Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Jangan Terlibat
Kharisma Puan Boarding School di kota B, terletak jauh dari kota T di mana SMA Pelita berada. Sekolah berasrama khusus putri itu, memiliki fasilitas yang lengkap, namun berada agak jauh dari keramaian. Menurut informasi dari petugas Tata Usaha, di sekolah itulah kini Denting berada.
"Gimana Git, kita samperin ke sana aja langsung?" tanya Yuli.
Saat itu, dia sedang bersantai di rumah Gita sepulang sekolah, sambil membaca komik yang kemarin mereka pinjam. Meski berada di antara tumpukan komik, namun pikiran dua gadis itu tak jauh-jauh dari kasus tentang Denting.
Gio telah melaporkan pada Gita tentang infrormasi yang ia dapatkan dari petugas TU, dan Gita telah meneruskan hal itu pada Tomy melalui Yuli. Tentu saja karena ia malas memakai ponsel miliknya, yang masih saja full battery, padahal Gita tak ingat hari apa terkahir kali ia mengisi dayanya. Kecuali ia terpaksa untuk menggunakannya.
Gita takut terlalu merindukan ponsel pintar dengan layar sentuh mulus datar dengan segala fiturnya, juga jaringan 4G dan 5G yang baru ada sejarak beberapa tahun lagi dari sekarang.
Sementara Gita mulai memikirkan ponselnya di masa depan, Yuli masih membaca ulang SMS dari Tomy.
"Apa nunggu instruksi dari kak Tomy lagi aja? Soalnya dia bilang, dia bakal cari tau lebih lanjut soal sekolah itu dulu," ujar Yuli sambil senyum-senyum.
"Oke. Gue setuju, kita setidaknya harus kenal 'medan' dulu baru terjun, Yul." Gita menganggukkan kepala.
Gadis yang kini memakai kaus oblong merah muda dan training itu beralih sejenak dari komik Topeng Kaca di tangannya. "Maaf ya Yul, Lo harus jadi tukang pos dulu."
"Gak apa-apa Gita ... gue seneng kok bantuin Lo," jawab Yuli dengan senyum manis di wajahnya.
Gita melempar bantal pada Yuli yang sedang senyum-senyum menatapi ponsel, "Ah Lo sih seneng karena bisa SMS-an sama Tomy, modus aja."
Yuli cengengesan dan tak mengelak, "Ya iya dong, ini namanya sambil menyelam dapet mutiara!" selorohnya.
Selama mereka berada di kamar Gita, gadis itu sudah mentransfer pula informasi dari perbincangannya bersama Tomy di rental komik kemarin. Termasuk ancaman nyata yang diterima Gita akibat berada di lokasi penyerangan Denting. Tentu saja hal itu membuat Yuli merasa takut, khawatir dan juga kasihan pada temannya tersebut.
Gadis mirip Taapse Phanu itu kini paham, bahwa kelakuan Karen kemarin lalu telah memperparah kondisi mental Gita yang sudah begitu trauma, akibat menyaksikan serta mendapatkan ancaman dari pihak yang masih misterus.
"Gue merinding ih," ucap Yuli tiba-tiba, menutup wajahnya dengan komik Pengantin Demos.
"Ya baca serial cantik aja kalau takut, gak usah baca komik horor." Gita melirik Yuli sambil mengambil keripik di depannya.
Yuli menurunkan komik dari wajahnya, kemudian menatap Gita. "Gue merinding denger cerita Lo, tau!"
"Lah telat, gue kan cerita dari tadi. Udah abis batagor sepiring, cendol, sama keripik singkong sebungkus ... baru bilang ngeri," ejek Gita sambil terbahak.
Yuli mengerucutkan bibirnya.
"Git, Lo masih curiga sama pak Rudi? Bukannya tadi Gio sempet sebut soal tangan kanan kepala sekolah juga?" tanya Yuli, lalu ikut mencomot keripik singkong.
"Tangan kanan kepala sekolah aja, gue gak tau siapa. Bisa aja kan si pak Rudi itu. Tapi kalau sampe kepala sekolah ikut campur, artinya bisa jadi emang si anaknya itu posistif terlibat, atau bahkan tersangka utama." Gita menutup sejenak komiknya saat bicara, lalu kembali membaca.
"Si Remi? Ck! Agak susah sih ya gue bayanginnya. Dia kan tampang-tampang ngartis gitu, dan kayak gak mungkin bisa bersikap kasar."
"Jangan suka gitu. Orang ganteng kan belom tentu baek. Hati-hati Lo sama Tomy, jangan jatuh cinta terlalu dalam sama jodoh orang," nasehat Gita yang sudah tahu siapa pasangan sah Tomy di masa depan.
Yuli berdecak kesal, entah mengapa tekadang Yuli merasa Gita sama sekali tidak menunjukkan dukungan untuk perkembangan hubungan asmaranya. Yah ... meski memang untuk saat ini hati kak Tomy masih di kak Denting. Tapi siapa tau aja kaaan suatu hari nanti bisa ke gue.
"Lo malah kayaknya suudzon mulu sama yang ganteng-ganteng, Git. Pak Rudi, kak Tomy ... terus si Remi. Nah kalau Gio gimana?"
"Gio ... dia baek dong," jawab Gita dan langsung dicubit oleh Yuli.
"Pilihan Lo doang yang baik ya Gita," ejek Yuli gemas.
Gita hanya terkekeh. Gue gak inget pernah ketemu lagi sama Gio atau pun Yuli di masa depan.
Yah, mungkin karena beda bidang pekerjaan.
Atau bisa jadi karena 'dulu' karena kami gak sedekat sekarang.
Tapi dari sifatnya kemungkinan besar Gio tetap jadi orang baik saat dewasa.
"Oke balik lagi ke pak Rudi. Apa sih yang sebenernya bikin Lo curiga sama dia?" tanya Yuli lagi. Ada rasa tak rela dalam hatinya jika guru tampan itu dituduh sebagai pelaku kriminal.
Gita mengambil buku sketsa yang rusak, dan membuka halaman yang berisi kalimat ancaman.
"Ini Yul. Ketika lihat tulisan ini, gue langsung kepikiran pak Rudi. Sama halnya waktu di kelas gue pingsan itu. Gue merasa ada kaitan antara pak Rudi dan ancaman ini," tutur Gita.
Yuli menghela napas, ia merasa sedikit lega karena rupanya tuduhan Gita baru sebatas prasangka.
"Jujur gue gak betah kalau pak Rudi dicurigain gini. Mending kita buruan temuin dia deh, yuk." Yuli tampak serius dengan ajakannya.
Gita terdiam, ia pernah memutuskan untuk melakukan hal itu sebelumnya. Namun berbagai hal yang terjadi, membuat Gita terpaksa menundanya.
"Gue aja, Lo gak usah," tukas Gita.
Yuli mencebik. "Dih! Kenapa? Gue udah terlanjur tau lho Git."
"Bahaya Yuli. Ini terlalu berbahaya," ujar Gita penuh penekanan.
"Inget kan yang gue ceritain soal beberapa insiden yang hampir bikin gue celaka?" tanya Gita lagi, menatap lurus pada manik Yuli.
Yuli menelan ludah kasar. Ia mendadak gugup, tapi sebagian dirinya tak mau membiarkan Gita menghadapi bahaya seorang diri.
Melihat raut Yuli yang khawatir, Gita tersenyum simpul.
"Gue tetep butuh keberadaan Lo, tapi gue gak mau 'orang-orang' berbahaya itu tau kalau Lo terlibat jauh dalam kasus Denting. Bahkan gue masih berusaha melindungi diri sendiri. Gue jaga-jaga biar enggak ada yang melihat gue berinteraksi dengan Tomy, meski sempat lengah." Gita menjeda.
"Tomy dan gue sama sekali gak ada keterkaitan ... entah dalam hoby, ekstra kulikuler, status sosial, dan ... percintaan apa lagi," ujar Gita menyelipkan senyumnya untuk menggoda Yuli yang terlihat tegang.
"Gak ada kesamaan yang membuat gue dan Tomy terlihat wajar untuk sering ngobrol, kecuali hal itu akan menimbukan prasangka. Lalu orang-orang yang pernah mencelakakan gue akan bisa memprediksi, kalau gue dekat dengan Tomy lagi, pasti ada kaitannya dengan Denting," urai Gita panjang lebar.
Gadis itu lalu menyambar sebotol air mineral karena haus akibat terlalu banyak bicara.
"Iya ... dan kalau mereka sadar Lo lagi menyelidiki tentang Denting lagi. Mereka bakal kembali membuat Lo dalam bahaya," lirih Yuli sambil menyusut air matanya.
"Makin yakin gue Git, kalau Denting itu kenapa-napa." Yuli membuang napas berat.
Gita sependapat, namun masih ia tak yakin dengan kondisi gadis itu saat ini. Apakah masih hidup, namun disembunyikan di sekolah lain ... untuk menutup mulutnya dari melaporkan penyerangan, ataukah dia sudah meninggal dunia.
"Kalau Denting ada di Kharisma Puan Boarding School, jujur gue merasa lebih lega. Karena setidaknya dia masih hidup. Walaupun tindakan berbahaya yang dilakukan oknum entah siapa ini, gak akan gue relakan begitu aja," tutur Gita mengepalkan tangannya geram.
Mata Gita berkilat oleh amarah, entah Denting selamat atau tidak, kekerasan fisik dan mental yang telah orang-orang itu perbuat harus mendapat ganjaran yang layak secara hukum.
"Halo Kakak-kakak, aku bawain es jeruk nih, seger lho. Dari jeruk asli," sapa Tini ceria sambil membawa satu teko kaca besar berisi es jeruk.
Mata Yuli langsung berbinar, sedangkan Gita tiba-tiba membeku. Ia menatap sepupunya yang baik dan manis itu dengan sendu.
Sebuah pemikiran terlintas di benaknya. Apa mungkin kecelakaan yang menewaskan Tini itu ... karena gue masih menyelidiki kasus Denting?
***