Karena sering dibuli teman kampus hanya karena kutu buku dan berkaca mata tebal, Shindy memilih menyendiri dan menjalin cinta Online dengan seorang pria yang bernama Ivan di Facebook.
Karena sudah saling cinta, Ivan mengajak Shindy menikah. Tentu saja Shindy menerima lamaran Ivan. Namun, tidak Shindy sangka bahwa Ivan adalah Arkana Ivander teman satu kelas yang paling sering membuli. Pria tampan teman Shindy itu putra pengusaha kaya raya yang ditakuti di kampus swasta ternama itu.
"Jadi pria itu kamu?!"
"Iya, karena orang tua saya sudah terlanjur setuju, kamu harus tetap menjadi istri saya!"
Padahal tanpa Shindy tahu, dosen yang merangkap sebagai Ceo di salah satu perusahaan terkenal yang bernama Arya Wiguna pun mencintainya.
"Apakah Shindy akan membatalkan pernikahannya dengan Ivan? Atau memilih Arya sang dosen? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Arkan mengembalikan hape baru ke dalam tas, tanpa menarik resleting kembali hingga tas tersebut dalam keadaan terbuka. Arkan merebahkan tubuhnya kembali, sedetik kemudian telinganya mendengar suara langkah kaki dari arah pintu.
"Itu pasti Shindy" gumam Arkan cepat-cepat memejamkan mata pura-pura tidur, hingga langkah tersebut berhenti di pinggir tempat tidur nya.
"Dari mana saja kamu Shy? Janjian sama Pak Gun kan?!" Sarkas Arkan dengan mata yang masih terpejam. Namun, tidak ada jawaban. "Handphone mahal itu sebagai bukti kalau kamu dengan Pak Gun ada hubungan. Kamu tidak bisa menyangkal lagi!" Lanjut Arkan. Lagi-lagi tidak ada jawaban, lalu membuka mata.
"Mama... Papa..." Arkan kaget, ternyata bukan Shindy, melainkan kedua orang tuanya yang berdiri di tempat itu. Arkan pun duduk setelah menumpuk bantal.
"Jadi Shindy pergi dari kamar ini gara-gara kamu curigai seperti itu?" Mama Adisty yang sudah tidak menggunakan kursi roda mendelik gusar menatap putranya. Ia sebenarnya sudah tidak perlu dirawat lagi, tapi belum mau pulang karena belum kuat jika harus bolak balik ke rumah sakit menjenguk Arkan.
Arkan hanya diam entah apa yang anak itu pikirkan.
"Bilangnya mau kemana Shindy tadi, Ar?" Papa Alexander tidak ikut memarahi putranya yang hanya akan memperburuk keadaan.
"Nggak bilang sih, Pa, tapi tadi keluar membawa mukena," Arkan menoleh sang mama menatap wajahnya tapi hanya sekilas saja. Tidak berani lama-lama karena Adisty tampak kesal.
"Kamu itu suami tidak bisa diuntung Ar, Shindy sudah memaafkan kamu dengan tulus, mengurus kamu dengan ikhlas, tapi ini, balasan kamu?" Adisty kecewa dengan Arkan. Entah bagaimana lagi ia harus menasehati anaknya. Jika sudah begini, Adisty hanya bisa menangis. Mungkin ini ujian. Sebab, semua keluarganya tidak ada yang mempunyai sifat seperti Arkan, entah kenapa Arkan berbeda.
"Sudah Ma..." Alexander mengait tangan istrinya. Ia tidak mau penyakit istrinya kambuh lagi, memilih mengajaknya keluar dari tempat itu. "Kita cari Shindy" imbuh Alex ketika tiba di luar ruangan.
"Kita cari kemana Pa?" Adisty membersihkan sisa air matanya.
"Kita cari ke mushala" Alex memutuskan mencari Shindy ke tempat itu atas petunjuk Arkan ketika menantunya keluar membawa mukena.
"Ya Allah... kasihan sekali, Pah..." Adisty sedih sekali ketika tiba di pintu mushala. Menantunya tengah tidur dengan posisi duduk bersandar di tembok, bahkan mukena masih melekat di badan. Kepalanya membentur angin kiri dan kanan tanpa Shindy sadari.
Adisty tahu jika Shindy kelelahan, sudah merawat Arkan tanpa pamrih tapi balasan Arkan tidak sesuai ekspetasi.
"Bangunkan Ma" titah Alexander.
Adisty mengangguk lalu masuk ke dalam mushala. Ia usap pipi menantunya lembut.
"Mama..." Shindy kaget, menatap Adisty dengan mata merah khas bangun tidur. "Maaf Ma, saya ketiduran" Shindy tersenyum kikuk.
"Sebaiknya kamu pulang dulu sayang, istirahat. Biar Mama sama Papa yang menjaga Arkan" titah Adisty lembut.
"Tidak usah Ma" Shindy menolak, walaupun memang sebenarnya lelah, tapi tidak mungkin meninggalkan Arkan.
"Shindy... nurut sama Mama, Ayo bangun, supaya kamu diantar supir" Adisty membantu Shindy bangun. Ia mengingatkan agar Shindy tidak usah khawatir karena ia dan Alex yang akan mengurus Arkan.
"Terima kasih Ma" Shindy akhirnya menurut. Ia juga izin mampir ke rumah bude Warni ambil buku untuk bahan skripsi yang tertinggal.
"Boleh..." Adisty pun keluar bersama Shindy. Tiba di luar mushala, ia minta Alex menghubungi supir agar memanaskan kendaraan.
Shindy meninggalkan rumah sakit tanpa ia sadari tidak membawa tas, selain mukena berwarna coklat dalam sarung warna yang sama.
Mobil Alex melaju sedang, hanya waktu lima menit melewati rumah bude.
"Saya turun sebentar, Bapak mau menunggu tidak?" Tanya Shindy ketika melewati kediaman Warni. Jika supir tidak mau menunggu Shindy akan naik ojek saja.
Ingat ojek, Shindy ingat tas yang ia letakkan di ruang rawat Arkan. Tentu saja Shindy tidak mempunyai uang sedikitpun.
"Masa tidak mau, Non" supir tentu saja tidak akan pernah menolak apapun yang majikannya perintahkan. "Rumah siapa ini, Non?" Tanya supir, ketika mobil sudah berhenti di depan rumah yang dipagar rapat. Bagian atas tertancap pecahan kaca.
"Rumah bude saya Pak" Shindy minta supir menunggu di lahan kosong sebelah rumah bude. Supir pun memajukan kendaraan sedikit ketika Shindy sudah turun dan mendorong pagar yang tidak dikunci.
"Siapa ya?" Tanya art bude kaget ketika tiba-tiba ada wanita mendorong pagar.
"Saya Shindy Mbak" Shindy mengenalkan dirinya lalu bertanya kemana bude.
"Ibu sedang ke butik, Non."
"Saya kemari mau ambil buku di kamar saya, Mbak"
"Oh" Art itu menatap Shindy lekat, ia ingat beberapa waktu yang lalu ada dua pria yang mencari Shindy. Ternyata orangnya ramah dan baik. "Mari saya antar, Non" art berjalan lebih dulu diikuti Shindy.
"Jangan panggil saya Non, Mbak. Panggil saja Shindy" Shindy mengatakan jika ia bukan siapa-siapa. Tidak pantas panggilan itu tersemat di namanya.
Mereka ngobrol sembari berjalan ke kamar atas. "Mbak sudah lama bekerja disini?" Shindy melirik wanita hitam manis di sebelahnya.
"Hampir empat bulan Dek, tapi saya sudah tidak kuat lagi" art itupun mengadu jika bu Warni galak dan cerewet.
"Bude memang begitu Mbak, tapi sebenarnya orangnya baik kok," Shindy berusaha menutupi. Mereka tiba di kamar, tapi Shindy terkejut ketika barang-barang miliknya sudah tidak ada di kamar. Lalu bertanya kepada art dipindahkan kemana. Jika hanya baju tidak Shindy pikirkan, tapi banyak dokumen penting yang belum sempat Shindy simpan ke flash disk.
"Saya tidak tahu, Dek" art mengatakan ketika datang ke rumah ini kamar sudah dalam keadaan seperti itu.
Shindy izin art berjalan ke salah satu kamar yang tak lain adalah gudang. Ia dorong pintu kamar tersebut hingga tampak tumpukkan barang-barang yang sudah tidak terpakai. Sindi sedih ketika membuka tumpukkan kardus paling atas berisi baju miliknya tapi sudah bau kecoak.
Shindy membuka kardus yang lain hendak mencari buku-buku dan dokumen yang belum ia temukan. Kardus besar di sudut kamar tersebut menyita perhatian Shindy. Ia usap bagian atas kardus besar yang banyak debu, dan nyaris hancur entah berapa lama kardus tersebut bude simpan.
"Apa ini isinya?" Gumam Shindy. Bukan hal yang sulit baginya membuka kardus tersebut. Namun, bau tidak sedap mengganggu penciuman Shindy. Ia melilitkan jilbab untuk menutup hidung. Kecoak berterbangan entah berapa banyak tidak terhitung.
Bingkai foto yang sudah terlihat samar-samar Shindy usap dengan tangan. Foto pria dan wanita entah siapa orang itu, tampak tersenyum bahagia.
Shindy letakkan bingkai tersebut kemudian membongkar tumpukan kertas yang sudah lapuk pula. Di bawah tumpukkan tersebut Shindy melihat sesuatu yang janggal.
"Aaagghhh..." Shindy berteriak.
...~Bersambung~...
mengerti kaan yaaaaa?