Mencintaimu seperti menggenggam bara api. Semakin dalam aku menautkan hati ini semakin nyata rasa sakit yang dirasakan, dan itu membuat aku semakin sadar, tidak ada ruang sedikitpun di hatimu untukku. Aku begitu sangat mencintainya, tapi tidak untuk dia, dia bahkan tidak pernah melihat kesungguhan aku sedikit saja.
Nabila maharani bagai menelan pil pahit dalam hidupnya, di malam pengantin yang begitu bahagia, ia disuguhkan dengan takdir atas kehancuran dirinya. Ternoda di malam pengantin, sesuatu yang ia jaga terenggut paksa oleh sahabat sekaligus adik iparnya. Bisma maulana ikhsan kamil, ada apa denganmu???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34
Lelah, satu kata yang ada, mungkin hampir menyerah. Ingin bersikap acuh dan tak mau saja, tetapi hati masih ingin berpaut. Haruskah ia merelakan semuanya begitu saja, setelah perjalanan panjang yang pria itu lalui.
Mentari pagi sudah sibuk menyapa, saat hati keduanya masih diselimuti titik buntu. Siapa yang ingin mencoba, atau harus stuck seperti itu saja, bukankah kehidupan ini harus tetap berjalan, sesabar apalagi yang harus pria itu aminkan.
Usai sarapan pagi, Bila dengan membawa anaknya pamit pulang diantar Bisma tentunya. Obrolan panjang dari hati ke hati pun, belum mampu membuat hati ibu dari satu anak itu mencair. Masih terlalu alot untuk pria itu selami, atau bahkan bagai pungguk yang merindukan bulan, tidak pernah tercapai sama sekali, hanya ekspektasi saja yang ada.
"Minggu depan, kamu diundang reuni kecil yang didaulat Faro?" tanya Bisma saat perjalanan pulang. Pria itu membuka obrolan masa lalu mereka, siapa tahu membuat wajah yang selalu jutek itu kembali ceria. Seperti dulu, selalu tersenyum, walau pria itu tahu senyum itu bukan untuknya.
"Hmm," jawab perempuan itu mengangguk.
"Kamu mau datang? Kita berangkat bareng ya?" pintanya mencoba berkomunikasi hangat, walau hati banyak batasan, namun hubungan itu tetap terpaut.
"Kita berangkat sendiri-sendiri saja," jawab Bila datar.
"Aku tidak enak menolak Hanum, sahabatmu memintaku untuk menemani, dan menawarkan berangkat bersama, kalau ada kamu tentu aku bisa menolak secara halus," jelasnya jujur.
Bila nampak menimbang-nimbang, Hanum? Ah ... ada apa dengannya? Apakah sahabatnya itu tertarik dengan suaminya.
"Kenapa tidak kamu iyakan saja, tidak ada hal yang perlu kamu khawatirkan, aku tidak akan membatasi pergaulanmu, Hanum juga teman kita, 'kan?"
"Kamu benar Bila, tidak penting bagiku memberitahu ini padamu, tapi tidak ada teman dewasa yang cuma-cuma, kita bukan anak kuliahan lagi yang masih berharap cinta yang semu, bagaimana pun, membatasi diri itu penting, terlebih kita sudah menikah, selepas kamu mau tahu atau tidak, aku tentu harus memberitahukan agar tidak terjadi kesenjangan yang menyebabkan salah paham. Kalau kamu tidak nyaman dengan kehadiranku di sana, kamu boleh bersikap biasa saja, tanpa mau menyapa atau bahkan mengenal."
Bila mendes@h resah, melirik pria yang tengah fokus menyetir itu dengan perasaan entah. Mobil Bisma sampai di pekarangan rumah Bila. Perempuan itu hendak turun ketika suara bas itu menyeru.
"Nanti sore, aku pulang terlambat, mungkin bisa malam, kabari aku untuk Razik," ucapnya menginterupsi.
Hadeh ... mau pulang sore, malam, pagi, nggak pulang sekalian, bodok amat lah, what ever. Demi apa coba? Aku harus peduli sama hidupnya tuh orang.
"Razik, sini sayang, salim dulu sama Ayah, Ayah 'kan mau berangkat kerja, pamit dulu, salim dulu, cium sayang," sindirnya melirik istrinya yang tengah membuang muka.
Razik yang duduk dalam pangkuan bundanya segera menyambut. Anak itu mencium punggung tangan ayahnya dengan takzim, lalu mereka saling mencium pipi masing-masing. Jarak mereka sangat dekat, sikap jutek dan dingin Bila, tak jarang membuat pria itu kesal, kadang gemas dan greget juga. Dengan cepat, Bisma mencuri satu kecupan di pipi Bila, setelah mendaratkan ciuman sayang pada putranya.
"Hati-hati sayang ...." Bisma seolah bersikap cuek saja, tetap diam tanpa dosa. Mengabaikan lirikan marah istrinya yang terlihat syok.
Pria itu membalas lirikan dinginnya dengan mengulas senyum tipis di wajahnya.
"Ada pahala di dalam kejadian tadi walaupun kamu tidak suka," ujarnya tanpa merasa bersalah.
Bila bergeming, tidak menanggapi apapun itu. Seandainya tidak ada Razik di sana, sudah pasti perempuan itu akan mengamuk.
Apaan sih, kok nggak sopan! Dibilangin nggak suka, benci, kesal, pingin aku ... hih!
Bila turun dengan wajah jutek, tangan kirinya menuntun Razik yang berjalan lincah, sementara tangan kanannya mengelap pipi yang tersentuh oleh Bisma. Perempuan itu semakin kesal saja, menatap mobil suaminya yang bergerak menjauh dengan perasaan lega.
"Bila, baru pulang? Razik, baru nginep ya? Wah ... seneng ya ketemu sama oma dan opa," sapa Bunda Rima begitu mendapati anak dan cucunya mendaratkan kakinya di kediamannya.
"Azik ceneng, di cana banyak yang cuka Azik, banyak mainan," jawab bocah itu dengan polosnya.
"Bila, Bunda mau bicara, Nak," tegur Bu Rima ketika melihat putrinya berlalu saja. Perempuan itu mengurungkan langkahnya yang hampir terayun.
"Iya Bun, kenapa?" Bila mendekat, mengambil duduk di sofa tamu.
"Lastri! Tolong kamu ajak Razik main ya?"
"Iya, Bu," gesit Lastri lekas membawa bocah kecil itu untuk meninggalkan ruangan sepertinya ada hal penting yang ingin majikannya sampaikan.
"Ini tentang Bisma, Nak, tentang kalian, Bunda perhatikan setelah kamu pulang, kalian saling menjauh, lebih tepatnya kamu menghindari Bisma, sebenarnya apa yang kamu inginkan, Bil?" tanya Bunda yang mulai merasa tidak nyaman melihat tingkah anaknya.
"Maaf, Bun, sejak awal aku tidak pernah mencintai, terlalu sulit menerima kenyataan bahwa dia yang merampas kebahagian indah yang telah aku rencanakan. Aku tidak pernah meminta apapun dari Bunda, tapi tolong jangan pernah menyuruhku untuk tetap bertahan, atau berusaha mencintai pria itu. Ini terlalu sakit, apa waktu kemarin Bila memilih pergi belum cukup buat Bunda mengerti sedikit saja, tidak mencintai dan harus terikat pernikahan dengan dia itu rasanya sakit. Maaf, Bunda, Bila nggak bisa."
"Bunda ikut prihatin dengan apa yang menimpamu, Nak, maafkan Bunda yang terlalu egois, kemarin Bisma sudah menjelaskan ke Bunda perihal Razik, Bunda menyerahkan baiknya kalian saja, kamu dan juga Bisma berhak bahagia, entah endingnya seperi apa."
Bila mulai berkaca-kaca menatap ibunya. Andai saja rasa itu tidak sesakit ini, tentu akan lebih mudah untuk dirinya menerima Bisma. Pria itu terlalu dalam menorehkan luka, terlalu dalam menghancurkan dirinya. Karena kejadian itu, bukan hanya kehormatannya saja yang terampas secara paksa, Bila ditalaq, dicampakan begitu saja oleh Gema, itu terlalu sakit, saat harus berjuang mengembalikan jati dirinya yang hancur, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa dirinya hamil atas insiden itu. Sungguh kata sakit dan kecewa saja tak mampu mewakili perasaanya. Bila menangis dipangkuan bundanya. Setidaknya, kali ini Bunda tahu tentang perasaannya yang masih tak ingin bersatu.
Bisma yang kembali karena ingin mengambil sesuatu di rumah mertuanya tak sengaja mendengarkan jeritan hati istrinya yang teramat terluka dengan kejadian itu. Dengan langkah berat, dan pertimbangan yang cukup matang. Pria itu meninggalkan tempat itu dengan sudut matanya yang basah.
Malam harinya Bisma tidak pulang, pria itu juga tidak mengabari apapun. Ia sudah memutuskan untuk pergi, melepas ikatan itu agar istrinya bahagia dengan pilihannya. Bukankah titik tertinggi mencintai adalah dengan mengikhlaskannya. Hanya untaian doa yang Bisma sematkan di akhir pesan. Meminta untuk tidak dijauhkan dengan anaknya. Pria itu juga menyampaikan untaian doa kebaikan, semoga bahagia selalu menaungi ibu dari anaknya.
Pria itu menyerah, melepas bukan berarti tidak mencintai. Memilih pergi dengan cinta yang masih begitu terang.
Tentang cinta, tentang melepaskan, tentang keikhlasan menerima kenyataan, bahwa melepaskan adalah cara lain dalam mencintai.
Aku mencintaimu dalam tenangnya malam, dalam terangnya pagi, dalam lautan hati, selamanya.
kalo masih memendam kebencian
aturan berkumpul aja sama emak2 tukang gosip, baru maklum kalo masih benci sama bisma