Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat cinta
Bukan maksud Camelia bersikap acuh pada Sena, tapi hatinya belum cukup siap untuk kembali menatap pria itu, apalagi bertegur sapa setelah malam itu, malam yang membuka tabir perasaan seseorang yang selama ini ia kira, tidak akan pernah menaruh minat lebih padanya.
Bagaimana mungkin dia menyukaiku? pikir Camelia, sejak saat itu pikirannya dipenuhi tanda tanya yang tak kunjung menemukan jawab.
Ia memutuskan menjaga jarak, bukan karena benci. Tapi karena ingin menjaga kewarasan. Karena jika harus terus bertatap muka, ia takut, dirinya sendiri yang tersesat dalam pusaran perasaan yang belum ia mengerti sepenuhnya.
Pagi itu, langkahnya terasa tenang. Ia baru saja turun dari mobil dan melangkah ke arah kelas, kepala tertunduk, sesekali mengecek pesan di ponselnya. Namun langkahnya terhenti ketika sepasang kaki dengan sepatu pantofel hitam mengadang jalannya.
Camelia tak perlu menengadah untuk tahu siapa sosok itu.
Sena.
Dengan pelan, ia mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bersua dan Sena tampak tak mengenakan topeng profesionalnya hari ini.
"Mel, bisa kita bicara sebentar?" ucapnya lirih. Suaranya lembut, tapi jelas bukan nada seorang dosen pada mahasiswinya.
Camelia mengerutkan kening. Jengkel, geram dan bingung harus bereaksi seperti apa. Apa-apaan sih dia ini? Kenapa nggak bisa menempatkan waktu dan tempat? pikirnya gusar. Kampus bukan tempat untuk membicarakan hal pribadi, dan terlebih lagi ada banyak pasang mata yang kini mulai melirik ke arah mereka.
"Eh, eh... lihat deh. Beneran nggak sih Pak Sena ada apa-apa sama si cupu itu?"
"Iya, serius. Wah... kok bisa sih?"
Bisik-bisik tajam dari beberapa mahasiswa yang lewat menyusup ke telinga Camelia. Tatapan sinis dan ejekan tak berperasaan itu membuat dadanya sesak. Dengan sekuat tenaga, ia menahan emosinya agar tidak meledak di tempat.
"Pak, saya ada kelas. Jadi mohon maaf jika saya menolak. Saya permisi." suaranya terdengar datar dan dingin. Tanpa menunggu respons, ia melangkah cepat meninggalkan Sena.
Sumpah… ngeselin! Ngeselin banget! rutuknya dalam hati. Bukan hanya karena sikap Sena yang sembrono, tapi juga karena dirinya yang tak tahu harus bersikap seperti apa.
Di belakang sana, Sena berdiri membisu. Rahangnya mengeras, dan tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Ini hari kedua Camelia menghindarinya. Hari kedua ia merasa ditolak, bahkan untuk sekadar dipandang.
Mel... apa yang harus aku lakukan supaya kamu tahu, aku benar-benar mencintaimu? batinnya resah.
Sena menyadari, mungkin caranya salah. Terlalu terburu-buru, tapi ia tak sanggup hanya diam dan memandang dari kejauhan. Ia ingin bicara dan menjelaskan segalanya. Tapi, mungkin benar, Camelia bukan sekadar menjaga jarak, ia sedang membangun tembok yang tak mudah ditembus. Sehingga Sena hanya bisa berdiri di balik tembok itu. Menunggu dan berharap, suatu saat celah kecil terbuka untuknya masuk.
......................
Kelas sudah dimulai. Dosen di depan tengah menjelaskan materi, akan tetapi perhatian Camelia jauh dari layar proyektor ataupun catatan di depannya.
Gadis itu hanya duduk diam, menunduk dalam, sambil memejamkan mata sejenak. Aku harus bagaimana? gumam batinnya.
Ada yang menyesak di dada. Perasaan yang menggantung, mengguncang, dan membuat pikirannya tidak bisa diam walau ia sendiri tidak tahu harus ke mana arah jawabannya.
Sialan.
Bahkan hatinya tak mampu menjawab dengan jujur apa yang sebenarnya ia rasakan, ia takut. Bukan hanya karena Sena, tapi karena bayang-bayang masa lalu yang masih menghantui langkahnya.
Ia pernah mencintai seseorang dengan tulus—dengan segenap perasaan—hanya untuk akhirnya dimanfaatkan, disakiti, dan ditinggalkan seperti barang tak berharga. Luka itu belum sembuh. Bekasnya masih mengendap dan membentuk pagar tinggi di sekeliling hatinya. Lantas, Sena datang—dengan seluruh keberaniannya, perhatian, dan cara-cara yang begitu lembut tapi dalam.
Apakah dia juga akan seperti itu? Tak ada yang bisa menjamin. Karena, sejujurnya, laki-laki—sebaik apapun mereka tampak di awal—selalu punya potensi yang sama, berjuang keras di awal, lalu berubah dingin ketika sudah mendapatkan apa yang diinginkan.
Camelia, bukan gadis yang mudah ditipu. Tapi justru karena itu, ia jadi takut membuka hati.
Namun disisi lain, apa yang dilakukan Sena bukan perjuangan biasa. Usaha yang pria itu lakukan terlalu dalam untuk disebut hanya sekadar keinginan sesaat. Justru itulah yang membuat Camelia semakin bingung.
Srek!
Camelia membuka mata. Bunyi kertas yang bergesekan di atas mejanya mengusik keheningan pikirannya. Ia melirik. Sebatang coklat kecil tergeletak di atas kertas catatannya.
"Cokelat. Pasti suka, kan? Buat kamu. Kayaknya stres banget," bisik Giovani tanpa menoleh, tetap menatap lurus ke depan seolah tak terjadi apa-apa.
Camelia menatap cokelat itu beberapa detik sebelum menariknya pelan dan tersenyum tipis. "Makasih, Gio." ucapnya singkat.
Ada luka yang tak mudah sembuh dan ada perasaan yang tak bisa dijelaskan. Tapi dunia tak pernah berhenti bergerak dan kadang, sesuatu yang kecil bisa menjadi pijakan pertama menuju ruang yang lebih terang.
......................
Girisena Pramudito bisa dibilang pria dengan paket lengkap. Wajah tampan dengan rahang tegas, gaya bicara yang tenang namun cerdas, karier akademik yang cemerlang, serta posisi mapan sebagai dosen muda yang disegani di Fakultas Desain Komunikasi Visual. Di mata siapapun, ia adalah sosok yang sempurna—terlalu sempurna, bahkan.
Namun sayangnya, dalam urusan hati ia bisa dibilang bodoh.
Bukan karena tidak tahu cara mencintai, tapi karena terlalu gigih, terlalu dalam, dan—tanpa sadar—terlalu takluk oleh satu nama, Camelia.
Di luar sana, banyak wanita dewasa yang sepadan dengannya. Perempuan dengan karir cemerlang, usia matang, dan status sosial yang setara. Ia bisa memilih siapa pun. Bahkan jika ia hanya menunggu, wanita-wanita itu akan datang menghampiri. Ia tahu itu, semua orang tahu itu.
Tapi sejak pertama kali melihat Camelia—mahasiswanya sendiri—dunia Sena seolah mengabur. Semua perempuan lain menjadi siluet tak bermakna. Wajah mereka luntur dari fokus pandangnya. Yang tertinggal hanya sosok gadis muda dengan sikap tenang, mata tajam, dan senyum yang jarang muncul namun begitu membekas.
Sudah dua tahun lamanya Sena diam-diam mencintai dalam diam, ia mengagumi, memperhatikan, dan tanpa sadar mulai membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa suka.
Sekarang ia tidak bisa lagi hanya berdiri sebagai pengamat. Ia ingin melangkah. Meski jalannya sulit, dan meski perasaannya kerap dipatahkan oleh jarak dan status yang membatasi.
Sena tahu, ini bukan jalan yang mudah. Tapi jika itu tentang Camelia, ia bersedia menjadi bodoh. Bahkan jika cinta harus membuatnya seperti diperbudak oleh harapan, ia tak akan menyerah.
Malam turun pelan-pelan, menyelimuti kota dalam hening yang nyaris membekukan. Lampu jalan berpendar temaram, dan langit yang murung seolah memahami isi hati Sena yang kini berdiri di depan pagar besar kediaman keluarga Sasongko.
Bukan untuk bertemu Camelia malam ini, ia tahu diri. Jangankan mengajak bicara, sekadar menatap wajahnya saja pun kini seolah mustahil. Gadis itu menjauh, menutup pintu-pintu akses padanya dan Sena tak ingin memaksa, hanya ingin mencoba dari sudut yang lain.
Tangannya menggenggam erat satu map berisi sketsa dan selembar surat kecil—bukan untuk Camelia, tetapi untuk seseorang yang mungkin bisa menjembatani perasaannya, salah satu orang dalam rumah itu.
Pintu kecil di samping pagar terbuka perlahan, suara langkah ringan terdengar. Seorang wanita paruh baya keluar sambil membawa kantong sampah, berseragam rapi dengan celemek putih. Mbak Rara, kepala asisten rumah tangga di rumah Sasongko. Orang yang sering menyapa Sena secara sopan jika sedang bertamu.
Sena segera mendekat, menunduk hormat. “Maaf, Mbak Rara... ganggu malam-malam begini.”
Rara tampak terkejut, tapi masih bisa tersenyum ramah. “Astaga, Pak Sena? Ada perlu apa malam-malam ke sini?”
“Ada yang ingin saya titipkan,” katanya pelan. Ia menyodorkan map itu. “Tolong sampaikan ini ke Camelia... kalau tidak keberatan. Tidak sekarang, besok pagi pun tidak apa-apa. Saya cuma minta, tolong jangan dibuang sebelum dibaca.”
Mbak Rara menatap Sena sejenak. Ada ragu, tapi juga iba. Ia tahu siapa Sena, dosennya Camelia, lelaki muda yang beberapa kali disebut nyonya rumah dengan, setengah kagum.
“Ini bukan surat ancaman, kan, Pak?” selorohnya ringan, mencoba mencairkan suasana.
Sena tersenyum kecil, pasrah. “Bukan Mbak,”
Mbak Rara tertawa kecil, mengangguk, lalu menerima map itu. “Baik, Pak Sena. Saya sampaikan.”
Sena mengangguk, lalu melangkah mundur dengan pelan. Tak ingin membuat gaduh, tak ingin menciptakan skandal. Ia tahu tempatnya. Tapi malam itu, ia pulang dengan dada sedikit lebih lega. Meski masih penuh tanda tanya, setidaknya ia sudah mencoba satu langkah lagi. Mel, aku tidak datang untuk memaksa. Aku hanya ingin kau tahu, aku di sini. Selalu di sini, menunggumu pulih dan membuka pintu sedikit saja, dalam hati, ia berbisik lirih.
......................
Langit sudah gelap sempurna saat Camelia membuka map berwarna hitam yang tadi sore diserahkan Mbak Rara padanya. Ia tidak langsung tertarik, bahkan sempat meletakkannya di meja rias begitu saja. Tapi rasa penasaran—dan entah sedikit harap yang ingin ia tolak—membuatnya akhirnya duduk dan menarik isinya satu per satu.
Yang pertama, sebuah sketsa potret wajahnya. Garisnya tidak kaku, justru begitu hidup, seperti ditarik dengan perasaan yang dalam. Rambutnya digambar tergerai, matanya sedang menatap ke arah luar jendela, dan di bagian sudut bawah terdapat tulisan kecil.
‘Kamu seperti rumah, tapi selalu aku pandang dari kejauhan.’
Camelia diam. Hatinya seperti terkena sesuatu, tapi belum cukup kuat untuk menggoyahkannya. Ia menyimpan kertas itu, membuka lembar kedua—sebuah surat tulisan tangan.
Mel...
Aku tahu kamu tidak mau mendengar ini dariku. Aku tahu kamu ingin tenang, dan aku mungkin justru jadi alasan kenapa kamu gelisah. Tapi izinkan aku menyampaikan ini, setidaknya satu kali lagi—lalu kamu bebas untuk tidak menjawab.
Sketsa itu aku gambar dari balkon gedung A, waktu kamu duduk sendirian di taman kampus. Kamu terlihat damai... tapi juga sendirian. Sejak hari itu, aku tidak pernah benar-benar bisa memalingkan pandanganku darimu.
Kamu selalu jaga jarak, dan aku menghargainya. Tapi aku juga manusia biasa, Mel. Aku punya rasa, dan aku terlalu lama memendam semua ini sampai akhirnya rasanya menggerogoti isi dadaku. Mungkin kamu pikir ini obsesi. Mungkin kamu benar. Tapi obsesi ini bukan karena aku ingin memiliki, Mel... ini karena aku ingin menjagamu.
Maaf kalau aku menakutkan. Maaf kalau caraku salah. Tapi aku tidak menyesal mencintaimu, tidak pernah.
–Sena.
Camelia menutup surat itu perlahan, menaruh kembali isinya ke dalam map, lalu beranjak.
Tanpa ekspresi, ia melangkah ke balkon kamarnya. Angin lembut menyibak helai rambutnya saat ia menyalakan sebatang rokok. Asap mengepul perlahan, seolah mewakili isi kepalanya yang penuh sesak.
Apa ini cinta? Atau cuma bentuk gila dari seorang pria kesepian? pikirnya. Tapi ia tidak ingin menjawab dan tidak ingin kehilangan kontrol. Ia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya pelan bersama asap rokok.
Camelia belum sembuh, luka yang belum sembuh tak bisa diobati dengan cinta, seindah apapun bentuknya. Ia hanya menatap langit malam yang gelap. Dingin, sepi dan tetap memilih diam.