NovelToon NovelToon
Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Gerbang Tanah Basah: Garwo Padmi Dan Bisikan Malam Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Poligami / Janda / Harem / Ibu Mertua Kejam / Tumbal
Popularitas:11.5k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~

Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.

~

Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.

~

Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keberanian Sumi

Ketukan mendesak di pintu luar menyelamatkan Sumi dari situasi yang semakin sulit. Mbah Joyo terdengar memanggil dengan suara yang lebih keras dari biasanya.

"Ndoro Mas! Ndoro Mas!"

Soedarsono menghela napas, keningnya berkerut mendengar panggilan mendadak itu. "Ada apa lagi?"

Pintu terbuka, dan Mbah Joyo muncul dengan napas terengah-engah. Di belakangnya berdiri seorang pria muda dengan pakaian abdi kadipaten, wajahnya tampak cemas.

"Ngampunten, Ndoro. Ada utusan dari kadipaten."

Abdi muda itu maju, membungkuk dalam-dalam dengan tangan membentuk sembah sebelum berbicara.

"Ampun, Ndoro Patih. Saya diperintahkan Ndoro Gusti Ayu untuk menyampaikan kabar bahwa Kanjeng Bupati semakin parah sakitnya. Beliau meminta Ndoro Patih segera datang ke kadipaten."

Wajah Soedarsono berubah cemas. "Seberapa parah?"

"Sangat parah, Ndoro. Tabib Tionghoa sudah dipanggil, begitu pula dokter Belanda dari rumah sakit kota. Tapi Kanjeng Bupati masih belum sadarkan diri sejak petang tadi."

Soedarsono mengangguk cepat. "Sampaikan pada Kanjeng Ibu bahwa saya akan segera datang." Setelah utusan itu pergi, ia berbalik pada Sumi yang berdiri dengan wajah cemas.

"Diajeng, siapkan pakaian untuk ke kadipaten. Kita akan menginap di sana malam ini."

Sumi mengangguk, diam-diam lega mendapatkan penyelamatan tak terduga ini. "Baik, Kangmas. Saya akan memberitahu Mbok Sinem untuk menyiapkan keperluan kita."

Dalam waktu kurang dari setengah jam, kereta kuda terbaik keluarga Prawirataman telah disiapkan.

Sumi duduk di samping Soedarsono dalam diam, hanya sesekali memperhatikan wajah suaminya yang tegang dalam cahaya temaram lampu kereta.

Pikiran Soedarsono jelas terfokus pada ayahnya, kecurigaan tentang Sumi dan Martin untuk sementara terlupakan.

Jalanan malam lengang, hanya sesekali berpapasan dengan pedati atau kereta lain. Bulan purnama menggantung di langit, memberikan penerangan bagi mereka yang melintasi jalan berbatu menuju kadipaten.

"Bagaimana kondisi Romo sebelumnya?" tanya Sumi, memecah keheningan.

"Sejak serangan jantung bulan lalu, kondisi Romo memang belum pulih benar," jawab Soedarsono, matanya menatap jauh ke depan. "Tapi Kangmas tidak menyangka akan memburuk secepat ini."

Sumi menyentuh tangan suaminya dengan lembut. "Semoga Kanjeng Bupati lekas sembuh."

Soedarsono hanya mengangguk, tidak mengatakan apa yang sebenarnya ia pikirkan—bahwa di usianya yang sudah menginjak tujuh puluh tahun, kesembuhan total ayahnya adalah hal yang sulit diharapkan.

Kadipaten mulai terlihat, kompleks bangunan besar bergaya campuran Jawa dan kolonial yang dikelilingi tembok tinggi.

Berbeda dari Dalem Prawirataman, kadipaten tampak jauh lebih megah dan luas, dengan pendopo yang mampu menampung ratusan orang.

Pintu gerbang utamanya dihiasi ukiran dan lambang keluarga bupati, dijaga oleh beberapa prajurit berpakaian tradisional.

Begitu kereta mereka memasuki halaman, tampak beberapa kereta lain telah terparkir di sana.

Lampu-lampu minyak menerangi pendopo dan bagian utama kadipaten, menandakan kegiatan tidak biasa di jam malam seperti ini.

Nyonya Besar Bupati, ibu Soedarsono, berdiri di pendopo dengan wajah cemas. Meski sudah berusia enam puluh tahun, Raden Ayu Utama Kusumawati masih tampak anggun dalam balutan kebaya beludru hitam dan kain batik tulis yang halus.

Rambutnya disanggul tinggi, dihiasi tusuk konde berlian yang menunjukkan statusnya sebagai istri utama bupati.

"Soedarsono, anakku," ucapnya begitu melihat putranya turun dari kereta. "Syukurlah kau segera datang. Romomu ... kondisinya semakin memburuk."

Soedarsono membungkuk hormat, mencium tangan ibunya. "Bagaimana Romo sekarang, Bu?"

"Masih belum sadarkan diri," jawab Kusumawati, suaranya bergetar. "Dokter Belanda memberikan obat, tapi belum ada perubahan."

Tatapannya beralih pada Sumi yang baru turun dari kereta, membungkuk hormat pada mertua perempuannya.

Tidak ada kehangatan dalam pandangan Kusumawati, hanya anggukan singkat sebagai pengakuan.

"Ah, kau juga datang," ucapnya dengan nada datar.

"Segeng dalu (Selamat malam), Ibu," sapa Sumi dengan hormat, mencoba mengabaikan dinginnya sambutan. "Bagaimana keadaan Romo?"

Kusumawati mengabaikannya, perhatiannya kembali pada Soedarsono.

"Dokter mengatakan kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Romomu sudah sepuh, dan serangan jantung kedua ini lebih parah dari yang pertama."

Soedarsono mengangguk, mencoba menerima kenyataan yang mungkin akan segera ia hadapi. "Saya ingin melihat Romo sekarang."

"Tentu, masuklah. Mbakyu-mbakyu juga sudah datang, mereka menunggu di dalam."

Saat Soedarsono bergegas masuk, Sumi hendak mengikutinya, namun tangan Kusumawati menghentikannya.

"Sebaiknya kau tunggu di kamar tamu saja," ucapnya dingin. "Ini waktu untuk keluarga."

Kata-kata itu menusuk Sumi lebih dalam dari yang ia perkirakan. Lima belas tahun menjadi istri Soedarsono, dan ia masih dianggap orang luar oleh mertuanya hanya karena belum memberikan keturunan.

Namun, sebagai perempuan Jawa yang dididik untuk selalu patuh, Sumi hanya mengangguk dan membungkuk hormat.

Cukup lama Sumi menunggu sampai akhirnya sang mertua datang menghampiri. Kusumawati menatapnya dengan tatapan tajam.

"Kata Darsono, kau menolak menjadi garwo ampil," ucap Kusumawati, matanya menyipit. "Kau memilih diceraikan?"

Sumi menelan ludah, merasa tercekik di bawah tatapan mertuanya. "Saya hanya—"

"Sungguh mengherankan," potong Kusumawati. "Setelah lima belas tahun tidak memberikan keturunan, kupikir kau setidaknya akan bersyukur masih dipertahankan sebagai istri. Tapi kau justru berani menolak menjadi garwo ampil?"

Sumi menundukkan wajahnya, tidak menjawab. Apa gunanya menjelaskan pada perempuan yang tidak pernah mencoba memahaminya?

"Kabar tentang putraku yang mandul juga sudah tersebar luas gara-gara kau," Kusumawati melanjutkan, suaranya pelan namun menusuk. "Kau tahu putri-putriku masih belum mendapat lamaran? Semua keluarga bupati enggan berbesan dengan keluarga yang dianggap mempunyai masalah dengan keturunan."

Sumi merasakan darahnya mulai mendidih. Selama bertahun-tahun ia telah menerima tuduhan ini dalam diam, tapi malam ini entah mengapa kesabarannya telah habis.

Mungkin pertemuannya dengan Martin, mungkin kata-kata pemuda itu tentang harga diri, atau mungkin karena ia sudah lelah menanggung kesalahan yang bukan miliknya.

"Maaf, Ibu," ucap Sumi, suaranya pelan namun tegas. "Mungkin ... memang belum jodohnya, atau mungkin mereka memang kurang cantik dan kalah bersaing dengan putri-putri bupati lain yang lebih menarik."

Wajah Kusumawati memerah mendengar kata-kata Sumi. Selama lima belas tahun, menantunya ini selalu diam menerima segala tuduhan dan kritik, tidak pernah melawan.

Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegasan baru dalam suara Sumi, ada keberanian yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

"Beraninya kau mengatakan putri-putriku kurang cantik?" desis Kusumawati marah.

Entah keberanian dari mana, Sumi mengangkat wajahnya, menatap langsung mata mertuanya.

"Saya hanya mencoba menjelaskan kenyataan, Ibu. Kangmas Soedarsono memang tampan, wajahnya menurun dari Ibu yang cantik. Tapi putri-putri Ibu … memang tidak sama rupawannya dengan Kangmas."

Kusumawati tampak terkejut dengan perubahan sikap Sumi. Matanya menyipit curiga. "Ada apa denganmu? Kau tidak pernah berani bicara seperti ini sebelumnya."

"Saya hanya lelah," jawab Sumi jujur. "Lelah disalahkan atas hal-hal yang di luar kendali saya."

Seorang abdi perempuan tua menghampiri mereka dengan tergopoh-gopoh, membungkuk hormat pada Kusumawati.

"Ndoro Gusti, dokter Belanda, beliau meminta Ndoro masuk ke kamar Kanjeng Bupati."

Kusumawati menatap Sumi sekali lagi, tatapannya penuh ancaman. "Kita belum selesai bicara," ucapnya sebelum berbalik pergi.

Saat Kusumawati menghilang di balik pintu, Sumi menghela napas panjang. Rasanya seperti baru saja lolos dari sergapan harimau.

Ia duduk di kursi dekat jendela, mengamati halaman kadipaten yang diterangi cahaya lampu. Jauh di dalam hatinya, ada perasaan puas karena akhirnya berani berbicara, membela dirinya setelah bertahun-tahun diam.

Dari dalam kadipaten, terdengar suara-suara samar—langkah kaki tergesa, bisikan cemas, sesekali tangisan tertahan. Bupati tua itu sedang berjuang melawan maut, dikelilingi keluarga dan para tabib.

Sumi memejamkan mata, menyandarkan kepalanya ke jendela. Pikiran-pikiran berkecamuk dalam benaknya.

Jika Kanjeng Bupati meninggal, maka Soedarsono akan menggantikan posisinya sebagai bupati. Dan sebagai istri utama, ia seharusnya menjadi Raden Ayu Bupati, itu adalah impian para gadis Jawa.

Tapi jika ia diceraikan dan posisi istri utama diberikan pada Retnosari, maka semua kehormatan itu akan lenyap. Ia akan menjadi janda, tanpa status, tanpa kekuasaan, tanpa pengaruh.

Di sisi lain, ada Martin dengan tawaran yang sangat berbeda—kehidupan baru, jauh dari belenggu tradisi yang mengekangnya selama ini. Mungkinkah ia perlu mempertimbangkan tawaran itu? Untuk membuktikan bahwa dirinya bisa lebih baik tanpa keluarga Prawirataman.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
ndesone ne mbok diarani Njogo dayoh
kui mangunthalan
😁
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
ndoro ayu belum yakin 100 %
konflik makin rumit bila
Martin terus mendekati ndoro ayu Sumi
tapi ya sama Martin aja wis
Raden Soedarsono lepasin saja
banyak istrii ,jarene tresno
ndoro kanjeng Raden ayu ndesak trs
sopo eruh seng mandull kui malah Soedarsono
Lilih Malihatun
duuhh berat bangey ya jadi sumi
ian
nyesek banget pas jadi bupati malah yang dampingi Retno...
gk apa2lah jadi janda kamu juga orang kaya,dan ada mas martin yang keyeng sama kamu
neng Ai💗
🤓👍🏻👍🏻
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
chemistry apa Raden ayu Sumi dgn Martin Van der spoel
ian
kereeen sumi😍
ian
loh mungkin iya,istri selain sumi juga gak hamil,mbok yo dipikir mak
Tati st🍒🍒🍒
tekadkan hati dan niatmu dulu,biar g salah langkah,..bertahan sakit,pergi sulit😄
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
lahh trus piye yooo
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈: wokeeeee
Ai Emy Ningrum: yooo tinggal tunggu chapter berikut nya
total 2 replies
Eniik
nanti bulusnya minta tumbal gak? kalo iya saya request ibu mertua sumi yang jadi tumbal pertama 😂
Okta Anindita: setuju banget nget🤣tumbal kedua pariyem boleh?
Lilih Malihatun: setuju
total 3 replies
nn.maria
untuk perubahan semoga sumi mau keluar zona nyaman yg udah ngga bikin nyaman
mariant
gara² Pariyem ..kurung aja si Pariyem di kamar jangan di kasih makan/Facepalm/
mariant
aku. menunggu Up mu ndoro author siang dan malam/Drool/
Teh Qurrotha
apa aku bantu aja Ndoro Sumi pakein concealer
Teh Qurrotha
duh Ndoro kok aku ikut tegang, n degdegan. apa kangmas kasi obat tidur aja ya hehe
Amaryn
Waaah ramee ini….kalo ketauan
neng Ai💗
Sumi..harus belajar dari 'sang dalang' dalam bersikap,knp gak putarbalikan fakta dngn sedikit drama,katakan siapa yg akan tenang dan bersikap biasa saja saat perceraian paksa didepan mata,berfikir masa depan dan memutuskan menerima perceraian tentu saja menguras emosi dan sikap yg berani tanpa Martin sekalipun
Hayisa Aaroon: beda karakternya 😄 kalau sang dalang ya sudah wassalam itu ibu mertuanya, apalagi Pariyem
total 1 replies
neng Ai💗
💗💗💗
neng Ai💗
Pariyem ini padahal yg sedikit lebih 'toleransi' keberadaannya dibanding Lestari,tapi....ya,persaingan tetaplah persaingan..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!