istrinya, Ibu akan tetap melarangmu untuk terlalu dekat dengannya. Mengerti, Nduk?"
"Yah, masa nggak boleh dekat, Bu?"
"Tidak boleh."
"Nay kan kerjanya ketemu beliau tiap hari, Bu. Masa nggak boleh dekat?"
"Dekat dalam pekerjaan tidak apa-apa. Tapi tidak boleh lebih. Kamu adalah wajah kami. Jaga martabatmu, kamu juga akan menjaga martabat kami. Mengerti?" Mau tidak mau aku menganggukkan kepala.
"Kamu juga aneh, Nduk. Dari SMA sudah banyak yang melamar. Dari anak kades, juragan tembakau, anak polisi, ada anak pak tentara juga. Tapi semuanya kamu tolak. Dengan alasan masih mau kuliah. Lah sekarang malah suka sama bos sendiri, yang belum jelas juga perasaannya seperti apa ...."
"Ya namanya hati Bu. Tidak bisa memilih akan berlabuh pada siapa," jawabku sok bijak yang berakhir dengan cubitan di lengan.
***
Sudah dua minggu aku tidak masuk kerja. Selama dua minggu itu pula, Pak Armand selalu datang ke rumah ketika hari Sabtu dan Minggu tiba. Beliau selalu mengantarku check up. Minggu ini jahitanku sudah bisa dilepas, sehingga aku bisa masuk kerja.
Mungkin karena terlalu lama tidak masuk kerja, ada perasaan yang sangat canggung dan tidak enak hati. Namun perasaan-perasaan itu hilang ketika partner kerja menyambut dengan baik. Diantara wajah-wajah yang menanyakan kondisiku, hanya satu wajah yang tak terlihat. Ya, dia adalah Pak Armand. Bahkan ketika aku naik ke lantai dua dan duduk di kursiku, aku tak melihat batang hidungnya.
"Pak Armand dimana?" tanyaku pada salah satu marketing funding.
"Ada di ruangannya," jawabnya sembari wajahnya mengangguk ke arah ruangan Pak Armand.
"Beliau tahu aku sudah masuk?" tanyaku lagi. Kali ini aku hanya mendapat jawaban angkat bahu.
Huh, sudah tahu aku masuk hari ini. Kenapa dia tidak menyapaku? Padahal sudah kubuatin salad.
Aku memutuskan untuk ke ruang Pak Armand sembari membawa salad di tangan. Aku mengetuk pintu secara perlahan. Tak berapa lama, terdengar jawaban dari dalam.
"Masuk." Aku membuka pintu dan melongokkan kepala. Di tengah ruangan, aku melihat Pak Armand tengah memandangi monitor. Terlihat tak peduli dengan kedatanganku.
"Pak ...," sapaku. Mendengar suaraku, dia melongokkan kepala sebentar sebelum akhirnya kembali menatap monitor.
"Oh, kamu, Ar," jawabnya acuh tak acuh.
"Saya sudah masuk, Pak."
"Aku tahu. Aku sudah kirim email semua pekerjaanmu. Sebelum keluar, bawa semua pekerjaanmu itu." Dia mengedikkan kepala ke atas meja yang berisi tumpukan berkas.
"Jadi, Bapak mengusir saya?"
"Memang kamu masih mau di sini? Bukannya tujuanmu ke sini untuk mengambil alih pekerjaanmu?"
Hah, rasanya kesal sekali. Kenapa Pak Armand menjadi kaku lagi? Kemana sosok yang tertawa dengan dua lesung pipi itu?
"Ya. Tujuan saya kemari memang untuk mengambil alih pekerjaan. Terima kasih sudah menggantikan pekerjaan saya selama saya tidak masuk," jawabku ketus sembari mengambil tumpukan berkas. Menghentakkan kaki dan berbalik.
"Kamu mau kemana?"
"Keluar. Bukannya Bapak menyuruh saya untuk keluar?!"
"Ya, kamu boleh keluar. Tapi, tinggalkan apa yang kamu bawa itu di sini." Pak Armand melongokkan kepala sembari menunjuk salad yang kubawa.
Aku bersiap untuk membantah, namun keinginan itu pudar begitu mataku bersitatap dengan dua bola mata tajam yang berbinar jenaka dengan bibir dikulum menahan senyum. Sedikit lagi, dua lesung pipi itu akan muncul. Ya Tuhan, aku akan meleleh kalau seperti ini terus!
"Dasar bos jahat!" ucapku sembari meletakkan salad di atas meja dan beranjak pergi. Aku mendengar gelak tawanya.
"Kerja yang benar, Ar."
***
Aku pikir Pak Armand sudah berubah menjadi kaku lagi, namun ternyata tidak. Baiklah, di depan semua orang, sikapnya memang tidak berubah. Dia tetap kaku seperti kanebo kering. Tidak ada senyum, tegas, disiplin dan dingin. Namun, ketika kami hanya berdua, dia sering bercanda yang berakhir dengan gelak tawa.
Sikapnya yang terkadang usil, suka bercanda dan tertawa hanya ditunjukkan di depanku. Salahkah bila aku menafsirkannya secara berbeda? Salahkah bila aku menganggap bahwa diriku spesial di depannya? Salahkah bila aku menafsirkannya memiliki perasaan yang sama?
Pemikiran-pemikiran seperti itu acapkali bergelayut di kepala. Sebenarnya, seperti apa perasaannya terhadapku? Mengapa dia tidak pernah mengutarakannya? Haruskah aku dulu yang mengatakannya?
Ah, tidak, tidak. Menurut pesan Ibu, aku tidak boleh terlalu menunjukkan perasaan. Sebelum ada sikap yang jelas dari Pak Armand, aku harus memendam perasaan ini. Mungkin yang bisa kulakukan saat ini adalah memberikan perhatian semampu yang kubisa.
***
Layaknya anak sekolah yang sedang melakukan backstreet relationship, secara diam-diam aku membuatkan bekal. Kami memakan bekal itu bersama ketika para penghuni kantor sedang istirahat.
Di depan para staff yang lain, sikap kami biasa-biasa saja. Pak Armand bersikap kaku dan dingin ketika memberi perintah dan tugas. Namun, ketika kami hanya berdua, dia menunjukkan sikap yang berbeda.
"Gimana rasanya, Pak?"
"Hmm." Pak Armand mengacungkan kedua jempolnya sembari menyesapi sayap ayam yang dibaluri dengan cabe hijau.
"Em, ayam apa ini?"
"Namanya ayam sungkem. Enak, Pak?"
"Enak. Good." Lagi-lagi beliau mengacungkan kedua jempolnya. Mendapat pujian seperti itu membuatku melayang. Membuatkan bekal setiap hari membuatku spesial. Aku merasa seperti seorang istri yang membuatkan bekal suaminya. Apalagi bila pria itu memakannya dengan lahap dan memuji masakan yang kubuat.
"Sepertinya kamu tidak cocok kerja di bank."
"Terus? Cocoknya?"
"Masak kali ya. Masakanmu enak-enak." Pak Armand tidak berhenti mengunyah. Aku tahu Pak Armand sangat menyukai pedas, sehingga hampir tiap hari aku membuat menu pedas untuk menyenangkan hatinya.
"Saya tidak mau masak untuk orang lain, Pak."
"Bukannya aku orang lain? Kenapa kamu memasak untukku?"
"Ya, kalau Bapak, beda."
"Beda gimana?"
"Saya mau memasak hanya untuk Bapak. Di rumah Bapak. Apakah boleh?" Hah, pertahananku untuk tidak terlalu menunjukkan perasaan berakhir sudah. Secara tidak langsung, aku sudah menyatakan perasaanku. Pria yang pintar seperti Pak Armand, pasti bisa menangkap maksudku dengan jelas.
Aku menundukkan kepala sembari bermain-main dengan suwiran ayam di tangan, sama sekali tidak berani menatap wajah Pak Armand. Jantungku berdebar sangat kencang, menunggu jawaban yang akan terlontar.
"Kamu mau?" Dua kata yang berhasil membuatku tercengang.
***
Happy Reading 🥰