Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Cemburu Buta
Sekarang aku menggunakan kemeja putih, yang dibaluti jas hitam senada dengan celana hitam. Sebenarnya ingin menolak tidak datang, agar tidak bertemu dengan Mila. Bagas adalah teman terbaik dengan terpaksa ku ikuti saja undangannya.
"Selamat datang, Bos!" Sambut rekan kerja.
"Hmm." Fokus melihat sumber incaran.
"Minum, Bos!" tawar anak buah lain.
"Terima kasih."
Begitu kesalnya diriku ketika baru sampai dirumah Bagas, yang ternyata Mila tengah asyik tertawa riang dengan si playboy, yang tak tahu siapa namanya dia?.
"Lihat, Bos! Istri kamu kelihatan happy-happy saja tuh sama temannya." Anak buah memberitahu.
Isu kami akan bercerai sudah tersebar. Entah siapa yang membocorkan. Mereka begitu kaget atas isu itu, karena mereka tahu bosnya ini tidak akan tega menyakiti istri. Sedangkan semut saja dibiarkan berjalan bebas, apalagi sampai menyentuh untuk disakiti.
"Wah ... Ternyata bos ada saingannya juga nih!" ucap Bagas berusaha menyindir.
Pletak, kujitak kepala belakang bagas.
"Aaa ... aww!" Suara Bagas kesakitan.
"Kenapa sih dia ada disini? Kamu sengaja mengundang kutu kampr*t itu datang kesini? Supaya dapat panas-panasin bos kamu ini 'kan!" tanyaku kesal.
Tangan sudah memegang minuman, yang entah berapa gelas sudah tandas ku habiskan.
"Ya ampun, Bos. Aku jelek-jelek begini masih waras dan setia pada teman. Bukan aku yang mengundang dia, si Tio itu masih ada ikatan keluarga sama istriku," penjelasan Bagas.
Sesekali diri ini melihat Mila, yang ternyata dia mencuri-curi pandang terhadapku yang tengah berdiri bersama Bagas.
Aku merasakan perubahan sikapnya yang sangat drastis, yang membuat kami sama-sama terdiam tidak saling menyapa.
Dada sudah bergemuruh panas dan sakit, saat Mila sekarang tak bisa tertawa lepas bersamaku, dan hanya bisa tertawa riang pada si Tio itu.
Dari jauh terus mengawasi gerak-gerik mereka.
Hati kian benci menatap Mila, yang telah berani-beraninya mengizinkan tangan si buaya darat Tio melingkar di bahunya.
"Sial! Kau sudah tega membiarkan pria lain menyentuhmu. Awas saja," Kekesalan hati tidak suka.
Tio melirik ke arahku seperti menantang dan pamer saja. Andai tidak banyak orang, pasti sudah babak belur kuberi tinjuan.
Otak sudah berpikir seribu, bagaimana cara agar memisahkan mereka. Melihat pertunjukan yang tak diinginkan didepan mata, bikin gregetan ingin melabrak.
"Bos, makan dulu," tawar Bagas.
"Kalian duluan saja. Lagi ngak mood."
"Elah, ngak usah dipikirin, napa! Perut kenyangkan dulu. Masalah istri, nanti saja diurusin."
"Diurusin nanti kepalamu peyang," jawab kasar
"Haist, jangan senggol bos kita. Bisa-bisa kamu sendiri yang kena imbasnya," cegah anak buah lain.
"Hadeh, susah amat yak kalau orang lagi emosi jiwa tetang cinta," Bagas menggeleng-gelengkan kepala keheranan.
"Ya jelaslah itu. Bahkan karena cinta, orang lain bisa mengorbankan nyawanya sendiri, ya contohnya kasus bunuh diri. Zaman sekarang banyak tuh bunuh diri akibat putus cinta. Apalagi kalau tidak kuat, bisa juga hilang akal. Untung saja bos kita kuat. Kalau enggak pasti udah gila, haha!" ledek yang lain.
Sebuah kue kering kecil ku lempar tepat mengenai muka. Seketika mereka diam, tapi nampak masih tidak kapok dengan cengengesan, tanda berhasil meledek diriku yang dilanda pilu.
"Hah, puas kalian. Gass ledek terus," keluh tak senang.
"Ampun, Bos. Kami hanya menghibur biar hati kian lara, haha."
"Ciih, pada dudul minta ditabok kalian ini."
Kami semua suka bercanda. Wajar kalau anak buah suka meledek atau berbicara tanpa rem.
"Gimana 'lah ngasih pelajaran sama tuh orang?" Meminta solusi pada anak buah.
"Gampang itu, bos. Hajar saja, 'kan beres."
"Eich, gampang sih gampang. Apa mau bos kita dipenjara atas tuduhan penganiyaan. Bukan menyelesaikan masalah, tapi malah bikin tambah runyam."
"Iya juga sih. Pakai halus saja, Bos. Walau kau dilanda sakit hati, tapi jangan pakai kecurangan."
"Elah, aku bukan kek kalian. Yang suka main licik, apalagi main keroyokan. Kalau pria sejati harus fair menghadapinya. Pakai akal atau kekuatan yang sama. Baku hantam pun percuma. Malah bikin bonyok dan luka-luka saja. Tidak ada untungnya. Tapi dilihat dari situasinya aku sih harus melakukan sesuatu, agar cecunguk itu cepat menjauh."
"Semangat, Bos. Jangan kasih kendor dan kalah sama tuh pemuda."
"Hm, beres."
Kini aku hanya bisa berdecak sebal, sambil menghela nafas pelan untuk melepaskan segala sesak. Seraya tangan dari tadi terus saja mengepal akibat tersulut emosi .
"Sabar ... sabar, Ryan. Didepan hanya cobaan kamu saja, huuuu fff!" Hati sudah berbicara sendiri.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Mila akhirnya sudah pergi terpisah dari si Tio, yang sepertinya mau mengarah ke kamar mandi.
Sebab tak sabar, langsung saja diriku membuntutinya dari belakang.
Menunggu santai dan penuh kesabaran didepan pintu sampai dia selesai.
Ketika Mila selesai dari kamar mandi, tanpa sepatah pun keluar dari mulut ini, langsung saja kutarik tangan Mila menuju ke kamar tidur tamu milik Bagas.
"Eeeh, Kak Ryan, apa yang kamu lakukan sekarang?
"Lepaskan ... lepaskan tanganku, Kak!" ronta Mila, saat diriku masih sibuk menarik kuat tangannya.
"Diam kamu, jangan banyak bicara."
Klik ... klik, pintu kamar telah ku kunci.
Brak, ku gebrak tembok secara kuat
Mila sudah terpojok berdiri bersandar ditembok.
"Lepaskan aku, Kak. Jangan kurang ajar kamu."
"Kalau kurang ajar, terus kamu mau apa? Aku masih sah menjadi suamimu saat ini."
"Issh, nyebelin banget sih. Atau aku akan teriak nih!" ancamnya.
"Teriak saja. Justru mereka akan membiarkan kita berduaan dikamar ini sebab kau masih milikku," Santai menanggapi.
"Cih, minggir Kak. Lepaskan!"
Dia memukul-mukul bidang dadaku.
Makin liar sikapnya, langsung saja mengunci kedua tangan Mila ditembok agar tak bisa kabur.
"Jangan membuatku lebih kasar."
"Kak Ryan, kumohon lepaskan! Atau aku beneran akan teriak," ucap Mila yang mulai takut dengan sikapku.
"Diam kamu. Coba saja kalau berani," teriakku tak ada toleransi lagi.
Wajah mungkin sudah tampak menyeramkan akibat amarah telah menguasai, sehingga kesan tampan pun mulai hilang.
Bringas seperti kerasukan, dan Mila pun ketakutan bringsut menekuk wajahnya.
Akupun mendekatkan wajah kepadanya, sehingga mata kamipun sudah saling beradu.
Sinar netra masing-masing dari kami sudah menampakkan kegundahan dan kerinduan, yang melanda selama berpisah akhir-akhir ini.
"Aku rindu padamu," Membelai lembut pipinya.
Mila justru membalas mlengos ke kanan seperti orang yang sedang jijik.
Akupun tak tahu apa yang tengah terjadi padaku detik ini? Yang membuat Mila begitu takut tak berkedip kan mata.
Nafas pujaan hati mulai menyapu hangat dalam pandanganku. Aroma keharuman tubuhnya akibat dibaluti minyak wangi sangat menguar di indra penciumanku.
"Kak Ryan, lepaskan, Kak! Aku mohon. Jangan begini," Permohonannya yang tak ku hiraukan.
Tangan telah memegang lehernya, supaya lebih dekat lagi wajah kami. Seolah-olah tak 'kan ada yang bisa menyisakan jarak diantara wajah kami.
Akupun terus saja menatap tajam, yang berusaha mencari jawaban atas apa yang tengah dilakukannya tadi.
Cuuuup, sebuah ciuman telah berhasil ku daratkan dibibir mungilnya, dan tangan Mila berusaha berontak, mungkin tak setuju sebab kucium paksa.
Tangannya terus mendorong-dorong agar diri ini cepat menyudahi.
Aku terus saja menikmati lumatan yang telah kuberikan. Dia begitu kaku. Tak serta merta menyambut baik apa yang tengah ku lakukan.
Terasa sakit sekali, saat detik-detik kukunya mulai menancap dan mencengkram lengan.
Ciuman pun seketika terlepas, akibat sudah merasakan sakit atas cengkramannya, tapi aku begitu tak menyerah atas tindakanku barusan.
"Jangan berontak," bentak ku tak suka.
Cup, untuk yang kedua kali kucium lagi bibirnya, dan kali ini tangannya berusaha meronta-ronta, dengan memukul-mukul kuat lenganku.
"Itu adalah hukuman bagimu yang telah mengabaikan, dan sudah berani mengizinkan seseorang laki-laki mendekatimu," ucapku padanya.
"Kau memang brengs*k, Kak."
"Brengs*k begini yang penting kau masih mencintaiku," Masih terlalu percaya diri.
Mila terlihat terengah-engah mengatur nafas, yang hilang akibat ciuman maut dariku.
"Kalau kamu lagi gugup dan tegang begitu, wajahmu tambah cantik saja, cup ... cup!" imbuhku berkata, sambil memberikan sebuah ciuman di kening dan pipi chubby nya.
"Jangan cari laki-laki lain, walau kita akan segera bercerai. Cukup hanya diriku saja dalam hatimu, oke!" pesanku.
Mata berkedip satu ke arah Mila, yang masih syok atas perlakuanku yang bertubi-tubi menciumnya.
Langkah pun sudah melenggang pergi meninggalkannya, yang masih terperangah diam dan membisu.
"Walau kita akan bercerai, aku berjanji akan mendapatkan mu kembali. Tunggu tanggal mainnya, sayang," guman hati yang sudah melenggang pergi menjauh.
Walau sudah mendapatkan apa yang kuinginkan, tapi hati masih tetap tidak tenang sebab Mila masih membenciku.