Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29
Langkah Rania makin cepat saat meninggalkan halaman rumah Bu Siti. Tumit sepatunya menghentak keras tanah yang kering, membuyarkan ketenangannya sendiri. Nafasnya memburu, dadanya sesak, bukan karena lelah... tapi karena sesuatu yang selama ini ia kubur, tiba-tiba mencuat lagi tanpa aba-aba.
Di balik kacamata hitam yang kembali ia kenakan, matanya memerah. Ia menggigit bibir, menahan emosi yang sudah hampir tumpah.
“Bahagia banget, ya, kamu, Gan,” gumamnya pelan tapi getir. “Dulu aku yang kamu kejar-kejar... sekarang kamu yang ninggalin aku kayak nggak pernah ada.”
Ia berhenti sejenak di bawah pohon, lalu menyandarkan diri ke batangnya. Ponsel di tangannya ia buka. Chat lama dari Ganendra dulu masih ada. Pesan-pesan yang dulu ia abaikan, ia baca ulang sekarang. Kata-kata tulus. Harapan-harapan kecil dari lelaki sederhana yang hanya ingin disayangi dengan apa adanya.
Rania memejamkan mata. Ingatannya melayang ke masa itu.
Waktu itu dia dan Ganendra masih berjualan di toko alat rumah tangga kecil. Gaji Ganendra tak seberapa, tapi perhatian dan ketulusannya selalu ada setiap hari. Mengantar pulang walau kehujanan, membelikan obat saat Rania demam, atau sekadar menyelipkan roti tawar di tas karena tahu Rania suka lupa sarapan.
Tapi semuanya runtuh saat kedua orang tuanya datang membawa pria mapan, lulusan luar negeri, dengan mobil mewah dan gelar panjang. "Ngapain kamu buang waktu sama tukang toko kayak dia? Nanti hidupmu sengsara," ujar ibunya waktu itu. "Pilih yang pasti-pasti aja. Nggak usah sok romantis kalau ujung-ujungnya miskin."
Dan Rania... memilih tunduk. Menikah demi gengsi. Demi standar sosial. Demi hidup yang katanya aman dan bergengsi.
Tapi hari ini, ketika melihat Ganendra lagi—bukan sebagai lelaki sederhana dengan gaji pas-pasan, melainkan lelaki utuh yang punya cinta dan dihargai—hatinya digerus rasa yang tak bisa dijelaskan.
“Aku nggak pernah benar-benar berhenti sayang,” lirihnya sendiri. “Tapi aku terlalu pengecut buat bertahan.”
Ia menyeka air matanya buru-buru sebelum ada yang melihat. Tapi rasa kesal di dadanya makin mengendap dalam. Bukan cuma karena Ganendra bahagia... tapi karena kebahagiaan itu bukan bersamanya.
“Cinta nggak butuh restu kalau akhirnya cuma jadi alat tukar harga diri,” bisiknya, lalu berbalik, melangkah cepat masuk ke mobilnya.
Di balik kemudi, ia menatap wajahnya sendiri di cermin tengah.
“Hari ini kamu kalah, Ran,” ucapnya pada diri sendiri, lirih. “Bukan karena dia ninggalin kamu... tapi karena kamu sendiri yang buang dia dulu.”
Mesin mobil dinyalakan. Tapi rasa itu tak kunjung padam. Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahannya dulu, Rania sadar... bahwa harga mahal yang ia bayar untuk sebuah status sosial, ternyata tak pernah bisa membeli ketenangan hati.
Baru beberapa kilometer meninggalkan rumah Bu Siti, tiba-tiba mobil oleng ringan ke kiri. Ganendra segera menepi dan mematikan mesin. Ia turun, memeriksa ban belakang kiri, lalu menghela napas panjang.
“Wah, ini sih nggak bisa ditoleransi. Kempes total,” ucapnya sambil menatap ban yang nyaris menyentuh aspal.
Livia ikut turun, menurunkan kaca mata hitam dari atas kepala. Ia ikut melihat dan ikut menghela napas.
“Ada bengkel deket sini nggak, Mas?” tanyanya, meski dari tadi mereka hanya lewat jalan perkampungan yang sepi.
“Kayaknya nggak ada, paling deket lima kilometer lagi. Tapi yaudah lah, jalan kaki aja sambil olahraga tipis-tipis,” imbuh Ganendra sambil mengambil jaket dari jok belakang.
Livia tersenyum, lalu ikut melangkah. Jalanan di sisi kanan dan kiri hanya diisi pepohonan dan rumah-rumah kecil yang berjauhan. Udara panas tapi anginnya cukup ramah.
“Kamu yakin mau jalan? Nggak malu ketemu warga, jalan kaki sama supir kamu?” goda Ganendra sambil melirik.
Livia menatap tajam, lalu tersenyum lebar. “Supir? Hari ini kamu promosi jadi partner jogging darurat, tahu nggak,” ujarnya santai.
Mereka melangkah pelan. Suara sepatu menyatu dengan gemerisik dedaunan kering. Sesekali motor lewat, tapi tak banyak yang melirik.
“Mas Gana...” panggil Livia pelan.
“Hmm?” sahutnya tanpa menoleh.
“Kamu tuh, ya... kalau jalan kaki aja bisa bikin deg-degan. Apalagi kalau beneran ngajak hidup bareng. Bisa pingsan aku tiap hari,” celetuknya sambil menahan tawa.
Ganendra nyengir, lalu menepuk dadanya pelan. “Tenang, paket lengkap. Bisa gombal, bisa dorong mobil, bisa mijet juga kalau kaki pegal.”
Livia tertawa pelan, sambil menahan lengannya yang mulai lelah. “Nggak nyangka sih, momen kayak gini lebih nyenengin daripada makan malam mewah di rooftop.”
Ganendra menoleh, menatapnya sebentar. “Karena kamu nggak cari pemandangan, tapi cari rasa aman. Dan itu... nggak ada di gedung tinggi, tapi di samping orang yang nggak bakal ninggalin,” katanya tulus.
Livia diam. Senyumnya melebar pelan.
Matahari sudah condong ke barat, bayangan mereka jatuh ke arah kiri, panjang dan tenang. Meski kaki pegal dan peluh mulai membasahi pelipis, mereka tetap melangkah. Saling melempar candaan, sesekali diam, tapi tidak pernah kikuk.
“Mas, kalau nanti kita nikah, terus kamu bosen... kamu bakal apa?” tanya Livia tiba-tiba.
Ganendra tak langsung menjawab. Ia berhenti sejenak, lalu mengangkat tangan Livia, menggenggamnya erat.
“Aku nggak bakal bosen sama orang yang ngajarin aku arti pulang,” jawabnya mantap.
Dan mereka pun kembali berjalan, tak peduli berapa kilometer lagi sisa jalan di depan. Karena saat hati sudah sepakat, lelah pun terasa ringan.
Langit yang sedari tadi hanya mendung akhirnya runtuh juga. Gerimis turun perlahan, lalu berubah jadi deras dalam hitungan detik. Livia refleks menutup kepala dengan tangan, sementara Ganendra buru-buru melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahu Livia.
“Cepet, sini! Nggak usah sok kuat, nanti masuk angin,” serunya sambil menarik tangan Livia untuk berteduh di bawah pohon besar di pinggir jalan.
Air hujan mengguyur lebat, membasahi tanah merah dan sepatu mereka yang sudah belepotan lumpur. Nafas mereka berembus cepat, bukan karena panik, tapi karena kedinginan dan geli dengan situasi yang tak terduga.
Livia terkekeh pelan sambil membenahi rambutnya yang mulai lepek. “Gila... ini lucu banget sih. Serius. Jalan kaki, kehujanan, nyeker, padahal aku ini CEO, loh,” ujarnya sambil menepuk-nepuk pundak Ganendra.
Ganendra ikut tertawa, lalu merapikan jaket di bahunya. “Ya, sekarang kamu bukan CEO. Tapi cewek cantik yang lagi bareng cowok beruntung yang dikasih momen romantis gratis dari langit,” katanya sambil menyeringai.
Livia menoleh pelan, menatap Ganendra dari balik rambutnya yang basah. “Mas, serius deh... kalau ada yang fotoin kita sekarang, pasti mereka kira kita lagi syuting sinetron. Setting-nya pas banget,” ucapnya sambil menyeka pipi yang basah air hujan.
“Kalau sinetron, harusnya abis ini kamu pingsan, terus aku gendong sambil hujan-hujanan,” celetuk Ganendra.
“Jangan harap. Berat tau,” ucap Livia sambil mencubit pelan lengan Ganendra.
Hujan belum reda. Kilat sesekali menyambar, tapi mereka tidak takut. Justru suasana itu membawa kehangatan sendiri. Wajah mereka mungkin basah, tapi tawa tidak berhenti mengalir.
“Aku suka banget momen kayak gini,” ucap Livia pelan, tatapannya menerawang. “Nggak ada yang harus dijaga image-nya, nggak ada yang ngeluh soal cuaca, cuma... berdua, basah, tapi bahagia.”
Ganendra menoleh, menatap perempuan di sampingnya dengan mata yang tak main-main.
“Kalau kamu tahan temani aku di saat kaki lecet, badan basah, baju bau tanah... berarti kamu juga bakal kuat berdiri di samping aku nanti, pas semua nggak lagi sempurna,” katanya tulus.
Livia menggenggam tangan Ganendra erat.
“Aku nggak nyari sempurna, Mas. Aku cuma nyari yang nggak kabur waktu hujan kayak gini.”
Dan di bawah derasnya hujan, dua orang yang tampak tak serasi secara dunia, justru semakin serasi dalam langkah. Bukan karena jas hujan, bukan karena payung, tapi karena hati mereka saling meneduhkan.