Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Putusan Terakhir
Suara derap sepatu para jurnalis menggema di luar Pengadilan Distrik Tokyo. Hari itu, langit kelabu seolah mencerminkan suasana hati semua orang yang menunggu hasil putusan sidang Yumi—wanita yang semula dikenal sebagai istri pengusaha sukses dan dermawan. Dia kini duduk di kursi pesakitan dengan tuduhan berat: penyerangan berencana yang menyebabkan kematian suaminya, Reiki.
Di dalam ruang sidang, aroma formalin dan kertas dokumen bercampur dengan ketegangan yang menyesakkan. Yumi duduk dengan tangan terborgol di depannya. Seragam tahanan abu-abu membungkus tubuhnya yang tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya. Rambutnya disanggul seadanya, tetapi sorot matanya tetap dingin dan tak tergoyahkan.
Hakim utama, seorang pria paruh baya bernama Kuroda, mengetukkan palunya sekali, menciptakan dentuman yang memantul di setiap dinding ruangan.
“Sidang perkara atas nama terdakwa Yumi Yamaoki dengan nomor registrasi 04-13/TKY/2025, kami nyatakan terbuka untuk umum.”
Ayaka duduk di bangku penonton, kedua tangannya bergetar. Dia menunduk, tak berani menatap ke arah meja terdakwa. Di sebelahnya, Satria menatap lurus ke depan, ekspresinya datar dengan mata tajam seakan tengah menguliti Yumi.
Gendis dan Hiro hadir pula hari itu sebagai saksi kasus yang sebelumnya terhubung dengan semua kekacauan ini. Hakim membuka lembar putusan yang tebal, lalu mulai membacakan dengan suara berat.
“Berdasarkan bukti-bukti, keterangan saksi, serta hasil penyidikan kepolisian yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti memberikan uang dan senjata kepada pelaku penembakan dengan maksud menghalangi proses hukum dan mencegah kesaksian yang memberatkannya, maka majelis hakim menjatuhkan vonis .…”
Ruangan hening seketika. Semua orang menahan napas.
“Dua puluh tahun penjara dengan dakwaan penyerangan berencana yang mengakibatkan kematian.”
Dentuman palu terdengar lagi. Suaranya tajam, menembus jantung setiap orang yang hadir. Ayaka menutup mulutnya, berusaha menahan isak.
Yumi hanya diam, bibirnya melengkung tipis, seolah mendengar kalimat yang sudah dia duga sejak awal. Tak ada penyesalan di wajahnya. Hanya tampak kehampaan yang menyerupai kelelahan.
“Apakah terdakwa menerima putusan ini?” tanya hakim.
Yumi menatap lurus ke depan. “Tidak ada yang perlu diterima atau disesali. Aku hanya kalah karena aku sendirian.”
Beberapa jurnalis mencatat cepat, kilatan kamera memenuhi ruang sidang. Dua petugas kemudian menggiring Yumi keluar. Namun, sebelum melewati pintu, dia menoleh sebentar ke arah Ayaka dan Gendis yang duduk di barisan belakang.
Tatapan itu menusuk—seolah berkata, kalian telah merenggut segalanya dariku.
---
Beberapa minggu kemudian, kasus yang menjerat Gendis dan Hiro mengenai dugaan penculikan terhadap Reina, akhirnya kembali dibuka untuk peninjauan. Namun kali ini, situasinya berbeda.
Di ruang sidang yang sama, Ayaka hadir membawa sejumlah bukti baru—termasuk rekaman suara dan dokumen adopsi palsu yang dia temukan di vila pribadi Reiki sebelum kematiannya. Dalam kesaksiannya yang tenang, Ayaka mengungkapkan segalanya bahwa dokumen adopsi tersebut dipalsukan atas perintah Reiki.
Ayaka juga bersaksi bahwa Reina sebenarnya adalah anak kandung Gendis, yang diambil secara ilegal melalui manipulasi identitas medis di mana dia ikut terlibat Ruangan hening ketika Ayaka menunduk, suaranya bergetar.
“Reina seharusnya tidak pernah diambil dari Gendis. Dia dipisahkan dari ibunya saat masih bayi karena ambisi Reiki yang ingin memperbaiki rumah tangga dengan mengadopsi anak itu tanpa prosedur sah. Dan saya siap menanggung hukuman karena ikut terlibat dalam proses adopsi ilegal ini.”
Gendis menunduk, matanya memerah. Hiro yang duduk di sebelahnya menggenggam tangannya erat. Hakim mencatat semua pernyataan, lalu menatap ke arah jaksa.
“Dengan bukti baru ini, apakah pihak kejaksaan masih melanjutkan dakwaan terhadap terdakwa Gendis dan Hiro?”
Jaksa menutup berkasnya dengan ekspresi berat. “Tidak, Yang Mulia. Berdasarkan kesaksian baru dan dokumen resmi yang menyatakan bahwa proses adopsi dilakukan secara ilegal tanpa izin biologis ibu kandung, maka kami mencabut dakwaan.”
Hakim mengetukkan palunya sekali lagi.
“Dengan demikian, perkara dugaan penculikan terhadap Reina dinyatakan gugur.”
Suara sorak tertahan terdengar di antara pengunjung sidang. Hiro menunduk, menahan napas lega. Gendis yang berada di sisi lain, hanya menutup wajahnya dan menangis diam-diam. Dia tak tahu harus bersyukur atau merasa hancur karena semua ini berakhir dengan kehilangan nyawa seseorang yang dulu ikut menjeratnya dalam badai.
***
Berita tentang keputusan pengadilan menyebar cepat. Media sosial dipenuhi opini dan komentar publik. Beberapa pihak memuji keberanian Gendis dan Ayaka yang akhirnya membuka kebenaran.
Namun, sebagian lain mendesak Gendis untuk menuntut balik Yumi dan rumah sakit yang terlibat dalam adopsi ilegal tersebut. Wartawan mengejarnya setiap kali dia keluar rumah. Mikrofon diarahkan ke wajahnya, kamera menyorot dari segala arah.
“Bu Gendis, apakah Anda akan menuntut balik pihak Yumi atas pemalsuan dokumen dan pencurian anak kandung Anda?”
“Apakah Anda akan meminta ganti rugi?”
“Bagaimana perasaan Anda setelah semua ini berakhir?”
Gendis berhenti di depan gerbang rumah Hiro, mengenakan pakaian sederhana berwarna biru tua. Wajahnya tampak lelah, tetapi tatapannya begitu mantap.
“Saya tidak akan menuntut siapa pun,” ucap Gendis pelan, tetapi tegas.
“Tidak ada keadilan yang bisa menebus kehilangan. Saya hanya ingin memulai hidup baru bersama anak saya.”
“Apakah Anda tidak ingin Yumi menerima hukuman tambahan atas adopsi ilegal?” seru salah satu reporter.
Gendis menatap lurus ke arah kamera. “Dia sudah kehilangan segalanya. Dan saya … sudah terlalu lelah untuk membencinya.”
Kata-kata itu menjadi headline keesokan harinya. Semua sudah berakhir, Gendis bisa sedikit bernapas lega. Selangkah lagi Reina akan kembali ke pelukannya.
Hari itu sore turun perlahan di langit Tokyo. Matahari memancarkan sinar keemasan di antara gedung-gedung tinggi. Gendis berdiri di depan taman kecil di distrik Shinjuku, tempat di mana lembaga perlindungan anak sementara menitipkan Reina.
Hati Gendis berdebar sangat keras. Di tangannya, ada boneka beruang kecil—boneka rajutan yang dulu dia buat sendiri saat masih hamil. Jemarinya bergetar ketika dia menatap benda kecil itu, seolah seluruh kenangan yang Gendis pendam selama ini tiba-tiba hidup kembali.
Pintu ruang perawatan terbuka perlahan. Seorang petugas wanita muncul dengan senyum lembut, menggendong seorang bayi mungil yang terbungkus selimut krem.
“Nyonya Gendis, ini Reina.”
Suara lembut itu hampir tak terdengar di telinga Gendis. Pandangannya kabur oleh air mata yang tiba-tiba menetes tanpa bisa dia tahan. Gendis berdiri perlahan, mendekat satu langkah, lalu satu langkah lagi, hingga jarak antara mereka hanya beberapa senti.
Bayi itu membuka matanya. Mata bulat bening dengan warna gelap yang persis seperti mata Gendis sendiri. Sekilas, Reina menggeliat kecil, mengeluarkan suara gumaman lembut khas bayi.
“Reina,” bisik Gendis, suaranya serak, nyaris pecah.
Petugas menyerahkan bayi itu ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Seketika, dunia di sekitar Gendis berhenti berputar. Hanya ada kehangatan tubuh mungil itu di dadanya, napas kecil yang terasa di lehernya, dan tangisan lembut yang memecah keheningan.
“Shhh … Mama di sini, sayang.”
Gendis berbisik sambil menimang pelan. Air matanya jatuh membasahi pipi bayinya, namun senyum lembutnya tak hilang.
“Akhirnya, Mama bisa peluk kamu lagi.”
Semua bersumber dari otak jahat Reiki