Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34: Empat mata.
Cahaya jingga sore itu menembus jendela kaca besar kediaman utama keluarga Kim, memantul lembut di permukaan meja makan yang kini dipenuhi hidangan tak tersentuh. Jihoon dan Yoonjae duduk berhadapan, tapi tak satu pun dari mereka menyentuh sendok di depannya. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing—penuh kegelisahan dan rasa bersalah yang menyesakkan dada.
Suara langkah kaki dari arah koridor memecah keheningan itu. Yoonjae menoleh cepat, dan di sana berdiri Minjoon dengan wajah letih, rambut sedikit berantakan, dan lingkar mata yang tak bisa disembunyikan.
“Di mana Areum, Hyung?” tanyanya pelan, nada suaranya lelah tapi khawatir. Yoonjae langsung mendelik, rahangnya menegang.
“Dia Ara! Berhenti memanggilnya dengan nama itu!” bentaknya kesal. Nada tajamnya membuat udara di ruangan itu terasa berat. Minjoon mengangguk kecil, berusaha menenangkan diri.
“Maafkan aku… maksudku, di mana dia sekarang?” tanyanya lagi, lebih hati-hati kali ini. Jihoon menghela napas panjang, bahunya turun perlahan.
“Di kamar. Sejak tadi siang dia tidak mau makan, hanya menangis terus. Sudah kami bujuk dengan lembut, bahkan sampai harus tegas… tapi tetap saja, keras kepala.” ujar nya frustasi namun Minjoon hanya tersenyum miris, pandangannya menurun sesaat sebelum ia menjawab lirih.
“Sepertinya dia mewarisi sifat keras kepala kalian berdua. Aigoo, itu pasti.” ujar nya.
“Apa kau bilang?!” seru Jihoon spontan, matanya melotot menatap Minjoon yang hanya berusaha menahan tawa.
“Dia benar, Hyung memang keras kepala.” sela Yoonjae datar sambil meneguk air di depannya. Jihoon menatap adiknya tajam.
“Kau pikir kau tidak?” ujar nya yang membuat Yoonjae hanya mengangkat alis, sedikit mengejek. Jihoon mendengus, dan ketegangan kecil itu malah membuat Minjoon tersenyum samar dari kejauhan. Ia tahu benar dua kakaknya itu sama-sama keras kepala—jika salah satu tidak mau mengalah, maka adu argumen bisa berlangsung sampai pagi.
Minjoon melangkah pelan menuju kamar tempat Areum berada. Tangannya sempat berhenti di depan pintu, seolah sedang menyiapkan hati. Ia menarik napas panjang, lalu menekan gagang pintu perlahan.
Begitu pintu terbuka, aroma lembut ruangan itu menyeruak. Lampu belum dinyalakan, hanya cahaya jingga senja yang menembus tirai, menyinari sosok Areum yang duduk di sisi jendela. Gadis itu menatap kosong ke luar, pandangannya jatuh pada langit yang mulai berwarna keunguan. Bahunya tampak menurun, dan dari jarak sejauh itu pun Minjoon bisa merasakan kesedihan yang menggantung di sekelilingnya.
Dengan langkah tenang, Minjoon menyalakan lampu. Cahaya hangat segera menyebar ke seluruh penjuru ruangan, menyingkirkan bayangan senja yang sendu. Ia tak langsung bicara—hanya berdiri sejenak, memperhatikan adiknya yang masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, seolah tak menyadari kehadirannya.
“Ara…” panggilnya lembut, namun Areum sama sekali tidak menoleh. Hanya tatapan kosong yang terus menembus jendela, memandangi langit yang kini berwarna ungu keabu-abuan.
Minjoon menghela napas pelan, meletakkan ponselnya di meja, lalu berjalan mendekat. Tanpa ragu ia duduk di hadapan gadis itu. Hening terasa menekan, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar.
“Kenapa tidak makan? Nanti kamu sakit…” ucap Minjoon pelan. Namun sebelum kalimatnya selesai, Areum memotong cepat.
“Aku ingin pulang, aku tidak mau di sini... Aku benci kalian.” Nada suaranya datar, tapi dingin dan penuh jarak. Minjoon terdiam sejenak, menatap wajah itu—wajah yang begitu mirip dengan ibu mereka, tapi kini penuh luka.
“Tentu saja… aku akan antarkan,” jawabnya akhirnya, lembut tapi serius. “Tapi sebelum itu, dengarkan aku dulu. Lari dari masalah tidak akan menyelesaikan apa pun, Ara. Masalah tidak akan hilang hanya karena kamu menghindarinya.” Ia berhenti sejenak, menatap Areum dengan penuh pengertian.
“Aku tahu kamu benci dan kecewa pada kami… arasseo, aku paham. Tapi percayalah, kami melakukan semua ini bukan tanpa alasan. Yoonjae Hyung… dia melakukan itu karena tidak ingin kehilanganmu lagi. Kau tahu, Ara—Eomma dan Appa pergi karena tidak bisa menerima kenyataan kalau bayi mereka hilang. Bahkan Eomma belum sempat menggendongmu sekali pun, tapi sudah harus kehilanganmu.” Suara Minjoon terdengar serak. Ia bangkit perlahan, melangkah ke arah lemari besar di sudut ruangan.
Tangannya membuka salah satu laci, mengeluarkan sebuah album foto tua berwarna kecokelatan. Debu halus beterbangan saat sampulnya disentuh. Ia membawanya kembali, lalu meletakkannya di atas meja kecil di antara mereka.
“Ini kamar mereka,” ucapnya lirih, jemarinya mengusap lembut permukaan album itu. “Kamar Eomma dan Appa… dan ini rumah masa kecil kami. Tapi kau tahu kenapa di sini tidak ada foto keluarga, atau bahkan foto mereka berdua?” lanjut nya yang membuat Areum sempat melirik sekilas, pandangannya masih ragu tapi jelas mulai terusik oleh kata-kata Minjoon.
“Semua itu karena keluarga ini belum lengkap, Ara,” lanjut Minjoon pelan, nadanya seperti menahan air mata. “Eomma dan Appa ingin keluarga kita utuh. Bahkan di saat terakhir mereka, mereka berpesan agar kami mencarimu. Mereka sangat kehilanganmu, Ara. Eomma bahkan belum pernah menggendongmu, tapi harus merelakanmu pergi.”
Areum mengepalkan tangannya, bahunya mulai bergetar halus.
“Ini bukan salah Eomma dan Appa,” tambah Minjoon dengan suara yang dalam. “Kau tidak dibuang karena mereka tidak sayang, tapi karena keegoisan Harabeoji. Dia… yang tidak ingin ada anak perempuan di keluarga Kim. Itu sebabnya dia memerintahkan Samcheon dan Sukmo melakukan hal itu.” lanjut nya.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Hanya napas tertahan dari Areum yang terdengar samar. Matanya mulai berkaca, tapi bibirnya tetap terkatup rapat, seolah berperang dengan dirinya sendiri. Hingga akhirnya, suara serak itu keluar pelan.
“Apa salahnya menjadi perempuan? Apa aku pernah minta dilahirkan seperti ini? Apa dosaku sampai harus dibuang hanya karena aku perempuan?” bisik nya getir.
Minjoon menatapnya lekat, dan senyum kecil tersungging di sudut bibirnya—senyum yang lembut tapi penuh perih. Ia tahu, akhirnya ia menyentuh bagian hati Areum yang paling dalam.
Minjoon mendekat sedikit, menatap mata adiknya yang kini mulai berkaca-kaca. Tatapannya hangat, tulus, tapi juga menyimpan luka yang sama. Perlahan, ia menggeleng dan berkata dengan suara bergetar namun tegas.
“Tidak ada yang salah dengan perempuan, Ara. Kau tidak berdosa hanya karena lahir sebagai anak perempuan. Kau tidak pernah salah.” Minjoon menghela napas, tangannya menutup perlahan album foto yang terbuka di meja. “Yang salah adalah orang-orang yang buta oleh gengsi dan tradisi, yang menganggap harga diri lebih penting daripada nyawa dan kebahagiaan keluarganya sendiri. Itu bukan salahmu.” lanjut nya.
Areum menunduk, air matanya jatuh satu per satu, mengalir deras tanpa bisa ia hentikan. Minjoon mendekat, tangannya terulur ragu sebelum akhirnya menyentuh pundak adiknya.
“Kau tahu, Ara…” suaranya melembut, “…aku iri padamu.” tambah nya yang membuat Areum terkejut, kepalanya terangkat, menatap Minjoon dengan mata merah dan bingung.
“Iri? Kau… iri padaku? Aku yang dibuang, aku yang hidup dengan orang asing tanpa keluarga kandung ku … apa yang bisa kau iri dari aku?” tanya nya yang membuat Minjoon tersenyum tipis, getir.
“Aku iri karena… meskipun kau jauh dari kami, kau tumbuh menjadi perempuan yang kuat, mandiri, dan berhati lembut. Sementara aku… kami di sini, tumbuh dalam bayang-bayang aturan Harabeoji, penuh tekanan, penuh luka yang tidak pernah sembuh. Tapi kau…” ia berhenti sejenak, menatap mata Areum lagi, “…kau bertahan. Kau bisa berdiri di sini sekarang, meski dunia memperlakukanmu dengan tidak adil.” ujar nya yang membuat Areum tercekat, dadanya sesak.
Semua kata Minjoon terasa menusuk dalam, seakan membongkar dinding yang selama ini ia bangun untuk melindungi dirinya sendiri.
“Jadi, jangan pernah berpikir kalau kau salah lahir, Ara. Karena bagiku, dan bagi Jihoon Hyung, juga Yoonjae Hyung… kaulah alasan kenapa keluarga ini masih punya harapan untuk utuh.” ujar Minjoon yang membuat Areum mengangkat wajahnya menatap pria yang mengaku sebagai kakak nya itu, tidak pernah dia bayangkan jika pria yang sebelumnya adalah bos nya tenyata adalah keluarga nya.
"Kenapa kalian tidak mencariku dari dulu? Kenapa baru sekarang?" ujar Areum dengan nada yang nyaris pecah. Suaranya serak, tapi sorot matanya tajam penuh luka yang tertahan terlalu lama. Minjoon mengangguk pelan, napasnya berat.
"Bukan tidak pernah mencari, tapi tidak mudah untuk menemukanmu, Ara. Kami sudah berusaha ke sana kemari, tapi... memang takdir baru mempertemukan kita sekarang. Lihat ini," ujarnya sambil kembali duduk dan membuka beberapa halaman album foto tua itu.
Halaman yang terbuka menampilkan potret sepasang suami istri muda dengan senyum hangat. Warna foto yang mulai memudar justru menambah getir di dada Areum.
"Ini?" tanya Areum dengan mata membulat, jemarinya gemetar saat menyentuh foto wanita yang begitu mirip dengannya.
"Eomma..." jawab Minjoon lirih, senyum pahit tersungging di wajahnya. "Dan ini Appa. Eomma bilang, foto ini diambil waktu mereka baru menikah, sebelum kami semua lahir. Mereka berfoto di Ilsan, dekat danau yang sering Eomma datangi saat rindu pada Appa, jika mereka berjauhan. Karena di sanalah mereka bertemu untuk pertama kalinya..." Ia kembali membuka lembar berikutnya—halaman yang membuat napas Areum tertahan.
"Ini?" ujarnya pelan. Pandangannya terpaku pada foto bayi kecil yang digendong seorang pria muda, sementara tiga bocah laki-laki lain tersenyum di sekelilingnya.
"Ini satu-satunya foto kita," ucap Minjoon, suaranya merendah. "Hari kelahiranmu, Ara. Saat itu kami semua berfoto di ruang bayi—aku, Yoonjae-hyung, Jihoon-hyung, dan Appa bersamamu. Tapi Eomma... dia bahkan belum sempat melihat atau menggendongmu. Ia hanya tahu dirimu dari foto ini, karena hari itu juga kamu hilang dari rumah sakit dan... tidak pernah ditemukan lagi." Minjoon berhenti sejenak. Tatapan matanya mulai basah, suaranya bergetar ketika melanjutkan.
"Sejak hari itu, Eomma sakit parah hingga akhirnya berpulang... dan beberapa tahun kemudian, Appa menyusulnya ke surga. Kami yang masih kecil waktu itu diasuh oleh Harabeoji, Samcheon, dan Sukmo. Mereka merawat kami sampai Jihoon-hyung cukup umur untuk meneruskan perusahaan Appa. Kami memilih ikut dengannya. Jihoon-hyung yang merawatku dan Yoonjae-hyung sampai Yoonjae-hyung jadi dokter, dan aku... yah, seperti sekarang." Ia tersenyum getir, lalu menunduk.
"Kami tidak pernah menyangka kalau orang yang kami anggap keluarga adalah penyebab utama hancurnya keluarga kami, aigoo..."
Areum terdiam. Jari-jarinya masih menelusuri permukaan foto bayi itu. Matanya sayu, seperti menatap masa lalu yang baru kini berani muncul ke permukaan.
"Aku tahu kamu kecewa," lanjut Minjoon lembut. "Apalagi setelah tahu semua fakta ini. Tapi kenyataan tidak bisa dihapus meskipun kamu mau. Aku sangat berterima kasih pada keluarga Min karena sudah merawatmu dengan baik, hingga kamu tumbuh jadi wanita sekuat sekarang. Jinjja, aku dan semua hyung sangat berterima kasih, Ara. Kami tidak akan mengambilmu dari mereka—aniya, tidak akan pernah. Karena bagaimanapun, mereka orang yang menjagamu sejak kecil sampai sekarang. Kami hanya ingin kamu... ada di sini. Di antara kami." Lanjut Minjoon.
Areum menatap lekat, bibirnya sedikit terbuka tapi tak ada suara yang keluar. Matanya bergetar, antara ingin marah, menangis, atau memeluk kakaknya.
Minjoon menarik napas panjang. Ia berdiri perlahan, menutup album foto yang masih ditatap kosong oleh Areum. Cahaya lampu memantul di sampul lusuh album itu saat ia berkata pelan, namun tegas,
"Ayo, aku antarkan pulang. Untuk pengunduran dirimu, aku urus besok. Maaf kalau Jihoon dan Yoonjae-hyung kasar padamu tadi, mereka hanya takut kehilanganmu lagi—apalagi Yoonjae-hyung, sejak awal dia yang paling ingin kamu ada di antara kita," ujar Minjoon sembari berjalan menuju pintu kamar.
Namun Areum hanya duduk di sana, diam dalam kebingungan. Pandangannya kosong, pikirannya berputar cepat. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tiba-tiba ragu, terbelah antara dua sisi. Ia memang kecewa setelah mengetahui fakta itu—bahwa semua yang ia yakini selama ini ternyata tidak seperti yang ia pikirkan. Namun di sisi lain, ada keinginan untuk tetap di sini... di rumah masa kecil yang kini terasa asing tapi juga hangat.
Areum teringat orang tua yang membesarkannya—mereka yang ia panggil eomma dan appa selama ini, meskipun kini ia tahu bukan darah daging mereka. Janji yang pernah ia ucapkan terngiang di kepala: bahwa ia tidak akan meninggalkan mereka, apa pun yang terjadi.
"Ayo," ujar Minjoon lembut, membuat Areum tersentak dari lamunannya.
Areum menatap kakaknya yang sudah berdiri di ambang pintu. Perlahan Areum bangkit, langkahnya ragu. Seperti seseorang yang hendak melangkah ke dunia lain, yang sama-sama tak pasti. Sejak tadi Yoonjae dan Jihoon tidak mengizinkannya keluar kamar, tapi Minjoon justru dengan tenang membuka pintu itu—seolah memberi kebebasan padanya untuk memilih sendiri jalannya.
Areum melangkah keluar, mengikuti Minjoon dari belakang. Saat melewati ruang makan, matanya menangkap Yoonjae dan Jihoon yang duduk di sana. Wajah mereka tegang, dingin, dan penuh kekhawatiran.
"Mau ke mana?" tanya Yoonjae tajam, menatap Minjoon lekat.
"Mengantarkan Ara pulang," jawab Minjoon tenang.
Jawaban itu membuat Jihoon langsung mendelik tajam, begitu pula Yoonjae.
"Kau gila?!" bentak Yoonjae, nadanya meninggi. "Kau ingin membiarkannya pergi jauh dari kita lagi? Kau tidak dengar, dia ingin meninggalkan kita, Minjoon! Apa yang kau pikirkan? Kita sudah susah payah mencarinya selama ini! Kalau dia ikut dengan orang tua angkatnya dan menjauh dari kita lagi, kita bahkan tidak akan tahu di mana dia tinggal!" Lanjut nya yang membuat Minjoon menarik napas panjang, menatap kedua kakaknya dengan tatapan yang tenang tapi tegas.
"Jika memang itu pilihannya, biarkan saja, Hyung. Dia sudah dewasa, dan dia berhak menentukan dengan siapa dia ingin tinggal. Yang penting, kita sudah jujur tentang siapa kita sebenarnya. Mau bertahan bersama kita atau tidak, itu keputusan hidupnya. Kita tidak bisa menahannya hanya karena kita takut kehilangan lagi." Ujar nya tenang, namun ucapan itu membuat Jihoon berdiri tiba-tiba. Wajahnya memanas, urat di lehernya menegang.
"Kau ini bicara apa, hah?" suaranya bergetar menahan amarah, matanya melirik Areum yang masih berdiri di dekat pintu, menunduk diam.
"Kau jangan macam-macam, Minjoon. Aku tidak akan izinkan kamu membawa dia pergi," ujar Yoonjae dengan suara dingin, hampir seperti perintah. Minjoon menghela napas berat, menatap mereka satu per satu.
"Lalu Hyung ingin apa? Menahannya di sini seperti tahanan? Aigoo... dia manusia, bukan boneka! Dia punya perasaan, punya hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri!" Jawab Minjoon.
"Kalau menahannya di sini adalah satu-satunya cara untuk membuatnya tetap bersama kita," potong Yoonjae cepat, suaranya bergetar penuh emosi, "aku akan lakukan itu!" Lanjut nya sembari menatap tajam kearah Areum. Ruangan mendadak hening. Hanya suara napas mereka yang terdengar—cepat, berat, dan menekan. Minjoon mengembuskan napas panjang, nyaris putus asa.
"Sudahlah..." ujarnya pelan. "Ayo, Ara... aku antarkan." Lanjut nya sembari mengulurkan tangan nya pada Areum, namun belum sempat Areum melangkah, sebuah suara keras menggema.
Plak!
Tamparan Jihoon mendarat di pipi Minjoon, membuat kepalanya sedikit terhuyung ke samping. Untuk sesaat, waktu seperti berhenti. Areum membeku di tempatnya, napasnya tercekat.
Ini pertama kalinya Jihoon menampar Minjoon—selama ini, Minjoon selalu menjadi adik kesayangannya, bahkan lebih dari Yoonjae. Tapi kini, kemarahan dan ketakutan telah mengaburkan batas itu.
"Oppa..." lirih Areum pelan, suaranya hampir tak terdengar. Matanya mulai basah, dadanya terasa sesak melihat kakak-kakaknya saling menyakiti karena dirinya. Suasana di ruang makan itu terasa berat, udara seolah menahan napas bersama mereka.
“Kau tidak dengar apa yang Yoonjae katakan? Kami tidak akan izinkan dia pergi dari sini... tidak akan!” teriak Jihoon keras, nadanya menggema di ruangan luas itu. Amarah dan rasa takut kehilangan bercampur di wajahnya.
Minjoon hendak membuka mulut, tapi Areum mendadak menyela, suaranya bergetar namun cukup tegas untuk memecah ketegangan yang menggantung.
“Aku... Oppa,” ucapnya.
Tiga pasang mata langsung menoleh cepat, menatapnya tak percaya. Untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Panggilan itu—Oppa—sesuatu yang belum pernah keluar dari bibir Areum sebelumnya, kini terdengar jelas dan lembut di telinga mereka.
“Aku... akan tetap di sini,” lanjutnya pelan namun pasti.
Minjoon tanpa sadar tersenyum tipis—sangat tipis, hingga nyaris tak terlihat. Tapi di balik senyum itu ada kelegaan besar yang menyelinap di dadanya. Ia tahu, akhirnya benteng hati adiknya itu mulai retak. Dan jika harus ditampar berkali-kali oleh Jihoon demi momen ini, ia sama sekali tidak keberatan.
“Kau serius?” tanya Jihoon dengan suara pelan tapi penuh tekanan. Areum mengangguk pelan, matanya masih berkaca-kaca namun sorotnya kini lebih tenang.
Yoonjae menatap Minjoon lekat, seolah mencari tahu apa yang telah dilakukan adiknya itu sampai Areum berubah pikiran begitu cepat. Tapi Minjoon hanya menunduk sedikit, membiarkan senyum kecilnya tetap tersimpan di bibir.
“Aku... mau tinggal dengan kalian,” ujar Areum perlahan, menatap Minjoon sejenak sebelum menunduk lagi, “tapi... aku juga tidak mau meninggalkan orang tuaku.” lanjut nya.
Suasana kembali hening. Kalimat itu menggantung di udara, lembut tapi penuh makna. Jihoon menarik napas panjang lalu mengangguk, nada suaranya lebih tenang kali ini.
“Kau boleh pulang ke sana... kapan pun kau mau.” ujar Jihoon kini pandangan nya melunak menatap Minjoon seolah berkata, jadi ini rencana mu.
Yoonjae, yang sedari tadi menahan diri, akhirnya melangkah maju dan tanpa ragu merengkuh Areum ke dalam pelukannya. Pelukan itu begitu hangat, erat, dan penuh emosi yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Kali ini, Areum tidak berontak seperti saat pertama kali mereka bertemu. Ia hanya diam, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam dekap sang kakak. Meski tak membalas pelukan itu, gesturnya sudah cukup untuk membuat semua yang ada di ruangan itu paham—bahwa perlahan, Areum mulai menerima kenyataan bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga Kim.
Di sudut ruangan, Minjoon menatap mereka dalam diam. Senyumnya mengembang sedikit, mata lembutnya memantulkan cahaya hangat lampu yang temaram.
“Arasseo... pelan-pelan saja, Ara, kita akan jadi keluarga yang utuh lagi... jinjja.” ujar nya lirih.