Kania nama gadis malang itu. Kehidupan sempurnanya kemudian berantakan setelah sang ibu meninggal dunia. Ayahnya kemudian menikahi janda beranak satu di desanya. Kehidupan bahagia yang sempat dirasakannya di masa lalu terasa seperti barang mewah baginya. Kania nama gadis malang itu. Demi menutupi utang keluarganya, sang ayah bahkan tega menjualnya ke seorang rentenir. Pernikahannya bersama rentenir tua itu akan dilaksanakan, namun tiba-tiba seorang pria asing menghentikannya. " Tuan Kamal, bayar utangmu dulu agar kau bebas menikahi gadis mana pun", pria itu berucap dingin. Hari itu, entah keberuntungan atau kesialan yang datang. Bebas dari tuan Kamal, tapi pria dingin itu menginginkan dirinya sebagai pelunas utang. Kania nama gadis itu. Kisahnya bahkan baru saja dimulai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourfee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
"Apa kau sudah tidur?" Tanya Edward pelan.
"Hmmm". Sahut Kania malas, matanya terasa berat sekali. Pria di sebelahnya sejak tadi seperti cacing kepanasan, sulit sekali tenang. Ingin sekali Kania tidur di ruang tamu demi menghindari suaminya.
"Apa kau pikir ayah akan baik-baik saja kalau tinggal di sini dengan ibu dan kakak tirimu?" Edward menoleh ke arah istrinya yang sekarang mulai membalikkan badan ke arahnya.
"Apa maksudmu, Kak? Ini rumah ayah, tentu saja akan baik-baik saja". Tukas Kania tanpa ragu.
"Apa kau setuju jika ayah tinggal bersama kita? Menurutku, ayah kurang diperhatikan oleh istrinya. Lihat saja, dia bahkan meninggalkan ayah sendirian di rumah sakit. Istri macam apa itu?". Edward tak habis pikir dengan perbuatan Anita. Sebagai pria yang dibesarkan tanpa perhatian seorang ayah, perlakuan buruk Anita pada ayah mertuanya cukup membuatnya jengkel.
"Kau yakin, Kak?" Kania menatap dalam suaminya.
Edward mengangguk. "Tapi kita harus tanya ayah dulu. Kau harus berusaha meyakinkan ayah agar mau tinggal bersama kita". Edward menerawang jauh.
"Kenapa kau tiba-tiba mau menerima ayahku, Kak?" Tanya Kania hati-hati.
"Aku tidak pernah tau rasanya dicintai oleh seorang ayah. Melihat interaksimu dengan ayah kemarin, jujur aku sedikit cemburu. Aku akui, ada sedikit kemarahan yang menyelip di hatiku, tapi aku sadar seharusnya aku berterima kasih pada ayah. Ayah mau menerimaku sebagai menantu tanpa basa-basi walau kita semua tau awalnya bagaimana. Namun, entah kenapa hatiku sangat yakin kalau ayah punya alasan khusus kenapa mau menikahkan kita, selain karena uang tentu saja. Kania, ternyata senyaman itu rasanya dipeluk seorang ayah". Edward tersenyum hangat, matanya menatap seisi ruangan sempit tu, berusaha menghalau rasa sesak yang melanda dadanya.
"Kau tau saat ayah memelukku, aku merasa sangat dihargai sebagai laki-laki. Kau tau alasannya kenapa aku ingin ayah tinggal bersama kita? Aku ingin ayah terus memelukku atau mungkin mengelus kepalaku dengan lembut seperti kemarin. Yah tapi itupun kalau ayah mau". Edward menarik napas pelan, pria dewasa itu entah kenapa mendadak gundah.
"Jadi itu alasannya, Kak?" Kania menatap sendu suaminya. Pria dengan tubuh tegap dan bertato itu bisa terbawa perasaan hanya karena dipeluk ayah mertuanya. Kania menatap dalam suaminya, laki-laki menyebalkan itu ternyata sangat rapuh. Tanpa aba-aba Kania memeluk erat suaminya, menggenggamkan wajahnya di dada kokoh pria itu. Tangan kekar Edward mengelus pelan punggung kecil istrinya.
"Sayang, terima kasih karena selalu mengerti denganku. Kata Felix, tidak akan ada perempuan yang betah tinggal seatap denganku selain ibu. Pria kesepian itu bilang aku terlalu sinting untuk dijadikan sosok kepala keluarga, tapi kau membuatku merasa pantas menjadi suami. Aku selalu menghargaiku, kau bahkan selalu mengalah dalam setiap perdebatan kita yang tak penting. Kenapa ada gadis sebaik dirimu?" Edward memeluk erat istrinya yang meringkuk dalam dekapannya.
"Apa kau ingin hadiah?" Tanya Edward. "Aku akan memberikan apapun yang kau inginkan". Katanya lagi.
Lengang. Keduanya sedang berperang dengan perasaan masing-masing.
"Apa kau yakin, Kak?" Tanya Kania.
Edward mengangguk mantap. "Jangan pernah tinggalkan aku, Kak". Pinta Kania dengan suara pelan.
"Tidak akan pernah, Sayang. Aku yang harusnya berkata demikian".
Keduanya larut dalam perasaannya masing-masing. Di tengah kesunyian malam, keduanya masih sibuk dengan isi kepalanya.
***
"Sudah bangun, Nak?". Winara menyapa menantunya dengan ramah. Edward mendekat ia baru saja mandi dan berganti pakaian, meninggalkan Kania yang masih larut dalam dunia mimpinya.
"Sudah ayah. Ayah bagaimana kabarnya? Apa sudah lebih baik?" Edward bertanya dengan nada khawatir.
"Ayah baik-baik saja. Di mana Kania? Apa putri kecilku belum bangun?"
"Kania masih tidur ayah, aku sengaja tidak membangunkannya mungkin saja ia kecapekan".
Keduanya diam. Kesunyian sesaat membuat suasana jadi canggung.
"Maukah ayah tinggal bersama kami?" Tanya Edward langsung. Pria itu sudah memikirkannya matang-matang. Ingin sekali mengajak ayah mertuanya tinggal bersama.
Winara terkejut mendengar ucapan menantunya. Pria paruh baya itu mengerutkan dahinya tanda kebingungan.
"Nak? Kenapa tiba-tiba meminta ayah tinggal bersama kalian?".
"Supaya ayah lebih diperhatikan. Aku tidak yakin istri ayah itu mau merawat ayah dengan baik. Aku sudah membicarakan ini pada Kania dan dia setuju. Ayah mau kan?" Tanya Edward berharap.
Winara menatap menantunya dengan intens. Pria bermulut tajam itu rupanya sangat berbaik hati, memperlakukan ayah mertuanya dengan baik padahal ia tau ayah mertuanya seperti apa.
"Ayah kenapa diam? Apa ayah tidak mau? Ayah tidak akan bosan di sana, aku akan membantu ayah menjalankankan bisnis kecil-kecilan agar ayah tidak bosan. Aku juga akan memperkenalkan ayah pada ibu dan kakakku. Bagaimana ayah?" Edward sedikit memaksa.
Winara mulai mempertimbangkan semuanya. Sebenarnya tidak buruk jika ia tinggal bersama dengan anak dan menantunya. Tanpa Kania dan Edward tau ternyata pria tua itu tengah menyelesaikan perceraian dengan sang istri. Sebentar lagi mereka akan berpisah dan itu adalah keputusan besar yang tengah diambil oleh Winara. Pria tua itu merasa semakin ke sini istri dan anak tirinya semakin memanfaatkannya. Ketika ia sakit kemarin bahkan istrinya terlihat tak peduli walau kemudian wanita itu menghubungi Kania dengan paksa. Winara sedikit kaget kenapa istri dan anak tirinya masih berada di rumah itu. Seharusnya, sudah sejak kemarin mereka pergi dari kediamannya.
"Akan ayah pikirkan, Nak. Sebenarnya, ada hal besar yang ingin ayah sampaikan padamu dan Kania. Tunggu Kania bangun dulu baru kita lanjutkan obrolan ini ya, Nak". Katanya lembut.
"Ayah, bolehkan aku meminta sesuatu?". Tanya Edward penuh harap.
"Ada apa, Nak?".
"Bolehkah aku memeluk ayah sekali lagi?" Edward bertanya tanpa ragu.
Winara tertegun mendengar ucapan menantunya. Pria bermulut tajam itu ingin memeluknya? Winara mendekat, kemudian memeluk erat menantunya. Keduanya saling berpelukan tanpa jarak. Winara bahkan mengusap kepala menantunya dengan sayang, persis seperti keinginan Edward. Pemandangan indah itu tertangkap oleh pemilik manik indah yang berdiri mematung di ujung tangga. Kania kemudian sadar, mungkin ini artinm dari kesabaran yang sering diucapkan mendiang ibunya.
"Ibu, Kania bahagia bu". Bisiknya lirih.