Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sidang terakhir penentuan..
Ruang sidang utama tampak lebih tegang dari biasanya. Semua mata tertuju pada pasangan yang sejak awal sudah menarik perhatian: Nayla dan Raka. Meja kuasa hukum sudah tertata rapi, Aldi berdiri tenang di sisi Nayla, bersiap menghadapi hari terakhir sidang. Ia membuka map birunya, memastikan semua dokumen dan bukti telah lengkap. Di seberang, tim kuasa hukum Raka terlihat gelisah.
Hakim ketua masuk ke ruangan, diiringi dua hakim anggota. Semua yang hadir berdiri, lalu duduk kembali setelah dipersilakan.
"Baik, sidang perkara cerai antara Saudara Raka Adityawan dan Saudari Nayla Putri Wulandari akan segera dimulai. Hari ini adalah sidang terakhir untuk mendengarkan pertimbangan akhir dan memutuskan perkara ini."
Nayla menunduk. Tangannya mengepal di atas paha. Ia berusaha tenang, namun detak jantungnya seolah menolak untuk diajak kompromi. Di sampingnya, Aldi membisik pelan, “Kamu nggak sendiri di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap membelamu.”
Belum sempat Hakim melanjutkan pernyataannya, suara langkah tergesa terdengar dari arah pintu.
“Maaf, Yang Mulia,” ujar seorang wanita muda dengan perut yang jelas membesar, berjalan masuk dengan napas tersengal. “Saya Tania Larasati. Saya... saya mohon izin untuk bicara.”
Ketegangan seketika berubah menjadi kegemparan kecil. Bisik-bisik menyebar di antara pengunjung sidang. Raka memucat, sementara Nayla hanya bisa mematung di tempat duduknya.
Hakim mengerutkan kening. “Saudari siapa?”
“Tania Larasati. Saya adalah wanita yang... selama ini menjalin hubungan dengan Pak Raka,” jawabnya, suaranya jelas dan mantap.
“Sidang ini bukan forum terbuka,” ucap hakim dengan nada tegas. “Jika Saudari tidak memiliki kaitan langsung terhadap kasus—”
“Tapi saya mengandung anaknya,” potong Tania, membuat seisi ruang sidang membisu.
Hakim terdiam sejenak. Lalu memandang ke arah Raka. “Benarkah itu, Saudara Raka?”
Raka tak mampu menjawab. Ia hanya menunduk, diam membisu. Kuasa hukumnya mencoba menyela, namun hakim mengangkat tangan.
“Lanjutkan, Saudari Tania,” ujar hakim, kini dengan intonasi serius.
“Saya tahu saya tidak punya hak apa-apa di sini. Tapi saya tidak ingin Nayla terus-menerus menjadi korban kebohongan. Raka memang ingin bercerai, karena ia ingin hidup bersama saya. Ia menjanjikan akan menikahi saya setelah semuanya selesai. Dan ini—” ia menyentuh perutnya yang membesar, “—adalah bukti dari hubungan kami.”
Suara Tania gemetar, namun tetap tegas.
Nayla menutup matanya. Sesuatu dalam dirinya retak, namun anehnya—ada juga rasa lega yang tak bisa dijelaskan. Bukti pengkhianatan itu kini tidak lagi tersembunyi. Ia tidak lagi harus berjuang membuktikan sendiri rasa sakitnya.
Hakim menghela napas panjang. “Apakah Saudari Nayla ingin menanggapi?”
Nayla berdiri pelan, mengangkat kepalanya.
“Saya tidak akan memperpanjang pembelaan, Yang Mulia. Sejak awal saya tahu hati suami saya sudah tidak lagi untuk saya. Dan hari ini, saya semakin yakin bahwa melepaskan adalah satu-satunya jalan.”
Aldi berdiri di sampingnya. “Sebagai kuasa hukum, saya menyerahkan sepenuhnya pertimbangan kepada Majelis Hakim. Tapi saya mohon, keadilan untuk klien saya—yang telah dilecehkan secara emosional dan ditinggalkan tanpa tanggung jawab—dapat ditegakkan.”
Hakim mencatat. Ia mengetuk palu satu kali.
“Majelis akan menyatakan putusan dalam waktu satu jam. Sidang diskors sementara.”
---
Di luar ruang sidang, suasana sama panasnya. Wartawan yang sudah mencium aroma gosip segera mengerumuni pintu. Namun yang menjadi pusat perhatian adalah Aldi dan Nayla yang duduk di bangku tunggu.
“Nayla...” Aldi memanggil dengan lembut. “Aku tahu ini berat. Tapi lihat sisi baiknya. Kamu sekarang bebas.”
Nayla tersenyum kecil. “Lucu, ya. Bebas, tapi hati tetap terasa sesak.”
Aldi menatapnya dalam. “Setidaknya, kamu tidak sendiri. Dan besok... kamu bisa memulai hidup baru. Tanpa bayang-bayang kebohongan.”
Mata Nayla berkaca. Tapi ia tahu, air mata itu bukan karena kehilangan Raka. Itu karena hatinya lelah—dan kini perlahan sembuh.
Satu jam kemudian, sidang kembali dimulai. Hakim mengetuk palu tiga kali.
“Setelah mempertimbangkan semua fakta, bukti, dan pernyataan dalam persidangan, maka pengadilan memutuskan mengabulkan gugatan cerai dari pihak penggugat, Nayla Putri Wulandari. Per tanggal keputusan ini, hubungan pernikahan antara Nayla dan Raka secara sah berakhir.”
Suara palu terakhir terdengar seperti gema kelegaan. Nayla menunduk—bukan karena kalah, tetapi karena beban telah diangkat dari pundaknya.
Saat keluar dari ruang sidang, Aldi menoleh padanya. “Selamat. Ini hari pertama kamu sebagai kamu yang baru.”
Nayla menatapnya dengan lirih. “Terima kasih, Aldi. Tanpa kamu, aku mungkin sudah menyerah sejak lama.”
Dan untuk pertama kalinya, Nayla melangkah keluar bukan sebagai istri Raka, tapi sebagai Nayla—perempuan yang akhirnya memilih dirinya sendiri.