Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Bus Mogok
Jam istirahat berakhir, dan rumor tentang Arum yang entah dari mana datangnya itu tetap mengudara seperti asap knalpot yang tak pernah hilang. Namun setelah memarahi seisi koridor tadi, Arum kembali ke kelas dengan kepala tegak, bahkan sempat mengancam satu anak laki-laki yang kedapatan meliriknya sambil cekikikan.
Bel masuk berdentang. Sebagian besar murid langsung bungkam saat Arum melangkah masuk, seolah takut kalau dia akan melempar meja seperti kucing liar melempar vas. Padahal Arum hanya duduk, membuka buku, dan menguap panjang. Dia bahkan tidak peduli kalau seisi kelas masih menatapnya dari ujung mata.
Hari berlalu pelan, hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Teman-temannya bubar satu-satu, kecuali Amanda yang masih sibuk mengikat rambut.
“Rum, lu pulang naik apa? lu nunggu tante lu nggak tuh?” tanya Amanda sambil melirik ke jendela.
Arum langsung manyun. “Bukan sama tante gua Amanda gua naik bus, udah di kasih duit juga tidak boleh manjahh yaa.”ungkap Arum dengan kalimat nya yang alay.
“Waduh kenapa tidak naik kapal terbang saja, apa cita cita mu? Kapal lautt,” sindir Amanda dengan nada khas anak kecil di vidio yang di tonton sambil tertawa puas.
Arum mendesah panjang dan menepuk pundaknya. “Udah ah, gua pulang naik bus. Biar normal.”
Dia berjalan keluar gerbang sekolah, mengabaikan banyak tatapan yang seolah memindai dari ujung rambut sampai ujung sepatunya. Di seberang jalan, terlihat Jeff berdiri di samping mobil hitam tadi, tapi Arum langsung menunduk dan berpura-pura sibuk mengaduk-aduk isi tas.
Lalu… kabur.
“Loh nona kok malah pergi? Kan aku di suruh Tuan jemput dia, apa tuan ga bilang ya?”gumam Jeff dengan bingung dan heran.
Jeff sampai melongo kecil, tapi tidak mengejar. Mungkin sudah biasa dengan tingkah Arum yang seperti rakun liar itu. Bus akhirnya datang. Dengan bangga Arum naik, mengedarkan pandangan penuh kemenangan.
“Tuh kan,” gumamnya sambil duduk, “nggak semua harus naik mobil mewah.”
Dia membuka chat dengan Alaska, sekadar melihat apakah pria itu membalas pesan siang tadi. Tentu saja tidak. Alaska memang tidak pernah membalas hal-hal tidak penting. Arum mendecak dan mematikan layar.
Lima belas menit berlalu.
Bus bergetar aneh. Lalu melambat. Lalu—
Brak.
Berhenti total.
Lampu mati. Mesin mati. Sopir turun sambil garuk-garuk kepala seperti kehilangan napas hidupnya.
“Maaf ya semua, mesin mati. Kayaknya nunggu bus berikutnya.”ucap supir itu dengan keras nya.
Semua penumpang keluar satu-satu. Arum ikut turun dan memeluk tasnya. Angin sore menerpa wajahnya. Dia melirik jam.
Bus berikutnya… sejam lagi. Dan itu pun kalau tidak telat.
“Ngeselin,” gumamnya sambil menghentak kaki.
Dia berdiri sendirian di pinggir jalan desa di antara kebun, rumah-rumah jarang, dan suara jangkrik padahal matahari belum tenggelam. Dia membuka hp barunya, menatap daftar kontak.
Farel. Amanda. Tia. Dilan. … dan A.
Nama itu menatap balik seperti pengingat takdir. Yaudah sih sepertinya tidak ada yang bisa dia minta tolongi lagi kalau bukan Alaska.
“Kenapa sih cuma nomor kak Alaska itu yang bisa diandalkan,” gerutu Arum, tapi jarinya tetap menekan kontak A.
Tersambung.
“Halo,” suara Alaska terdengar datar, menekan, seperti malam hari menekan angin.
Arum hampir menjatuhkan hp. “Eh—ka—kak… saya… bus-nya mati…”
“Lokasi.”
Singkat. Tanpa ‘kamu kenapa’, tanpa ‘tunggu di situ’, tanpa nada khawatir yang biasanya ada di drama-drama TV. Tapi entah kenapa kata itu saja membuat dada Arum terasa aman.
Dia menyebutkan lokasi. Alaska memutus telepon tanpa basa-basi.
Tak sampai lima belas menit, suara mesin mobil mahal terdengar. Lampunya menyorot Arum yang berdiri dekat halte kecil. Alaska turun dari mobil.
Rambutnya masih rapi, wajahnya tetap datar, tapi sorot matanya… tajam. Tegas. Seperti marah, tapi bukan marah yang meledak-ledak lebih ke marah khawatir.
“Kenapa kau tidak menunggu Jeff?” suaranya rendah, tapi membuat Arum otomatis mengecil.
“Ka—kak… aku cuma mau pulang sendiri. Biar nggak dikira aneh-aneh orang… soalnya udah banyak yang omongin aku tau, kesal pengen aku pukul satu satu,”frustrasi Arum seolah Alaska tidak tau apa yang di maksud gadis itu.
“Kau membuat masalah untuk dirimu sendiri,” potong Alaska. “Masuk.”
Arum membuka pintu ikut Jeff yang duduk di kursi depan. Begitu Arum masuk, lampu motor dari jalan samping melintas. Dua murid dari sekolah Arum naik ojek, melihat persis ketika Arum duduk di mobil Alaska. Anak itu langsung menepuk temannya.
“Eh, itu Arum…”
“Gila… cowoknya tinggi banget… mobilnya mahal…”
“Pantesan dia punya hp baru…”
Arum tidak dengar. Tapi tentu saja rumor itu akan terbang cepat. Mobil berjalan mulus. Arum duduk kaku, memeluk tas seperti koala. Alaska melirik sekilas. Mau bagaimana lagi dia tidak ada pilihan lain.
“Kenapa wajahmu merah?”
“PANAS!” jawab Arum cepat.
Jeff sampai batuk menahan tawa.
“Kalau panas, lain kali kubelikan kipas kecil, lagi pula AC di mobil mahal ini bisa saja aku bikin suhu nya sam dengan kutub utara” ujar Alaska datar.
“Ngapain! Saya normal kok! Ini bukan panas itu panas matahari!”
“Memangnya ada panas jenis lain?” tanya Alaska tanpa ekspresi.
Arum hanya menenggelamkan wajah ke tas. Memalukan. Mansion Arnolda terlihat megah ketika mereka sampai. Arum turun, hendak kabur ke dapur, tapi Alaska memanggil.
“Arum.”
Gadis itu berhenti, pelan-pelan menoleh.
“Jika kau pulang telat, atau ada masalah, hubungi aku,” ucap Alaska sambil menatap lurus.
“Loh… kok jadi begitu?” tanya Arum bingung.
“Aku tidak suka kau berjalan sendirian di tempat gelap.”
Kalimat itu menusuk Arum seperti petasan kecil yang tiba-tiba pecah di dada. Gadis itu mengedip beberapa kali.
“K-kak… kok jadi perhatian?” tanya Arum pelan, seolah takut.
“Aku tidak perhatian,” bantah Alaska cepat.
“Lalu apa?” “Aku yang membiayai hidupmu. Jika terjadi sesuatu padamu, itu menyulitkan.”
Arum terdiam.
“…Kak, itu lebih kasar daripada bilang peduli tau.”
“Aku sedang berkata jujur.”
Arum mendengus dan pergi sambil merutuki hidup. Tapi pipinya tetap merah.
Malam itu, di ruang keluarga, Alaska membaca dokumen sambil minum kopi. Jeff berdiri tidak jauh, mencatat sesuatu. Arum lewat dengan celemek pinknya, membawa nasi goreng laut buatan sendiri.
“Kak! Makan dulu! Tadi saya bikin waktu menunggu Kak pulang!”
“Aku tidak meminta,” jawab Alaska.
“Tapi kak makan!” bentak Arum.
Jeff menunduk menahan tawa.
Alaska mendesah… lalu mengambil piring itu.
Dan makan. Arum tersenyum kecil, sangat kecil, sebelum berbalik dan pura-pura sibuk mencuci piring.
Jeff memandang keduanya, lalu berbisik lirih ketika Arum sudah pergi:
“Tuan Alaska… anda sadar anda tersenyum?”
Alaska menegang. “Tidak.”
“Tadi sudut bibir anda—”
“JEFF.”
Jeff langsung diam.