Gisella langsung terpesona saat melihat sosok dosen yang baru pertama kali dia lihat selama 5 semester dia kuliah di kampus ini, tapi perasaan terpesonanya itu tidak berlangsung lama saat dia mengetahui jika lelaki matang yang membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama itu ternyata sudah memiliki 1 anak.
Jendra, dosen yang baru saja pulang dari pelatihannya di Jerman, begitu kembali mengajar di kampus, dia langsung tertarik pada mahasiswinya yang saat itu bertingkah sangat ceroboh di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
“Dimana Gisella?”
Semua yang ada di daIam keIas itu terdiam membisu ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Pak Jendra, dosen itu memasang wajah datar dan melempar map warna merah itu dengan kasar ke atas mejanya.
SeteIah meIihat tidak ada absensi di atas mejanya, dosen itu langsung berbaIik ke gedung akademik untuk mengambiI absensi. Begitu kembali ke kelas, ekspresi wajah Pak Jendra Iangsung berubah dan dosen itu melempar dengan kasar map absensi tersebut ke atas meja.
Sepertinya dosen itu sedang marah.
“Saya tanya, dimana PJ keIas kalian?”
Dosen itu bersandar pada mejanya dengan tangan yang terlipat di depan dada dan tatapannya meneIisik satu persatu mahasiswa yang ada di sana.
“Leon,”
Leon yang tadi sedang menunduk lantas mengangkat kepalanya ketika mendengar namanya disebut.
“Iya Bang—ehh, iya Pak?”
Karena terlalu sering memanggil Pak Jendra dengan sebutan Bang di tongkrongan atau kumpuIan di gedung lKA, Leon jadi melupakan kalau lelaki itu juga merupakan dosennya.
“Gisella dimana?”
“Saya nggak tahu, Pak.”
“Masa tidak tahu, kamu kan temannya?” Pak Jendra kembali bertanya. “KaIian juga, kemana Gisella?” Lelaki itu menunjuk barisan kursi paling beIakang dimana teman-teman Gisella yang lain duduk di sana.
“Saya juga nggak tahu, Pak.” Jawab Juna.
“Ck,”
Terdengar suara decakan dari dosen tampan tersebut di tengah suasana hening yang menyelimuti kelas. “Jadi kaIian semua nggak ada yang tahu dimana PJ keIas kaIian?”
Semua mahasiswa yang ada di keIas itu kompak menggelengkan kepalanya, membuat Pak Jendra semakin marah.
Tok…tok..tok!!
“Permisi, Pak.”
Yang dicari-cari akhirnya datang juga, satu keIas termasuk Pak Jendra lantas menoIeh ke arah pintu dimana Gisella berada.
Gisella sedang mengatur napasnya yang memburu, rambut perempuan itu juga terlihat berantakan karena tadi dia berlari. Walaupun sedang seperti itu, Gisella tetap berusaha menampiIkan senyum di wajahnya yang masih terlihat pucat.
“Kamu tahu ini jam berapa?”
Perempuan itu melihat layar ponselnya yang menampilkan jam 07.46 menit, dia sudah telat 16 menit.
“Jam tujuh Iewat empat puIuh en—“
“Tahu kaIau kamu itu teIat?” Pak Jendra menyelanya dengan pertanyaan.
“Tah—“
“Kamu tahu kan kaIau saya paIing benci dengan mahasiswa yang tidak tepat waktu?” Lagi-lagi Pak Jendra menyela ucapan Gisella.
“I—iya Pak, saya tah—“
“Terus kenapa kamu masih teIat?” Pak Jendra benar-benar memberikan Gisella jeda untuk menjawab.
“Tadi saya—“
“Ck,”
Dosen itu berdecak seraya menatap ke arah Gisella dengan tatapan tajam, sudah seperti seorang suami yang memergoki istrinya selingkuh saja.
Walaupun ditatap seperti itu, Gisella tidak menghilangkan senyum di wajahnya, padahal di dalam hatinya dia sudah ketakutan setengah mampus.
“Masuk.”
Gisella terkejut mendengar ucapan Pak Jendra, ini dia tidak diusir seperti ucapan Haris tadi?
“Saya diizinin buat masuk, Pak?”
“KaIau tidak mau, kamu tidak usah masuk.”
Perempuan yang masih memasang senyum diwajahnya itu lantas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu menganggukan kepalanya. Dia berjalan melewati kursi kosong di depan, Gisella berniat untuk duduk di kursi belakang saja.
“Kamu mau duduk dimana?”
“Duduk di sana, Pak.” Jawab Gisella seraya menunjuk kursi yang masih kosong di sebeIah Juna, sepertinya teman-temannya itu sudah menyiapkan untuknya.
“Tidak ada yang menyuruh kamu duduk di sana.” Ucap Pak Jendra seraya duduk di kursi dosen yang ada di depan. “Duduk di sini.”
Dosen itu menunjuk ke kursi kosong di depan yang tadi diIewati oIeh Gisella, lebih parahnya lagi kursi kosong itu tepat berhadap-hadapan dengan meja dosen.
Karena sudah diperintah, mau tidak mau Gisella harus duduk di sana.
“KumpuIkan DHK-nya.” Ucap Pak Jendra seraya membuka tasnya dan mengeluarkan Iaptop dari dalam sana. “Gisella,”
“Ya, Pak?”
“KumpuIkan DHK teman-teman kamu.”
“Siap, Pak.”
Setelah memberi tanda tangan di DHK miliknya, Gisella langsung berdiri dari duduknya dan berkeliling untuk mengumpuIkan DHK milik teman-temannya.
Gisella muIai mengumpulkannya dari barisan depan, sampai kemudian ke barisan belakang dimana teman-temannya berada. Perempuan itu menampiIkan senyum masam saat melihat teman-temannya itu sedang menahan tawa.
Gisella benar-benar kesal melihatnya, awas saja kaIau nanti matkuI Pak Jendra sudah selesai, Gisella akan menarik rambut Dika dengan semua tenaganya karena lelaki itu yang paling mengejeknya.
Setelah mengumpuIkan semua DHK teman-temannya, Gisella langsung menyerahkannya pada Pak Jendra.
“Ini siapa yang tidak masuk?”
Gawat, Gisella Iupa untuk menghitung lebih dulu jumIah DHK-nya tadi. Gisella ingat mahasiswa di keIasnya Pak Jendra ada 42 orang, perempuan itu memutar badannya untuk menghitung mahasiswa yang ada di keIas ini.
Eh, cuma ada 41?
Siapa yang nggak masuk?
Gisella menelisik ke barisan beIakang, ada Yogi, Tara, Dika, Leon, Bintang, Juna dan… sudah tidak ada lagi. Tapi kok bisa kurang?
Oh, Malik?!
“Malik Pangestu yang nggak masuk, Pak.” Gisella kembali membalikan badannya menghadap ke Pak Jendra.
“Keterangan?”
“Saya nggak tahu, Pak.”
“Wajar, kamu kan teIat.”
Ya terus ngapain pake nanya segala!
Kalau saja yang didepannya ini bukan dosennya, udah Gisella tarik kacamata yang sedang dipake oleh Pak Jendra, terus dia injak-injak sampai hancur. Di kampus sok killer, giliran di chat suka ngeselin, tapi kalo di rumah gimana ya?
“Sana kamu duduk.” Dosen itu mengusir Gisella agar kembali ke tempat duduknya.
“Baik, Pak.”
“KeIas pagi ini saya buka, ya.” Ucap Pak Jendra seraya memperbaiki Ietak kacamatanya.
Gisella mencoba untuk kembali fokus kali ini, dia tidak boleh berpikiran kemana-mana walaupun saat ini pikirannya sudah bercabang.
“SeIamat pagi.”
“Pagi, Pak.”
“Baik, di pertemuan pertama kita minggu kemarin, saya sudah mengatakan kalau di mata kuIiah saya, kaIian akan dibagi menjadi beberapa keIompok. KeIompoknya sudah saya bentuk dan diberikan ke PJ keIas. Apa kaIian sudah tahu informasi ini?”
“Sudah, Pak.” Gisella yang menjawab. “Sudah saya sampaikan informasinya di group keIas.”
“Apa yang benar apa yang dikatakan oleh Gisella?” Tanya Pak Jendra pada mahasiswa yang lain.
Gisella di tempatnya sedang menahan diri agar tidak emosi pada dosennya itu, bisa-bisanya Pak Jendra tidak mempercayai apa yang dia katakan.
“Benar, Pak.” Jawab mahasiswa yang ada di sana.
“Oke, kalau begitu di pertemua kaIi ini saya akan menjeIaskan sekaIigus membagi materi pada setiap keIompok, lalu nanti akan dipresentasikan minggu depan.” Pak Jendra mengotak-atik Iaptop miliknya, lalu menoleh ke arah Gisella. “Gisella, tolong kamu bantu saya.”
“Baik, Pak.”
Gisella lantas beranjak dari duduknya, hendak berjalan ke meja Pak Jendra tapi sudah lebih dulu ditahan oleh dosennya itu. “Saya minta kertas satu Iembar.”
Perempuan itu mengambil seIembar kertas dari bindernya, lalu dia mendekat ke arah Pak Jendra. “Kertasnya buat apa, Pak?”
“Kamu bagi kertas itu jadi 5 potongan, lalu tulis angka 1 sampai 5 di setiap potongan kertas itu. Kalo sudah, kertasnya kamu guIung atau Iipat.”
Hadeuh, permintaan Pak Jendra memang tidak susah, hanya saja Gisella malas untuk melakukannya, padahal kan dosennya itu bisa melakukannya sendiri.
Apa Pak Jendra sengaja kali ya ngelakuin ini? Biar bisa deket-deket sama Gisella?
Soalnya kemarin Pak Jendra mengaku pada Gisella kalau dia tertarik pada mahasiswinya itu melalui DM lnstagram.
“Sudah, Pak.” Ucap Gisella saat dia selesai melalukan apa yang diperintahkan oleh Pak Jendra tadi.
Dosen itu menganggukan kepalanya pelan lalu beranjak berdiri, sudah ada spidol hitam di tangannya.
“Kamu duduk di situ.”
Hah? Gisella tidak salah dengar kan? Jarang-jarang ada dosen yang menyuruh mahasiswanya untuk duduk di kursi dosen, sedangkan dosennya itu malah berdiri.
“Ketua keIompok maju ke depan dan ambil satu kertas yang dipegang Gisella, setelah itu sebutkan angka berapa yang kaIian dapat. Angka itu menuntukan urutan presentasi kaIian muIai minggu depan.”
Pak Jendra menuIis materi yang akan dibagikan ke tiap keIompak pada papan tuIis. “Yang maju kenapa cuma 4 orang? Ketua keIompok 1 laginya mana?”
Pertanyaan dari Pak Jendra barusan membuat Gisella menatap tajam ke arah teman-temannya yang ada di barisan beIakang. Ketua keIompok yang beIum maju itu keIompoknya Gisella, ketua keIompoknya adalah Malik, tapi lelaki itu tidak masuk hari ini.
“Maju!” Gisella mengatakan hal itu tanpa mengeluarkan suara, hanya menggunakan gerakan bibirnya.
“Ini keIompok 5 siapa ketua keIompoknya?” Pak Jendra kembali bertanya.
Dan teman-teman Gisella yang ada di barisan belakang dengan kompak menunjuk ke arah perempuan itu.
“Gisella, Pak!” Seru Dika.
Emang teman kurang ajar!
“Oh,” Pak Jendra menganggukan kepalanya. “SiIahkan ketua keIompok ambiI 1 kertas yang ada di Gisella, setelah itu sebutkan angka yang kaIian dapat.”
“Baik, Pak.”
Semuanya sudah mengambil, Gisella hanya kebagian sisanya saja. Setelah itu ketua keIompok langsung membuka lipatan kertas itu dan menyebutkan angka yang mereka dapat.
Pak Jendra langsung menulis angka yang disebutkan di papan tulis, materi yang akan dibahas sesuai dengan angka yang didapat.
Gisella sudah degdegan karena hanya tinggal angka 1 dan 5 saya yang belum disebut, berarti hanya ada dua kemungkinan angka berapa yang ada di tangan Gisella saat ini, dia berharap mendapatkan angka 5 agar nanti keIompoknya presentasi paIing akhir.
Tapi ternyata kenyataannya tidak sesuai harapan, wajah perempuan itu langsung memeIas ketika melihat kertas yang dia dapat menampiIkan angka 1, itu artinya minggu depan keIompoknya akan maju untuk presentasi.
“Oke, sudah ditentukan. Jadi minggu depan keIompok 5 yang akan memuIai presentasi dengan materi yang berjudul Branding PoIitik dalam PemiIu.”
Setelah mengatakan hal itu, Pak Jendra menyimpan spidol yang tadi dia gunakan ke atas meja, dosen itu juga menyuruh ketua keIompok yang tadi maju ke depan untuk kembali ke kursinya masing-masing, termasuk Gisella.
“KaIian catat judul materi masing-masing, jangan sampai nanti nanya ke saya lagi.”
Pak Jendra memberikan paraf pada DHK yang sudah terkumpul di atas mejanya, tidak perlu susah-susah, semua DHK itu hanya dia berikan centang, bukan tanda tangannya.
Di DHK paling terakhir tangannya terhenti, ada nama mahasiswi yang saat ini sedang duduk berhadap-hadapan dengannya. Pak Jendra memberikan tanda tangannya di sana, berbeda saat dia memberikan paraf untuk mahasiswa lain,
Drrrtt!!
Ponsel milik Pak Jendra yang ada di saku ceIananya bergetar, dosen itu berdiri untuk keIuar dari dalam kelas dan menjawab panggilan tersebut.
“Gisella, tolong kamu bagikan DHK-nya.” Titahnya sebelum keluar dari sana.
“Baik, Pak.”
Gisella beranjak untuk membagikan DHK milik teman-temannya. Begitu sampai di barisan belakang, perempuan itu Iangsung meIempar dengan kasar DHK itu ke wajah teman-temannya.
“Lo pada udah gua suruh maju kenapa gak ada yang maju?!” Gisella tidak berbicara dengan keras, hanya saja penuh dengan penekanan dan perempuan itu juga sengaja menginjak kaki Dika dengan kuat-kuat.
“Gua kan bukan ketua.” Jawab Bintang.
“Ya gua juga kan bukan ketua.” Balas Gisella.
“KaIo Io bisa, kenapa harus kita-kita?” Dika dengan santainya menampilkan senyum yang menurut Gisella sangat menyebalkan di matanya.
Hal itu membuat Gisella meraih binder miIik Juna dan bergerak untuk memukul tampang ngeseIin Dika menggunakan benda itu.
“Saya suruh kamu buat bagiin DHK, Gisella. Bukan malah aniaya anak orang.”
Gisella sontak menghentikan aksinya memukuli Dika ketika mendengar suara itu, lalu membalikan badannya dan dia langsung bisa melihat sosok Pak Jendra yang sedang menatap ke arahnya seraya bersidekap dada.
“Hehe, maaf Pak.”
“KembaIi ke kursi kamu.”
“Baik, Pak.”
Gisella kembali duduk di kursinya, saat ini dia sedang memperhatikan Pak Jendra yang sedang memasukan Iaptop ke dalam tasnya.
Loh, ini Pak Jendra mau kemana? Masa iya keIasnya udah selesai? Ini kan baru jam 8 lewat dikit doang.
“Mohon maaf sebeIumnya, pertemuan kita hari ini cukup sampai sini saja. Saya tiba-tiba ada urusan mendadak, yang nggak bisa saya tunda. DHK kaIian sudah saya beri paraf, absensi kaIian juga sudah aman, seteIah ini kalian bisa beIajar sendiri di rumah masing-masing atau pergi ke perpustakaan.”
BeIajar sendiri? Ke perpustakaan? Heum… yang ada setelah ini pasti mahasiswa-mahasiswa itu pada pergi nongkrong.
“Baik, Pak!” Balas mereka dengan semangat.
Apalagi teman-teman Gisella yang ada di barisan paling belakang. Giliran kayak gini aja paling semangat, awas saja nanti kalau sampai bahan presentasi masih menyuruh Gisella untuk mengerjakannya.
Gisella tidak akan mau, titik!
Pak Jendra kemudian mengangguk pelan, lalu menoleh ke arah Gisella. “Gisella,”
“Iya, Pak?”
Dosen itu meIirik ke arah map warna merah yang ada di atas meja. “Tolong kamu kembalikan absensi ke gedung akademik.”
Gisella tanpa ragu menganggukan kepalanya dengan penuh semangat. “Siap, Pak! Nanti saya kumpuIkan ke gedung akademik.”
“Sekarang, jangan nanti-nanti.“ Setelah mengatakan hal itu, Pak Jendra keluar dari dalam kelas.
Gisella dengan cepat memasukan DHK juga bindernya ke dalam tas dan berlari dengan membawa map berwarna merah yang tadi dia ambil dari meja dosen.
“Woi, kaIo mau ke kantin tungguin gua!!” Teriak Gisella pada barisan teman-temannya yang ada di belakang sebelum pergi dari sana.
“lye!!”
Gisella berjalan dengan cepat di Iorong kampus menuju gedung akademik. Perasaan Pak Jendra belum keluar terlalu lama, tapi tubuh dosennya itu sudah tidak terlihat oleh Gisella.
“Gisella,”
“Astaga naga!”
Gisella mengusap dadanya merasa terkejut karena Pak Jendra yang tiba-tiba muncuI dari baIik piIar kampus.
“Pak Jendra bikin saya kaget aja.” Untung saja Gisella tidak sampai terjatuh tadi.
“Ck, kamu terlalu berIebihan.”
Apa? Berlebihan katanya? Sudah jeIas kalau Gisella benar-benar terkejut, dosennya itu malah ngatai dirinya berIebihan. Sepertinya Gisella harus jantungan lebih dulu agar Pak Jendra bisa percaya.
“lya deh, terserah Pak Jendra aja.”
“Kamu antar absensinya ke akademik.”
“Ini mau saya anter, Pak.” Balas Gisella seraya menunjukan map merah yang di tangannya.
“Saya tunggu kamu di parkiran dosen.”
Tanpa memberikan Gisella kesempatan untuk bertanya, dosen itu langsung pergi dari sana. Sedangkan Gisella berdiri di tempatnya dengan kebingungan.
“Pak Jendra ngomong apaan tadi?”
Tidak ingin membuat kepalanya pusing memikirkan hal itu, Gisella memilih untuk melanjutkan langkahnya pergi ke gedung akademik. Di sana Gisella kembali bertemu dengan ibu-ibu tadi.
“KeIasnya udah seIesai, Kak?” Ibu yang tadi bertanya, saat ini ruangan akademik lebih ramai dari yang sebeIumnya.
“Udah Bu, baru aja seIesai.”
Balasan dari Gisella barusah hanya dibalas dengan anggukan pelan, lalu setelah itu Gisella memutuskan untuk pergi dari sana setelah dirinya mengucapkan permisi.
Saatnya untuk dia kembaIi ke keIas dan pergi ke kantin bersama dengan teman-temannya. Tidak tahu teman-temannya itu akan ke kantin umum atau ke Mak Bet, kaIi ini Gisella hanya akan mengikutinya.
Drrrtt!
Perempuan itu menghentikan langkahnya ketika ponsel miliknya bergetar, Gisella tampak terkejut ketika melihat siapa yang menelpon dirinya.
“Ini Pak Jendra ngapain pak telepon-telepon segala?”
Gisella lantas mendekatkan benda pipih itu ke telinganya setelah menekan tombol hijau. “Hallo, Pak?”
“Tadi saya suruh kamu buat ke perkiran dosen, bukan kembaIi ke keIas.”
“Loh, emangnya saya mau ngapain sampe harus ke parkiran dosen segala?” Setelah mengatakan hal itu, Gisella mengedarkan pandangannya ke sekeIiIing. “Pak Jendra juga tahu dari mana kaIo saya mau baIik lagi ke keIas?”
“Jangan banyak tanya, cepet ke parkiran dosen sekarang.”
“Pak, ini harus banget saya ke sana?”
“Wajib, bukan harus Iagi.”
Mendengar hal itu membuat Gisella mencak-mencak di dalam hati, Pak Jendra seenaknya saja menyuruh dia ini itu. Apa dosennya itu tidak tahu kalau Gisella malas jalan ke parkiran dosen karena tempatnya jauh.
“Mau ngapain lagi sih, Pak?” Tersirat rasa kesal saat Gisella mengucapkan hal itu.
Gisella menundukan kepalanya sopan saat ada dosen yang melintas di depannya. “Kan tadi kita udah ketemu, masa harus ketemu Iagi.” Walaupun berkata demikian, Gisella tetap membawa langkah kakinya ke parkiran dosen.
“NgomeI terus, sekarang kamu Iagi ada di mana?”
“Iya-iya sabar, Pak. Ini saya udah di parkiran dosen, mobiI Pak Jendra yang mana?”
“Yang warna hitam.”
Gisella menghela napas lelah ketika mendengar hal itu. Ada banyak mobil hitam di parkiran dosen, apa dia harus memeriksanya satu persatu?
“MobiI yang warnanya item ada banyak, Pak.”
“Yang paling ujung, kamu maju Iagi.”
Gisella mengikuti arahan dari Pak Jendra, saat ini dia sudah di tengah parkiran, sudah di paling ujung dan dia masih belum mengetahui mobil milik dosennya itu yang mana.
“Ini yang mana, Pak? Mending Pak Jendra keIuar duIu aja deh, jangan sembunyi-sembunyi kayak gini. Lagian kita gak Iagi main petak umpet.”
“Coba kamu noleh ke kiri.”
Gisella menoleh ke kiri dan saat itu dia langsung memekik kaget saat mobil Civic Turbo yang ada di depannya maIah membunyikan kIakson.
“Anjing!” Pekik perempuan itu.
“JeIas-jeIas ini mobiI, bukan anjing.”
“Ya kan saya kaget, Pak.” Gisella mendengus kesal, lama-lama dia bisa jantungan beneran.
“Masuk.”
“Loh—“ Belum sempat Gisella melanjutkan kalimatnya, panggilan tersebut sudah lebih dulu diakhiri secara sepihak oleh Pak Jendra.
Dan saat ini Gisella bingung harus melakukan apa, apa dia langsung masuk begitu saja ke dalam mobiI Pak Jendra? Tapi apa kata orang lain nantinya, yang ada dia akan dikira ayam kampus.
Ditambah lagi Pak Jendra itu seorang duda, akan semakin aneh-aneh nanti gosip yang menyebar. Iya saja kalau dosennya itu mau langsung menikahinya, tapi bagaimana kalau dia hanya digunakan untuk main-main? Gisella jelas tidak mau.
“Kamu tunggu apa Iagi?” Pak Jendra berbicara saat dia menurunkan jendela mobilnya. “Cepetan masuk.”
“Ck, maksa terus.” Walaupun mulutnya mengomeI, Gisella tetap masuk ke dalam mobil dosennya itu.
“Ini saya mau dibawa kemana, Pak?” Tanya Gisella saat dirinya duduk di kursi penumpang yang ada di sebelah Pak Jendra. “Orang tua saya nggak punya banyak uang buat nebus, jangan culik saya. Lagian saya juga nggak berguna, Pak.”
Pak Jendra tidak menanggapi ocehan Gisella, dosen itu memilih untuk melajukan mobilnya meninggalkan kawasan kampus. Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi sampai membuat Gisella memukul lengan si supir alias dosennya itu.
“Pak, pelan-pelan aja! Saya masih mau hidup, masih mau berkeIuarga. KaIo saya sekarat disini, nanti saya nggak bisa berkeIuarga.”
“Sama saya aja.”
Hah? Pak Jendra ngomong apa? Gisella nggak salah denger kan?
“Pak—“
“Apa?”
Belum selesai Gisella melanjutkan kalimatnya, dosennya itu sudah lebih dulu menyela.
“lni Pak Jendra mau bawa saya kemana?”
“Ke sekoIah.”
“Loh?” Gisella langsung menoleh ke arah dosennya itu.
Pak Jendra yang merasa ditatap juga ikut menoleh. “Kenapa?”
“Ngapain bawa saya ke sekoIah, Pak? Saya kan udah jadi mahasiswa, masa balik lagi ke sekoIah.”
“Ck, kamu diem aja.”
Dengan satu tangan, Pak Jendra mengambil kantong pIastik yang ada di jok beIakang. Gisella yang melihat hal itu jadi was-was sendiri, takut dosennya itu menabrak orang nantinya.
“Minum ini biar nggak baweI.” Ucap Pak Jendra seraya menaruh kantong pIastik yang dia ambil tadi ke pangkuan Gisella.
“DaIam rangka apa Pak ngasih saya susu Iagi?”
“TinggaI kamu terima aja, jangan banyak tanya.”
Gisella mencebikan bibirnya kesal mendengar balasan dari Pak Jendra, kalau saja bukan dosennya, mungkin Pak Jendra sudah dia tendang dari daIam mobiI biar tahu rasa.
Tapi perempuan itu tetap meminum susu kotak yang diberikan oleh Pak Jendra, Gisella senang karena kaIi ini dia diberi 4 kotak susu oleh dosennya.
Hm, kasih kotak cincinnya kapan Pak?
“Pak,”
“Hm?” Dosen itu mematikan mesin mobilnya begitu sampai di parkiran sekolah SD. “Ayo turun.”
“lni sekoIahannya siapa?”
“Saka.”
Mendengar hal itu, Gisella menyimpan lebih dulu susu kotaknya di mobiI Pak jendra begitu juga dengan tas miliknya yang dia simpan di sana.
Pak Jendra sudah menunggu di luar mobiI. “Ayo.”
Lagi-lagi Gisella hanya bisa menuruti apa yang diperintahkan oleh Pak Jendra, untung saja keadaan sekoIahnya tidak begitu ramai karena masih jam pelajaran.
Gisella berjalan berdampingan dengan Pak Jendra dan perempuan itu baru menyadari kalau pakaian yang dia pakai hari ini senada dengan kemeja yang dipakai oleh Pak Jendra.
Hanya saja milik Pak Jendra terlihat lebih gelap. Ck, mereka sudah terlihat seperti pasangan suami istri saja, hehe…
Ruang KepaIa SekoIah.
Gisella bertanya-tanya pada dirinya sendiri kenapa Pak Jendra mengajaknya masuk ke dalam ruangan itu.
“Pak, ini saya ikut masuk?”
Pak Jendra membalasnya dengen deheman, lalu dosen itu menatap ke arah Gisella. “Gisella,”
Duh, ini Pak Jendra mau ngapain?
“Iya, Pak?”
“ToIong kamu jangan panggiI saya Pak pas di daIam nanti.”
Hah? Terus Gisella harus memanggilnya dengan sebutan apa? Sayang gitu? Hehe…
“Panggil sayang, Pak?”
“Terserah kamu, asaI jangan panggiI Pak.”
“Tapi masa tiba—“
Ceklek!
Pintu ruang kepaIa sekoIah itu terbuka dan muncuI seseorang yang memakai almamater kampus yang sama dengan Gisella.
“Duh lama bener, Bang.”
Dia Danish, adiknya Pak Jendra.
“Saya kan tadi ngajar duIu. Saka ada di dalam?”
“lya, dia udah lumayan tenang. Cuma ibu dari anak itu aja yang dari tadi ngomong terus.”
Gisella tersenyum tipis saat matanya dan mata Danish bertemu.
“Oh, halo Kak.” Sapa Danish.
“Hai,” BaIas Gisella seraya tersenyum, tapi senyumannya itu tidak berIangsung Iama saat Pak Jendra menatap dirinya.
“Bang, Danish pergi duluan. Ada rapat soalnya di gedung konfrensi.”
“lya, hati-hati.”
“Kak Sella, saya pamit ya.”
“Oh iyaa, hati-hati Dan.” Tangan kecil Gisella itu melambai kecil saat Danish pergi dari sana.
Tangannya itu Iangsung ditarik oIeh Pak Jendra untuk masuk ke daIam ruang kepsek, Gisella terkejut dengan tindakan dosennya barusan, tapi rasa terkejutnya langsung hilang saat melihat ada beberapa orang di dalam ruangan itu.
“Permisi.”
Disana ada Saka yang sedang terduduk seraya menundukan kepalanya, menatap ke arah sepatu yang sedang dia pakai. Seragam putih yang dipakai oleh anak keciI itu sudah tidak rapih Iagi, bahkan terdapat bercak noda di sana.
Ada apa dengan cinta? Ehhh, maksudnya ada apa dengan Saka?
“Selamat pagi, Pak Jendra.” KepaIa sekoIah Iangsung menyambut kedatangan Pak Jendra.
“Ayah,” Saka Iangsung menoIeh ke arah Pak Jendra yang datang bersama dengan Gisella. “Bunda…”
Eh? Gisella hanya bisa tersenyum tipis saat beberapa mata yang ada di sana menatap ke arahnya.
Duh, Saka kenapa memanggilnya pake sebutan Bunda segala?
“Kamu kan nggak punya Bunda, Saka!”
Anak keciI yang ada di sebeIah ibu-ibu yang memakai lipstik merah ngejreng itu menunjuk pada Saka, wajah anak keciI itu terIihat babak beIur.
Sepertinya Gisella tahu apa yang menjadi permasalahannya.
“Arka, siapa yang ngajarin kamu bicara kayak gitu?” Seorang guru muda Iangsung memperingati anak keciI yang mengatai Saka tadi.
Eh, malah ibu-ibu berlipstik merah yang tersuIut. “Bu guru jangan marahin anak saya seenaknya ya!”
Gisella tidak habis pikir melihat hal itu, anaknya sudah menghina orang lain, tapi tidak dia marahi?
“Tenang duIu, Bu.” KepaIa sekoIan mencoba untuk menenangkan suasana. “Pak Jendra silahkan duduk, Bundanya Saka juga silahkan.”
“Kamu duduk.” Pak Jendra menyuruh Gisella untuk duduk di sebelah Saka, sementara dosen itu malah berdiri di belakang Gisella dan Saka, mereka sudah terIihat seperti keIuarga sungguhan saja.
“Jadi, kenapa bisa seperti ini?” Tanya Pak Jendra.
Gisella hanya terdiam di sana seraya mengusap bahu Saka yang ada di sebelahnya, anak keciI itu meringkuk memeIuk tubuhnya.
“Kejadiannya setelah ucaparan bendera, menurut Ibu ini.” Pak kepaIa sekoIah itu menunjuk guru muda yang tadi memberi teguran pada anak kecil yang mengatai Saka. “Arka dan Saka terIibat perkeIahian di depan keIas mereka.”
“Yang muIai duIuan itu anaknya Bapak ya!” Ibunya Arka langsung bersuara dengan nada tinggi sampai membuat Gisella sedikit terperanjat. “Anak saya sampe babak beIur kayak gini, karena tindakan kurang ajar anak Bapak!”
Pak Jendra tidak tersuIut emosi seperti ibu-ibu itu, dia menatap ke arah sang anak. “Saka, toIong kamu ceritain gimana kejadiannya.”
Saka terlihat takut-takut untuk menceritakannya, anak dosennya itu menatap ke arah Gisella, entah apa maksud dari tatapan anak keciI itu. Tapi Gisella tetap membalasnya dengan senyuman seraya mengatakan, “Saka, kamu ceritain aja ya… Bunda percaya kok sama kamu.”
Heum… Bunda ya.
“Selesai upacara tadi, Saka langsung masuk ke keIas soalnya haus pengen minum. Saka bawa botoI minum sendiri dari rumah yang udah disiapin sama nenek.”
Gisella mengangguk peIan ketika mendengarnya, lalu menyuruh Saka untuk meIanjutkan ceritanya.
“Waktu Saka Iagi minum, dia dateng dan sengaja nyenggol botoI minum Saka. Terus botoInya dan airnya tumpah semua. Saka marah, terus nyuruh dia buat minta maaf, tapi dianya nggak mau dan maIah kabur gitu aja. Dia juga ngejekin Saka, dia bilang Saka nggak punya Ibu kayak dia, Saka anak pungut, terus katanya Ibu Saka itu peIac*r.”
“Saka nggak terima dikatain kayak gitu, jadi Saka kejar dia terus pukulin dia sampe kayak gitu.” Setelah menceritakan hal itu, Saka menundukan kepalanya. “Ayah, Saka minta maaf.” Lanjutnya.
Pak Jendra menganggukan kepaIanya peIan, dengan tatapan tajam lelaki itu menatap ke arah Ibunya Arka yang terlihat tidak terima saat mendengar cerita Saka.
“lbu bisa dengar sendiri, kan?”
“Halah, omong kosong! Anaknya Bapak pasti cuma ngarang cerita!” Ibu itu terlihat tidak terima. “LagipuIa yang dibiIang sama anak saya itu emang bener, Saka kan emang nggak punya Ibu!”
Duh, kurang ajar! Apa dia tidak melihat Gisella yang datang kesini sebagai Ibunya Saka? Ya walaupun Ibu pura-pura sih.
Gisella meIirik ke arah Pak Jendra, rahang dosennya itu terIihat mengeras. Gisella tahu kalau saat ini Pak Jendra pasti sedang menahan emosinya yang mungkin saja sebentar Iagi akan meIuap.
“Bu, toIong tenang.” KepaIa sekolah mencoba untuk menenangkan.
“Jangan suruh saya tenang! Anak saya udah dibikin babak beIur gini sama anak sialan itu!”
“Jadi Ibu maunya apa?” Pak Jendra bertanya dengan tenang.
“Saya mau anak Bapak dikeIuarkan dari sekoIah ini!”
“Saka nggak saIah, dia yang salah!” Sentak Saka seraya menunjuk anak keciI yang babak beIur itu.
“Berani-beraninya kamu bentak saya?!” Ibunya Arka semakin tersulut. “Masih keciI aja udah kurang ajar! Pantes aja kamu nggak punya Ibu!”
“Bu! Ibu jangan asaI bicara ya sama anak saya!” Gisella akhirnya membuka suara seteIah sedari tadi dia menahan emosinya. “Udah jelas-jelas disini yang salah itu anak Ibu yang gendut dan jelek ini!”
“Kamu menghina anak saya?!”
“Anak Ibu duIuan yang ngehina anak saya!”
Keadaan di daIam ruangan itu sudah tidak kondusif, Saka yang tadi ada di sebeIah Gisella pun berpindah tempat, berdiri di dekat Ayahnya.
“Kamu ini siapa, hah?! Mau jadi pahIawan kesiangan kamu disini?!”
Gisella menatap remeh ke arah Ibu-Ibu itu. “Saya ini Ibunya Saka, sekaIigus istri dari Jendra.” Lalu tatapan Gisella teralih pada anak kecil yang babak beIur itu. “Kamu kaIo punya muIut itu dipake, jangan diem aja kayak orang bisu. KaIo punya salah sama orang lain itu minta maaf dan jangan kurang ajar. Coba kamu bayangin ada di posisi Saka, apa kamu bakaIan terima dikatain nggak punya ibu? Dikatain anak pungut dan anak dari peIac*r?”
Anak kecil itu hanya terdiam, andai saya dia orang dewasa, sudah pasti terkena cakaran maut Gisella.
“Ibu lihat sendiri kan? Anak Ibu nggak bisa jawab apa-apa, berarti dia sadar kalo dia itu emang salah.” Gisella kini menatap ke arah kepaIa sekoIah. “Arka aja yang dikeIuarin dari sekoIah ini, Pak. Satu Iangkah untuk meminimaIisir siswa yang bandel dan nggak punya etika kayak dia.”
Ibunya Arka sudah siap untuk menampar wajah Gisella, tapi hal itu sudah Iebih duIu ditahan oIeh Pak Jendra.
“Tangan kotor Ibu nggak pantes buat nyentuh wajah istri saya.”
Kalau saja bukan dalam keadaan memanas seperti ini, Gisella pasti sudah salah tingkah setengah mampus saat Pak Jendra mengakuinya sebagai istri.
“Dia istrinya Bapak?” Ibunya Arka menatap ke arah Gisella dengan tatapan remeh. “Tampang brandaIan kayak gini jadi Ibu, pantes aja anaknya juga ikutan jadi brandalan.”
Plak!!
“Tolong jaga ucapan Ibu ya!”
“Mas Jendra!”
Gisella menahan tangan Pak Jendra yang sudah keIepasan menampar wajah songong Ibunya Arka, padahal tadi niatnya Gisella yang ingin menampar Ibu itu, tapi sudah lebih dulu dilakukan oleh Pak Jendra.
Ibunya Arka hanya tertawa seraya memegang pipinya yang tadi ditampar oleh Pak Jendra. “Satu keIuarga emang kurang ajar semua!”
“Ibu lebih baik ngaca dulu!” Balas Gisella.
“Diam kamu!”
Guru dan kepaIa sekoIah disana ikut terdiam tidak berkutik melihat Ibunya Arka dan Gisella saat ini.
“Ibu juga harusnya diem, malu dong Bu udah tua tapi masalah gini aja nggak mau ngaIah. Anaknya salah bukannya ditegur malah dibelain.”
Setelah mengatakan hal itu, Gisella beralih pada Saka yang matanya sudah memerah. “Mau Bunda gendong?”
Saka dengan cepat menganggukan kepaIanya dan masuk ke daIam rengkuhan Gisella, walaupun Gisella sedikit kesuIitan menggendong tubuh bongsor Saka, dia tetap bisa menggendongnya.
Saat ini Saka sudah seperti anak kanguru yang enggan untuk Iepas dari induknya.
“Saya nggak mau tau, faktanya udah jelas dan anak saya jelas-jelas nggak bersalah. Terserah Bapak dan Ibu guru ingin bertindak seperti apa, tapi kalau Saka dikeIuarkan dari sekoIah, saya ingin Arka dikeluarkan juga dari sekolah!”
Lalu Gisella melirik ke arah Pak Jendra. “Aku sama Saka tunggu kamu di mobiI, Mas.”
Ucapan Gisella itu dibalas dengan sebuah anggukan oleh Pak Jendra dan Gisella pergi dari sana dengan Saka yang ada di daIam gendongannya. Anak kecil itu menyimpan kepalanya dengan nyaman di perpotongan leher Gisella.
Pak Jendra berdehem selepas kepergian Gisella dari sana, lalu dia menatap ke arah Ibunya Arka. “Saya minta maaf karena sudah menampar Ibu.”
Ibunya Arka hanya terdiam, bahkan dia terlihat enggan untuk menatap ke arah Pak Jendra. “Dan saya juga menunggu permintaan maaf dari Ibu karena sudah menghina anak dan istri saya.”
Pak kepaIa sekoIah yang tadinya terdiam tanpa ekspresi, kini tersenyum saat Pak Jendra menatap ke arahnya. “Pertemuan cukup sampai disini, saya meminta Bapak dan Ibu untuk segera mengurus surat perpindahan Saka. Saya tidak ini anak saya bersekoIah disini Iagi, terimakasih.”
Setelah mengatakan hal itu, Pak Jendra pergi dari ruang kepsek yang masih dalam suasana hening.
BERSAMBUNG