Malam itu aku hanya bisa melihat suamiku pulang kembali ke rumah istri sahnya. Meski kecewa aku tidak marah, kami menikah siri enam tahun lalu saat aku bahkan belum lulus SMA. Demi karirnya suamiku rela menikah dengan anak pemilik rumah sakit tempatnya bekerja.
Kadang aku bertanya, kenapa aku yang istri pertama harus mengalah?
Enam tahun kami menikah, aku tidak dikaruniai seorang anak. Aku yang sebatang kara ini hanya bisa bergantung hidup pada suamiku. Lagi pula aku sangat mencintainya hingga rela di madu. Tapi, lambat laun hatiku terasa begitu hancur dan remuk, apalagi saat mengetahui kalau vitamin pemberian suamiku sebenarnya adalah obat KB agar aku tidak memiliki anak dengannya.
Aku melihat wanita itu, wajah cantik, kulit putih, dan pembawaan yang anggun. Siapa yang tidak menyukai wanita secantik ini??
Dari pakaian dan juga penampilannya sudah pasti dia adalah wanita kaya, mana mungkin aku yang hanyalah seorang satpam bisa menaruh hati padanya?
Tapi, wanita ini terlalu menarik perhatian, terlalu susah untuk tidak mengagumi kecantikannya, terlalu susah untuk tidak menyukainya. Siapakah yang akan memiliki wanita itu??
Hasrat ini harus disembunyikan, di tekan, jangan sampai membuatnya sadar, kalau aku menyukainya.
Bila mencintaimu adalah sebuah kesalahan, aku tak ingin menjadi benar. ~ Raksa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Devy Meliana Sugianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ceraikan Aku!
Raksa melajukan motornya ke arah jalan raya dengan kecepatan tinggi, Mira memeluk pinggang Raksa erat erat.
"Tiara, tolong buat lampu merah di sepanjang jalan menuju ke apartemen Lyra menjadi hijau." Raksa telah menghubungi Tiara sebelum melajukan motornya. Ia tahu gadis itu tengah mengikutinya bersama dengan dua adiknya yang lain.
"Siap!!" Tiara terus menghack sistem lalu lintas dan merubah lampu hijau menjadi sangat lama di rute yang dilalui oleh motor hitam Raksa.
Tak perlu waktu lama bagi Raksa untuk sampai di mall. Mereka berdua cekatan naik ke apartemen, dan memanjat tangga darurat menuju ke ambalan gedung. Berjalan pelan menuju ke apartemen Mira lewat atas. Tepat saat kaki Mira menginjak lantai, passcode pintu berbunyi. Ardan sampai di apartemen.
Mira bergegas merapikan rambutnya, ia melatih senyumannya menyembunyikan wajah yang kaku terkena terpaan angin malam. Tepat saat passcode selesai dan pintu terbuka, Mira sudah siap untuk bertemu dengan Ardan.
"Ada apa??" tanya Mira saat melihat wajah Ardan mengeras dan penuh keringat.
"Kau di apartemen??" Ardan bingung, sinyalnya menghilang di barat kota.
"Memangnya aku mau kemana lagi??" Mira angkat bahu, ia pura pura tidak tahu dengan maksud Ardan.
"Kenapa kau tidak mengangkat teleponku??" Ardan berjalan mendekati Mira, ia mengoreksi setiap bagian di tubuh Mira. Tidak ada yang aneh, bajunya juga hanya baju casual biasa. Tak ada aroma lain selain parfum. Sedikit aroma basah angin malam, tapi bisa saja karena Mira membuka jendela balkon.
"Ponselku mati, Mas. Kehabisan batre." Mira menyerahkan ponselnya yang mati total pada Ardan.
"Kau benar benar tidak keluar rumah??" Alis Ardan naik satu seakan masih tidak bisa mempercayai Mira.
"Iya, Mas. Mas bisa cek cctv di luar, kalau aku pergi pasti akan terlihat aku keluar dan kembali. Bukankah kau sendiri yang memasangnya." Mira menekan ucapannya, ia punya alibi yang kuat.
"Kau tidak berbohong kan?? Kau tidak pergi dengan pria lain atau mencoba untuk pergi darikukan??" Ardan mencengkeram lengan Mira sampai wanita itu mengeryit kesakitan.
"Lepasin, Mas!! Sakit!!"
"Jawab dulu!!" bentak Ardan.
"Kenapa kau begitu curiga padaku Mas?? Lagi pula, kenapa aku tidak boleh pergi dengan pria lain saat kau bahkan bebas meniduri istrimu setiap hari?!! Kenapa??" Mira yang kesal mulai berani melawan. Ardan yang tengah labil karena kelelahan di masa kampanye mulai tidak bisa mengontrol emosinya. Ia menaikkan telapak tangannya dan memukul Mira.
Plak!
"Kau memukulku??" Mira tak percaya. Tapi tamparan Ardan perih dan panas, cukup menyadarkan Mira kalau Ardan bukanlah pria yang dulu ia cintai.
Ardan terkejut dengan kelakuan buruknya, ia menatap telapak tangannya sesaat sebelum menyentuh pipi Mira yang merah.
"Maaf, maafkan aku Mira. Aku hanya terlalu emosi." Ardan menyesal.
"Ceraikan aku kalau memang kau tidak bisa menerima semua ucapanku!" Mira mengamuk, ia memukul mukul dada bidang Ardan sambil menangis. Rasanya benar benar menyesakkan. Ardan terus mengikatnya dengan obsesi, tak mau melepaskan Mira meski ia sudah memintanya baik baik.
"Kau bilang apa?? Cerai?? Tidak akan!! Aku tak akan pernah menceraikanmu, Mira! Selamanya kau adalah ustriku. Camkan itu!!" Ardan menggoncangkan tubuh Mira agar wanita itu sadar dan berhenti mengamuk.
"Kau egois, Mas!! Egois!! Aku tidak mau menjadi selingkuhanmu!! Aku sudah muak terus bersembunyi seperti ini." Mira terjatuh ke bawah, ia tersungkur sambil menangisi nasib. Mira benar benar muak dengan tingkah posesif Ardan, obsesinya membunuh jiwa Mira pelan pelan.
"Sudah kubilang berapa kali sih?? Tunggulah sebentar lagi! Aku akan menceraikan Jenna dan pergi bersamamu!" Ardan ikut berjongkok, ia mencubit dagu Mira agar mendongak dan menatap matanya.
Wajah Mira penuh keringat dan air mata, wajah cantiknya benar benar kacau. Ia merasa pedih dan nyeri hingga denyutannya membuat perut Mira mual. Berada dalam satu ruangan yang sama dengan pembohong seperti Ardan hanya akan membuatnya kecewa dengan janji manisnya.
"Sudah berapa kali kau bilang hal yang sama, tapi kapan hal itu akan terwujud?" Mira mencemooh Ardan.
Ardan menghela napas panjang untuk mengatur emosi. Ia pun memeluk tubuh Mira dan mengelus punggungnya lembut. Ardan tahu Mira akan meninggalkannya begitu tahu Ardan memiliki istri baru. Maka dari itu Ardan mengurung Mira dan menghujaninya dengan kemewahan. Ardan mematahkan kedua sayap Mira agar dia tidak bisa terbang bebas. Sampai kapan pun akan menjadi milik Ardan.
"Maafkan aku, Mira. Aku hanya terlalu mencintaimu." Ardan mengelus elus wajah Mira yang terluka dengan lembut. Warna merah membara itu adalah hasil dari perbuatannya. Ardan benar benar menyesal.
"Cinta?? Mas bilang ini cinta??" Mira tertawa sumbang.
"Iya, cintaku hanya kepadamu, Sayang." Ardan mengecup bibir Mira.
Mira kembali menunduk, cinta macam apa yang begitu menyesakkan?? Cinta Ardan hanyalah obsesi semata, bukan cinta yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu dan mengucapkan janji pernikahan di depan Tuhan.
Ponsel Ardan berbunyi, Ardan terpaksa melepaskan pelukannya. Ia melihat ke arah ponsel dan bergegas untuk mengangkatnya. Ardan pergi ke arah balkon.
Mira beranjak ke kamar untuk menangis di sana. Ia menutup diri dengan selimut. Ia tak lagi peduli dengan kehadiran Ardan seperti bulan bulan lalu. Hati Mira seakan mulai mati, mulai dingin dan hambar. Ia memilih menenangkan diri dan tidur.
"Aku harus pergi, Mira. Anakku sakit." Ardan mengelus rambut panjang Mira.
"Pergilah."
"Jangan marah, besok aku akan memberikan hadiah padamu." Ardan mengecup kepala Mira sebelum ia meninggalkan apartemen.
Mira menangis, ia tak punya hal lain yang bisa dilakukan untuk menghilangkan pedih selain menangis. Menangis benar benar ampuh untuk mengusir rasa sakit.
.
.
.
Malam sudah larut. Ardan duduk di depan layar laptop dan melihat kembali sinyal yang sempat hilang karena ponsel Mira mati.
Lalu setelahnya ia mengecek cctv yang dipasang di pintu depan apartemen. Tidak ada, Mira tidak meninggalkan apartemen. Mira benar benar tidak pergi ke luar rumah.
"Bagaimana bisa?? Apa benar gps di ponselnya eror?? Tapi kenapa bisa begitu jauh??" Ardan mengusap usap dagu tampak berpikir. "Lagi pula tidak mungkin ia hisa kembali ke apartemen hanya dalam waktu singkat?"
"Apa Mira benar? Dia tidak pergi??" Ardan menutup laptopnya. Rasa bersalah semakin menghantui Ardan karena memukul Mira secara spontan. Harusnya dia tidak tersulut emosi dan menyelidiki masalah ini lebih dahulu. Hari ini Mira terlihay sangat membencinya.
Ardan memukul mukul kening dengan kepalan tangan, ia benar benar menyesal saat menemukan kebenarannya.
"Mas Ardan ..." Panggil Jenna, ia masuk ke dalam ruang kerja Ardan. Ardan bergegas merapikan meja dan duduk lebih bermartabat.
"Ada apa, Sayang??"
"Mas, Minggu depan kan ada acara amal di rumah sakit. Ada gathering dan makan malam bersama sambil mengumpulkan dana bagi yang tidak mampu. Aku sudah mengundang beberapa orang penting di pemerintahan. Jadi Mas harus siapin waktu ya." Jenna memberikan sebuah informasi. Jenna adalah pengurus dan bergerak di bidang hubungan relasi. Jennalah yang mengatur semua even yang terselenggara dalam rumah sakit.
"Iya, Mas pasti datang. Anehkan kalau kepala rumah sakitnya tidak datang."
"Aku juga sudah mengundang special gues kok Mas. Mas pasti senang." Jenna mengecup pipi Ardan sebelum kembali ke kamar.
Ardan bertanya tanya dalam hati, siapa special guestnya??
......................
🤭
keknya semua novel yg aku baca pada pake sabun batang 🤣