Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Danea sakit
Enam orang dewasa berkerumun mengelilingi sebuah bangsal rumah sakit di mana di bangsal tersebut ada seorang bayi enam bulan yang terkulai lemah di atas ranjang tersebut. Alena merasa bersalah saat melihat tangan mungil bayinya harus dipasang sebuah jarum infus yang mengalirkan cairan bewarna putih untuk masuk ke tubuhnya.
Kondisi Danea mulai membaik dan panas badannya turun, tapi tadi dia sempat memuntahkan semua isi perutnya dan membuat tubuhnya semakin lemah. Supaya cairan tubuhnya tidak berkurang maka anak sekecil itu terpaksa harus dipasangi selang infus.
Dharma menatap prihatin cucunya yang berwajah pucat tengah memejamkan mata, kasian sekali bayi sekecil itu harus dirawat di tempat ini. Begitu juga dengan kedua orang tua Danendra mereka dari tadi juga tidak melepaskan pandangannya kepada cucu perempuan mereka, dan Aleon berdiri di samping ayahnya ia tetap bersikap tenang tidak menunjukkan kekhawatiran yang kentara. Aleon bersikap tenang karena harus menenangkan sang ayah dan adiknya, jika dia juga terbawa arus kepanikkan siapa yang akan mengendalikan kondisi siang ini.
Dokter Livia muncul dengan dua orang perawat mengikutinya, ia meminta izin untuk mengecek reaksi tubuh pasiennya setelah diberi obat. Dokter itu juga merasa kasihan bayi yang sudah ia anggap sebagai keponakkan harus terkena DBD, ia menatap lesu bintik-bintik merah yang mengkhiasi kulit Danea.
Sementara Dokter Via sedang merawat Danea keenam orang dewasa itu melangkah mundur mereka harus makan siang, karena panik akan kondisi Danea mereka semua melewatkan jam makan siang.
Kantin rumah sakit terlihat sepi, menandakan jam makan siang telah berlalu, keenam orang itu memilih duduk paling pojok agar tidak terlalu jauh dari pintu keluar.
“Alena kamu harus makan!” Aleon memperhatikan gerak-gerik adiknya dari tadi, wanita itu tidak menyantap makanannnya dengan benar padahal orang dikelilingnya terlihat menikmati hidangan mereka.
Alena menghela napas, tenggorakannya tidak bisa menelan apa pun ia terlalu mencemaskan keadaan bayinya.
“Lena kamu harus makan, jika kamu sakit nanti Danea juga bertambah parah.” Alena menoleh ke ibu mertuanya, wanita itu menyodorkan sayur bening ke piring Alena, dia mengetahui menantunya sangat menyukai sayur kuah bening.
“Ma, aku gak nafsu makan.”
Ibu mertuanya menggeleng tetap kekeh menyuruh Alena makan, bahkan ia menyodorkan satu suapan nasi, “kamu harus makan nak, jika kamu sakit siapa yang bakal menemani Danea, mama tahu Danea itu gak bisa jauh dari kamu.”
Alena selalu menyalahkan dirinya akan kejadian yang menimpa putrinya, bagaimana mungkin dia tidak menyadari bahwa bayinya mengalami gejala DBD. Padahal saat Livia mengunjungi rumahnya untuk memberi resep obat dokter itu sudah menyarankan untuk membawa Danea ke rumah sakit, tapi Alena masih ragu, ia hanya menganggap putrinya demam biasa karena memang lagi musim hujan, lagi pula dia menunggu Danendra untuk berangkat bersama mengantar anak mereka.
“Ma aku merasa jahat banget gak bisa ngurusin Danea, kasian dia harus terkena DBD, kasian dia harus menjalani perawatan beberapa hari.” Suara Alena mulai bergetar, rasa bersalah ini membuat dia tidak tenang.
“Gak ada jahat sayang, ini wajar kamu berapa pertama kali menjadi ibu pasti rasanya berat, apalagi kamu harus mengurusi dua bayi sekaligus.” Balas mertuanya lembut.
“Tapi tetap saja seharusnya aku lebih memperhatikan kebersihan rumah, aku lalai jadi anakku sakit.”
“Sudah ini sudah terjadi, biarkan jadi pembelajaran buat kamu ya nak. Kamu juga Danen sebagai ayah harus peka, kan kamu juga dokter masa bisa-bisanya meremehkan gejala demam.”
“Ma aku gak tau kalo Danea demam.”
Sang ibu mengernyit heran, ia menatap bingung putra semata wayangnya.
“Koq bisa kamu gak tau anakmu demam, kan dia tidur sekamar dengan kamu seharusnya kamu bisa ngerasain, jangan ngandelin istri kamu aja Ndra.”
“Ya aku kan kerja ma, Alena yang seharian ngurusin Danea aku cuman liat sebentar.”
Bukh!
“Aduh!”
Satu pukulan dari sendok makan melayang di dahi Danendra, pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri sejak tadi pria itu diam saja memperhatikan istrinya yang mengomeli anak mereka tapi lama-lama ia juga ikut greget.
“Papa, apaan, sih.”
“Kamu tu kepala keluarga, istri dan anakmu harus berada di bawah pemantauan kamu Ndra, jangan banyak alasan. Papa setuju dengan mama kamu harus lebih peka.”
Danen merasa terpojok semua orang menyalahkan dirinya, padahal jelas Alena-lah yang teledor wanita itu yang seharian bersama bayi mereka, Alena yang punya tanggung jawab akan si kembar, dia sudah berusaha terbaik untuk pulang demi anak-anak mereka.
Setelah makan mereka semua kembali lagi melihat Danea, bayi kecil itu tetap masih memejamkan matanya. Seharian mereka menemani Danea, bahkan ibu mertua dan ayah mertua ingin menginap di sini tapi dilarang Danendra.
“Kalian semua lebih baik pulang, ada saya sama Alena di sini, kami orang tua Danea jadi jangan khawatir.”
Meski sempat berat hati akhirnya mereka memutuskan pulang, ada benarnya juga Danea perlu ketenangan jika terlalu ramai di ruangan tempat dia dirawat akan menyebabkan sedikit keributan jelas itu tidak baik untuk kondisi Danea yang sedang dalam masa pemulihan.
Sebelum sampai kediaman masing-masing Dharma bersama putranya Aleon diikuti oleh kedua besannya memutuskan untuk singgah ke rumah Alena, mereka ingin melihat keadaan Daniel kasian sekali dia ditinggal hanya bersama asisten rumah tangga di rumah, tidak ada anggota keluarga yang menemaninya.
Karena hari semakin larut kedua besan Dharma sudah pamit pulang, setelah puas bermain bersama cucu laki-lakinya kedua orang tua itu memutuskan untuk pulang. Karena di rumah mereka tidak boleh kosong, apalagi tadi mereka meninggalkan rumah dalam keadaan terburu-buru pasti ada bagian rumah yang tidak terkunci dengan benar, bahaya sekali tinggal di perkotaan rumah yang kosong dengan keadaan tidak dikunci pasti menjadi sasaran empuk berbagai komplotan maling.
Setelah dua besannya pulang kini Dharma tinggal berdua dengan Aleon, keadaan juga semakin larut Daniel sudah tidur tenang di dalam dekapan Bu Laras. Dan Aleon entah di mana dia berkeliaran saat ini tadi pamit ingin membeli minuman bersoda tapi sudah satu jam berlalu belum juga kembali.
“Kopinya Tuan!” Bu Hanum dengan sopan meletakkan secangkir kopi panas di depan majikannya yang sedang sibuk bermain ponsel. Dharma tersenyum melihat isi galerinya, tadi saat Aleon sibuk bermain dengan Daniel dia diam-diam mengambil beberapa foto dan video, dan sekarang foto-foto tersebut terlihat manis.
“Apa ada yang lain yang anda butuhkan Tuan?” Bu Hanum bertanya pelan dengan kepala yang tertunduk. Jika bersama Alena dia bersikap layaknya seorang keluarga tapi tidak dengan Dharma pria itu memancarkan aura kewibawaan yang membuat siapa pun tunduk.
“Tidak, tidak terimakasih Bu.” Balas Dharma lalu kembali sibuk melihat video-video kebersamaan Daniel dengan Aleon, sesekali dia terkekeh karena mendengar celotehan lucu dari cucunya.
Bu Hanum menggerakkan bibirnya ragu, ada kalimat yang ingin disampaikannya saat melihat Dharma tapi tertahan.
“Apa ada yang ingin Ibu katakan?” Dharma menyadari pergerakkan aneh ART-nya.
“Eemmh, Danielㅡ” ingin sekali dia mengatakan Daniel dan Danea itu bukan anak kandung Alena tetapi anak dari perslingkuhan Danendra. Bu Hanum tahu semua itu karena sesekali dia memergoki Danen menelpon seorang wanita dengan kata manis yang memuji wanita itu karena telah melahirkan anak-anaknya.
“Iya kenapa dengan Daniel?”
“Daniel… “
“Dia.., lu-cu.” Tidak sanggup Bu Hanum tidak memiliki nyali untuk mengungkap kebenaran. Dharma yang mendengar kalimat malu-malu yang dikeluarkan Bu Hanum mengangguk setuju, cucunya memang sangat lucu dan menggemaskan.
“Cucu-cucu saya lucu kan Bu, rasanya ingin saya seret mereka bawa pulang ke rumah saya, agar setiap hari saya bisa melihat kelucuan mereka.”
Bu Hanum mendongak, ia memiliki keberanian untuk membalas tatapan majikannya, “kenapa gak di bawa pulang aja tuan?”
“Ya gak bisa Bu, mereka punya orang tua, Alena dan Danen lebih berhak akan mereka. Seandainya Alena mau tinggal bersama saya pasti lebih menyenangkan, ya tapi sejak dulu dia keras kepala, entah kenapa dia menyukai tempat tinggal sekecil ini.”
“Maaf sebelumnya, tuan malam ini menginap?”
“Iya, saya akan menginap saja sudah terlalu larut untuk pulang, lagian Alena bersama suaminya juga tidak pulang mereka menginap di rumah sakit.”
“Nanti tolong saya bangunkan Bu Laras ya, biar saya saja yang tidur menemani Daniel.” Tanpa menyela dengan cepat Bu Hanum menjalankan perintah majikan yang paling diseganinya.
Sementara di rumah sakit, dalam keadaan sinar lampu yang temaram dan dingin yang menggigit diam-diam dari jendela kaca, Alena menatap suaminya dengan tatapan kosong—tatapan yang menyimpan terlalu banyak luka dan rindu yang tak terucap. Di kursi besi yang terletak tepat di samping bangsal Danea, Danendra terlelap dalam posisi duduk, tubuhnya sedikit membungkuk ke depan, dengan tangan yang masih erat menggenggam tangan mungil putri mereka yang tengah tertidur lelap. Pemandangan itu seharusnya menenangkan, namun justru membuat dada Alena sesak karena momen kebersamaan ini terlalu langka, terlalu sebentar… terlalu asing.
Hanya malam ini, hanya malam ini dia bisa melihat suaminya kembali bersama mereka. Setelah malam demi malam yang sunyi, hanya Alena yang terjaga sambil menimang dua bayi mereka, menangis dalam diam karena ketidakhadiran Danendra. Tidak ada pesan. Tidak ada pelukan. Tidak ada tempat bertanya kenapa dan apa salahnya. Hanya kosong. Dan malam ini, kekosongan itu seakan mengejek, karena lelaki itu akhirnya di sana, tapi hanya tidur.
Alena berjalan pelan, langkahnya seolah menembus waktu yang penuh luka. Ia berusaha sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah tempatnya berpijak tahu bahwa hatinya sedang pecah berkeping-keping.
Dengan wajah yang sendu dan mata yang sembab, Alena meraih tangan Danendra yang menganggur. Ia genggam erat tangan itu—tangan yang dulu selalu siap menuntunnya ke mana pun, kini terasa asing, dingin, jauh. Dengan gemetar, ia kecup tangan itu perlahan, menahan napas agar tidak terisak, lalu bergerak menciumi satu per satu bagian wajah suaminya: dahi, pelipis, hidung, pipi, sampai akhirnya ia tiba di bibir Danendra. Alena menahan napas, dan di situlah air matanya pecah. Tumpah. Bukan sekadar tangis, tapi derai luka yang selama ini ia tahan. Ia letakkan dahinya di punggung Danendra, menahan sesak, dan membiarkan air mata membasahi baju pria itu.
"Kenapa kamu pergi sejauh ini padahal aku masih di sini? Kenapa kebersamaan kita sekarang terasa seperti mimpi yang bisa hilang kapan saja?"
Bisikan itu tak pernah terucap. Ia hanya menyelusup lewat napas yang bergetar, menyelinap ke telinga Danendra saat Alena membisikkan lirih,
“Aku rindu… sayangku.”
Tak bersuara, hanya hembusan napas yang hangat. Danendra bergerak sedikit, terganggu dalam tidurnya. Panik, Alena segera menjauh, menghapus air matanya cepat-cepat, lalu kembali ke sofa, berpura-pura tidur.
Namun malam itu, bukan hanya air mata yang jatuh, tapi juga secuil harapan dalam hatinya. Ia sadar, yang kembali malam ini bukan Danendra yang dulu. Yang datang hanyalah raga yang lelah, sementara jiwanya masih entah di mana.
Dan dari sudut ruangan itu, Alena menatap kosong ke langit-langit, berharap pagi tak pernah datang karena setidaknya, dalam malam yang sepi ini, mereka masih terlihat utuh walau hanya untuk sementara.
Bersambung.