Dibalik cerita kelam dan kesalahan besar, ada luka yang tersembunyi mencari kesembuhan.
"Aku membelimu untuk menjadi wanita bayaranku seorang!" -Bara-
"Pilihanku menerima tawaranmu, dan perasaanku adalah resiko dari pilihanku sendiri " -Shafa-
*
Hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia malam hanya untuk pengobatan Ibunya. Lalu, bertemu seorang pria kaya yang membelinya untuk menjadi wanita bayaran miliknya seorang. Bisa terlepas dari dunia malam saja, dia sudah bersyukur dan menerima tawaran itu.
Namun, sialnya dia salah melibatkan hati dan perasaan dalam situasi ini. Mencintai pria yang membayarnya hanya untuk pemuas gairah saja.
Di saat itu, dia harus menerima kenyataan jika dirinya harus pergi dari kehidupan pria itu.
"Aku harus kembali pada istriku"
Dengan tangan bergetar saling bertaut, dada bergemuruh sesak dan air mata yang mulai menggenang, Shafa hanya mampu menganggukan kepalanya.
"Ya, aku akan pergi dari kehidupanmu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lepas Kontrasepsi
Langkah kakinya tiba-tiba merasa ragu saat dia sudah berada di depan ruangan Dokter. Hembusan napas kasar beberapa kali dia keluarkan untuk menenangkan hatinya.
"Ayo Shafa, ini adalah pilihan terbaik. Jangan biarkan hidupmu berlanjut tapi dengan penyesalan paling besar"
Tangannya memegang gagang pintu, dan memutarnya. Masuk ke dalam ruangan Dokter yang sudah dia buat janji sebelumnya.
"Dokter Andini"
"Ya, Shafa"
Andini berdiri menyambut kedatangan Shafa, memeluknya dengan penuh kehangatan. "Ada apa kamu tiba-tiba datang? Apa ada kendala dengan kontrasepsi yang kamu pasang?"
Shafa menunduk pelan, kedua tangannya saling bertaut dengan bergetar. "Dokter, aku ingin melepas kontrasepsinya"
Andini tidak langsung menjawab, dia menatap Shafa dengan penuh tanya. Tapi seolah Andini mengerti sebelum Shafa menjelaskan apa alasannya melakukan ini.
"Bara tidak tahu atau tidak boleh tahu?"
Shafa mendongak dan menatap Andini dengan penuh permohonan. "Dokter, bisakah untuk menjaga rahasia ini? Jangan biarkan Bara tahu"
Andini menghela napas pelan, seperti sudah tahu kemana arah tujuan Shafa kali ini. "Aku bisa saja melakukannya, tapi aku harus tahu apa alasannya kamu melakukan ini? Jika kamu hamil dan Bara belum tentu mau mengakui anak kamu, dan kamu akan menjadi orang tua seorang diri. Dengan cara dia memintamu memasang kontrasepsi, itu sudah jelas jika Bara tidak akan mau mempunyai anak dari kamu, Shafa"
"Aku tahu" Suara Shafa tiba-tiba tercekat di tenggorokan. Air mata menggenang, siap meluncur kapan saja. "Tapi, aku tidak akan punya kesempatan mempunyai anak jika tidak melakukan ini sekarang, Dok"
Seketika Andini terdiam, sepertinya dia lupa dengan penyakit yang sedang di derita oleh Shafa sekarang. Seperti ikut merasakan apa yang gadis itu rasakan, meski tidak berada dalam posisinya secara langsung. Andini langsung memeluk Shafa dengan erat.
"Jadi, kamu hanya ingin mempunyai anak?"
Shafa mengangguk, pertahanannya berakhir. Dia menangis sesenggukan di bahu Andini yang memeluknya saat ini. Dadanya terasa begitu sesak.
"Aku memang perempuan hina, Dok. Tapi, aku juga seorang perempuan yang ingin merasakan jadi seorang Ibu. Apa itu salah? Hiks... Apa wanita kotor seperti aku, tidak pantas menjadi seorang Ibu?"
Andini menggeleng cepat, air matanya ikut luruh. "Kamu berhak mempunyai kebahagiaan kamu sendiri Shafa. Masa lalu biarkan menjadi masa lalu, sekarang kamu hanya ingin hidup lebih baik'kan?"
Shafa mengangguk, isak tangis semakin keras terdengar. Tubuhnya bergetar bagaikan tergoncang kuat. "Tolong bantu aku, Dokter. Aku janji tidak akan menuntut apapun, aku hanya ingin mempunyai seorang anak dan akan merawatnya seorang diri. Aku akan meninggalkan Bara, dan tidak akan meminta pertanggungjawaban apapun"
Andini mengangguk pelan, dia memegang kedua tangan Shafa dan menatapnya lekat. "Baiklah, kamu sudah siap dengan segala konsekuensinya. Dan aku sudah pernah memperingatkan kamu sebelumnya, dan kamu benar sudah siap jika suatu saat harus menjadi orang tua tunggal untuk anak kamu"
"Aku siap, Dok. Setidaknya izinkan aku merasakan menjadi seorang Ibu"
"Baiklah, mari kita lepaskan kontrasepsinya"
*
Shafa pergi menemui Ibunya setelah selesai dengan urusannya di rumah sakit. Melihat keadaan Ibu yang cukup membaik, merasa jika kesempatan dan harapan itu masih besar untuk melihat Ibunya kembali normal.
"Ibu, cepat sembuh ya. Biar kita bisa tinggal bersama lagi"
"Shafa"
Suara lembut yang memanggilnya selalu menjadi hal yang dirindukan Shafa selama ini. "Iya Bu, ini Shafa"
"Kamu sudah besar ya Nak, anak Ibu"
Shafa tersenyum dengan air mata yang mengalir saat tangan Ibu mengelus pipinya. Sedikit demi sedikit melihat tatapan Ibu yang tidak begitu kosong lagi. Harapan Shafa semakin besar jika Ibu pasti bisa sembuh.
"Iya Bu, Shafa sudah besar. Dan kehidupan Shafa selama beberapa tahun ini terasa sangat sulit tanpa Ibu"
Shafa memeluk Ibu dan menangis sesenggukan dalam pelukan Ibunya. Mendapatkan balasan pelukan dari Ibunya, membuat tangisan Shafa semakin pecah.
Sudah 5 tahun lebih, dia merindukan sekali pelukan hangat ini. Dan sekarang akhirnya bisa merasakannya lagi.
"Maaf Mbak, biarkan pasien kembali istirahat. Jangan terlalu menekannya dengan beberapa pertanyaan atau perkataan yang memberatkan pikirannya"
Shafa mengusap sisa air matanya, dia mengangguk dan segera keluar dari ruangan Ibu.
"Jadi Ibu saya sudah membaik?"
"Sekitar beberapa hari ini, keadaannya memang cukup baik. Dia juga merespon beberapa pertanyaan ringan dari Dokter. Semoga saja bisa lebih baik ya, Mbak"
"Iya, terima kasih sudah merawat Ibuku"
"Sudah tugas kami"
Shafa kembali ke parkiran setelah dia membayar biaya perawatan Ibu. Masuk ke dalam mobil dan menatap ponselnya, memang belum ada kabar apapun dari Bara selain pesan singkat yang terakhir kali Bara kirim, yang memberitahukan jika dia sudah berada di dalam Pesawat.
"Mungkin dia sibuk mengurus segala hal untuk istrinya"
Shafa melajukan mobilnya, kembali ke Apartemen. Sebenarnya jalannya masih sedikit kesusahan setelah dia melepaskan kontrasepsi.
"Besok aku harus pergi ke Kantor Bara, sebagai karyawan baru disana"
Sudah lama sekali mendambakan pekerjaan yang baik dan layak untuknya. Dan sekarang semuanya sedang Shafa usahakan satu persatu.
"Semoga saja aku bisa menikmati pekerjaan ini, dan tubuhku bisa bekerja sama"
Kondisinya yang sering sekali merasa lemah, dan pusing, memang sudah pengaruh dari penyakitnya. Tapi, semangat Shafa dalam bekerja masih membara. Karena tujuan dia bisa kuliah sampai lulus, adalah untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik.
*
Di Negara yang berbeda, Bara sebuah Hotel. Setelah mengurus segala hal untuk tindak perawatan Aura, akhirnya dia bisa kembali ke Hotel dan beristirahat. Melihat ponselnya yang sejak tadi tidak sempat dia cek.
"Notifikasi pembayaran Rumah Sakit Jiwa? Kenapa dia melakukan pembayaran ke Rumah Sakit Jiwa? Siapa yang di rawat disana?"
Bara mengerutkan keningnya bingung saat mendapatkan notifikasi dari kartu yang dia berikan pada Shafa. "Apa dia punya kerabat atau saudara yang di rawat disana?"
Masih bertanya-tanya sampai akhirnya Bara memutuskan untuk menelepon Shafa. Meski sadar jika disana sekarang pasti sudah larut malam. Menunggu beberapa saat sampai akhirnya panggilan itu terjawab.
"Hallo?"
Suara serak khas bangun tidur terdengar di telinganya. Entah kenapa itu membuat Bara tersenyum tanpa sadar. Ada sebuah debaran yang menggoncang hatinya.
"Mengganggumu tidur ya"
"Tidak kok, ada apa? Kamu sudah sampai? Bagaimana disana?"
"Ya, aku sedang di Hotel sekarang. Semuanya baik dan lancar. Bagaimana denganmu disana? Baik-baik saja 'kan?"
"Ya, aku baik-baik saja"
"Aku hanya ingin menanyakan sesuatu hal padamu. Apa kau punya saudara atau keluarga yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Sentosa?"
Deg....
Bersambung