NovelToon NovelToon
Beginning And End Season 3

Beginning And End Season 3

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Dark Romance / Time Travel / Balas Dendam / Sci-Fi / Cintapertama
Popularitas:140
Nilai: 5
Nama Author: raffa zahran dio

Lanjutan Beginning And End Season 2.

Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.

Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.

Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33 : Latihan Mayuri.

KEDIAMAN KELUARGA MIYAMOTO

Sore itu, matahari condong ke barat seperti piring emas yang tergeletak lembut, cahayanya menembus celah-celah awan abu-abu dan jatuh dengan sentuhan lembut di atap rumah besar bergaya Tiongkok klasik milik keluarga Miyamoto. Genteng melengkung berwarna merah tua berkilau seperti permata yang terkena sinar, pilar-pilar kayu berukir naga halus dengan sisik yang terlihat nyata berdiri kokoh di setiap sudut, dan lentera merah kecil bergantung di teras bergoyang pelan tertiup angin—tok… tok… tok… bunyinya lembut tapi terasa dalam, beradu dengan nada sunyi halaman.

Aroma kayu tua yang harum dan teh melati samar tercium dari dalam rumah, bercampur dengan bau tanah basah yang masih terhangat oleh hujan semalam. Pintu geser kayu besar di depan rumah terbuat dari kayu cendana tua, permukaannya licin dan bergaris-garis alami yang menceritakan usia.

Di halaman belakang, suasananya jauh lebih tenang—seolah ada dinding tersembunyi yang memisahkan dia dari dunia luar. Kolam kecil dengan ikan koi berwarna putih-oranye dan hitam berkilau di bawah sinar matahari, tubuh mereka berenang dengan gerakan lembut yang membuat permukaan air bergelombang—pluk… pluk…—sesekali satu ikan melompat sedikit, menyebarkan percikan air yang mengkilap seperti butiran mutiara sebelum jatuh kembali ke kolam. Pohon maple mini berdaun merah menyala terang di sudut halaman, daunnya berjatuhan perlahan satu per satu—shaa… shaa… shaa…—jatuh ke tanah berwarna coklat yang lembut, menambah keheningan.

Di tengah halaman, Catalina, Kurumi, dan Mayuri berdiri membentuk setengah lingkaran. Kaki mereka menginjak rumput yang masih sedikit basah, membuat bunyi squish… squish… yang lembut setiap kali bergerak.

Catalina menatap sekeliling lebih dulu, matanya biru muda yang biasanya ceria sekarang terlihat tajam dan waspada. Dia menggeser-geser poni putih-pinknya yang terikat rapi, bahunya sedikit tegang seolah merasakan getaran yang tidak terlihat. Lalu dia menarik napas panjang—haaah…—udara masuk ke paru-parunya, membuat tubuhnya sedikit rileks.

“Mayuri…” katanya pelan, suaranya turun setengah nada seolah takut terdengar oleh orang yang tidak seharusnya mendengar. Dia melirik ke arah rumah utama, matanya menyipit. “Kamu yakin… kalau mama dan papa-mu tahu kita punya kekuatan di usia sekarang?” Ekspresinya khawatir—bukan hanya untuk diri mereka, tapi juga untuk keselamatan Mayuri yang masih tinggal di rumah itu.

Mayuri mengangkat bahu dengan gerakan yang mencoba terlihat santai, tapi jarinya saling mengait erat di depan dada—tanda gugup yang sulit dia sembunyikan. Jari-jari dia memijat lengan lainnya, dan dia menggeser-geser kaki di bawah roknya. “Gapapa,” katanya cepat, suaranya sedikit kaku. “Mama sama papa lagi ke rumah Bibi Rinne dan Paman Havik—katanya mau ngobrol tentang acara musim dingin nanti.” Dia melirik ke pintu geser kayu di kejauhan yang menghubungkan halaman belakang dengan rumah utama, matanya sedikit cemas. “Kakek sama nenek sih masih di rumah utama, tapi mereka jarang ke halaman belakang. Kakek lagi baca koran, nenek lagi masak kue.” Dia kembali menatap Catalina, matanya pink keunguan itu terlihat lebih tegas. “Di sini aman. Aku jamin.”

Catalina mengangguk pelan, tapi garis-garis khawatir masih ada di dahinya. Lalu dia menepuk keningnya sendiri dengan ujung jari, “Aduh…” suara yang penuh kesalahan. Dia menghela napas lagi, kali ini lebih panjang—hahh…—dan ekspresinya berubah jadi malu. “Aku kelupaan…”

Kurumi memiringkan kepala ke samping, rambut hitamnya terurai bergoyang lembut. Matanya hijau cerah menyipit, dan dia menyeringai sedikit. “Kelupaan apa? Kelupaan bawa roti bakar lagi?” tanyanya dengan nada menggoda, bahunya mulai naik turun karena ingin tertawa.

Catalina mendengus pelan, “Hmmph!” lalu melirik Kurumi dengan ekspresi setengah kesal setengah pasrah. Bibirnya melengkung sedikit menjadi senyum malu. “Kan aku juga manusia, Kurumi. Bukan mesin yang ingat semua hal.” Dia melangkah satu langkah ke depan, sikapnya tiba-tiba berubah tegas—punggungnya lurus, dada dia bangkitkan, dan matanya menyala dengan keyakinan. “Baiklah. Tanpa berlama-lama. Kita mulai sebelum ada yang menyadari.”

Dia menunjuk jari-jari ke Kurumi, lalu ke Mayuri, gerakan dia cepat dan tegas. “Kurumi, aktifkan CSP Nul-mu. Jangan terlalu banyak kloning dulu, biar Mayuri bisa menyesuaikan.” Lalu dia melihat Mayuri, suaranya menjadi sedikit lebih lembut. “Mayuri, kamu aktifkan CIP Rhapiel. Jangan paksakan diri—jika merasa lelah, beritahu aku langsung.”

Kurumi dan Mayuri saling pandang sesaat—Kurumi dengan senyum yang percaya diri, Mayuri dengan ekspresi yang campuran antara takut dan tekad. Lalu mereka menjawab hampir bersamaan—

“Baiklah!”

Huuu… Angin di halaman tiba-tiba terasa lebih dingin, seolah udara itu merasakan bahwa sesuatu yang hebat akan terjadi. Daun maple yang masih tergantung di pohon bergoyang lebih kencang—shaa… shaa…—menjatuhkan lebih banyak daun ke tanah.

Kurumi melangkah maju satu langkah, menjauh sedikit dari dua temannya. Dia mengangkat kedua tangannya perlahan ke depan, telapak tangannya menghadap ke atas. Dari telapak tangannya, aura hijau tua kehitaman mulai mengalir perlahan seperti asap kental—fssshh… fssshh…—membentuk pola berputar yang cepat di atas tangannya. Udara di sekitarnya mulai bergetar, dan bunyi brrrzz… brrrzz… terdengar lembut.

Di tengah aura yang berputar itu, dua pistol silver unik muncul perlahan, seolah dihasilkannya dari udara itu sendiri. Permukaannya berkilau seperti cahaya bulan purnama, detail ukiran kecil berbentuk bunga mawar hitam di bagian gagang pistol berdenyut halus dengan irama aura. Kurumi menggenggam pistol itu dengan erat, dan ekspresinya berubah—dari ceria menjadi serius dan sedikit berbahaya.

“Nul…” Kurumi berbisik, senyumnya tipis tapi tajam. “Mari bermain sebentar. Jangan terlalu keras ya, biar Mayuri nggak ketakutan.” Dia memiringkan kepala, matanya hijau itu memantulkan cahaya aura, membuatnya terlihat seperti makhluk dari dunia lain.

FWISH—

Sebuah kilatan cahaya silver menyambar tubuh Kurumi, dan seragam sekolahnya lenyap dalam sekejap, digantikan gaun kembang silver dengan garis-garis hitam elegan yang melintasi dada dan pinggangnya. Kain gaun itu berkilau seperti permata yang terkena sinar, bergerak lembut mengikuti setiap gerakan tubuhnya seolah tidak memiliki berat. Rambut hitamnya terurai menjadi lebih panjang, bergoyang bersama aura yang mengelilinginya.

Aura dari pistolnya semakin menebal—brrrzz… brrrzz…—membuat udara di sekitarnya bergetar lebih kuat, dan daun-daun yang terjatuh di tanah mulai bergoyang berputar. Kurumi mengangkat salah satu pistol, menodongkannya ke sisi kepalanya sendiri dengan gerakan yang santai seolah akan bercanda. Dia menyeringai lagi, dan suaranya terdengar dingin.

“Nul: Zeith.”

KLING!

Satu tembakan yang terdengar seperti lonceng emas, tidak keras tapi cukup untuk membuat hati berdebar. Satu kilatan hijau kehitaman menyembul dari moncong pistol, melesat ke udara dan kemudian meledak—

POOF!

Satu kloning Kurumi muncul di sampingnya, sama persis dari rambut, mata, sampai gaunnya. Kloning itu juga menyeringai dengan ekspresi yang sama, mengangkat pistolnya dan menodongkannya ke arah Mayuri.

Kurumi tidak berhenti. Dia menekan pelatuk pistol lagi dan lagi—

KLING! KLING! KLING! KLING!

Lima tembakan berturut-turut. Lima kilatan hijau kehitaman melesat, dan lima bunyi POOF! terdengar secara berurutan.

Dalam sekejap, lima kloning Kurumi berdiri berjajar di depan Mayuri, semuanya tersenyum sama persis, mata hijau mereka memantulkan cahaya dingin yang membuat bulu kuduk merinding. Setiap kloning mengangkat pistolnya, menodongkannya ke arah Mayuri dengan sikap yang siap bertarung.

Mayuri menelan ludah—gluk…—suara yang terdengar jelas di antara keheningan. Dia melirik ke Catalina dengan matanya yang sedikit gemetar, ekspresinya khawatir dan sedikit takut. Bibirnya digigit keras, dan dia menggeser-geser kaki di atas rumput yang sudah mulai membeku.

Catalina mengangguk mantap, dan dia menepuk bahu Mayuri dengan lembut—duk. Sentuhan itu ringan tapi penuh keyakinan, seolah berkata “Aku ada di sini. Kamu bisa.” Isyarat itu cukup untuk membuat Mayuri merasa sedikit lebih tenang.

Mayuri mengalihkan pandangan ke Kurumi dan kloning-kloningnya, ada ketakutan yang jelas di wajahnya, tapi juga tekad yang mulai mengeras di dalam matanya. Dia menarik napas dalam-dalam—huuuff…—nafasnya keluar sebagai uap putih karena suhu yang mulai turun. Dia mengepalkan tangan kecilnya, jari-jari dia memerah kulit sampai memerah.

“Baiklah…” katanya pelan, suara yang hampir tidak terdengar. Lalu dia mengangkat suaranya, membuatnya lebih kuat dan tegas. “Rhapiel… mari kita berlatih. Jangan biarkan aku mengecewakan Catalina dan Kurumi.”

Sekejap kemudian—

SHRRRR…

Suhu udara turun drastis, seolah ada salju yang turun dari langit yang cerah. Embun tipis membeku di permukaan batu di sekitar kolam, membuatnya berkilau seperti kristal. Nafas mereka berubah jadi uap putih tebal—haa… haa…—dan udara yang terhirup terasa seperti tusukan es di tenggorokan.

Badai salju kecil berputar mengelilingi Mayuri—whooosh… whooosh…—membuat rambut putihnya berkibar liar seperti untaian awan salju. Daun maple yang masih tergantung di pohon mulai membeku, menjadi seolah batu es yang tergantung. Kolam ikan koi di kejauhan juga mulai membeku di permukaan, membuat ikan-ikan itu berenang lebih cepat di bagian dalam.

Seragam sekolah Mayuri memudar dalam kilatan cahaya biru muda, digantikan gaun putih bersih yang mengelilingi tubuhnya. Gaun itu dihiasi kristal biru muda di kedua pundak, menjalar seperti urat es hingga ke ujung gaun ketatnya yang menutupi lututnya. Celananya putih dengan aksen kristal es yang berkilau dingin, dan sepatunya juga dibuat dari kristal es yang tidak membuat dia tergelincir. Rambut putihnya yang semula kuncir dua menjadi lebih panjang, bergoyang bersama badai salju yang mengelilinginya.

Di udara di samping tubuhnya, badai salju memadat perlahan—krkkk… krkkk…—suara seperti batu es yang saling bergesek. Lambat laun, tombak panjang putih terbentuk dari badai itu, ujung tombaknya adalah kristal salju indah yang memantulkan cahaya seperti kaca pembesar, terlihat tajam dan berbahaya.

Mayuri menggenggam tombak itu dengan kedua tangan, tangannya dia pegang erat sehingga tulang telapak terlihat. Ekspresinya berubah sepenuhnya—tidak lagi tsundere yang malu-malu, tapi tenang dan fokus seperti seorang prajurit yang siap bertarung. Matanya pink keunguan itu menyala dengan cahaya biru muda, menyatu dengan cahaya tombak salju.

“CIP Mayuri… Rhapiel!!”

Suaranya terdengar kuat dan tegas, bergema di dalam halaman yang sudah dipenuhi aura dingin. Badai salju di sekitarnya semakin kencang—whooosh… whooosh…—membuat kloning Kurumi sedikit mundur karena dinginnya.

Catalina yang menyaksikan itu semua berdiri di belakang Mayuri, ekspresinya penuh bangga. Dia mengangkat satu tangan ke depan, telapak tangannya menghadap ke atas. Api pink lembut muncul di telapak tangannya, menyala dengan nyala yang tidak panas tapi penuh kekuatan—fwoosh…—kemudian kilau biru es mulai bercampur dengan api itu, membuatnya terlihat seperti api es yang unik.

“Haniel…” bisiknya, matanya terlihat dalam dan penuh pemikiran. “Barrier. Jaga kita agar tidak terganggu, dan jangan biarkan kekuatan kita keluar ke luar.”

FWOOOOM—

Barrier api pink dan es biru mengembang dengan cepat dari telapak tangannya, membentuk kubah besar yang menyelimuti seluruh kediaman Miyamoto. Dari luar, kubah itu tidak terlihat—rumah itu tampak biasa saja, tenang dan sunyi seolah tidak ada apa pun yang terjadi di dalam. Tapi dari dalam, dinding barrier terlihat seperti kaca yang berkilau dengan warna pink dan biru, memantulkan cahaya aura Kurumi dan Mayuri.

Di dalam barrier, angin berputar pelan—huuu…—aura hijau kehitaman Kurumi bertabrakan dengan aura biru salju Mayuri, menciptakan kilatan cahaya yang indah. Tiga anak kecil berdiri saling berhadapan: Catalina dengan barriernya, Kurumi dengan kloning-kloningnya, dan Mayuri dengan tombak salju yang siap menyerang.

Latihan pun…

resmi dimulai.

Shrrrsshh… shrrrsshh… Salju tipis berputar semakin kencang, menutupi permukaan rumput dan batu dengan lapisan putih tipis. Kilau api pink kebiruan dari barrier Catalina memantulkan cahaya salju, menciptakan spektrum warna yang indah di udara tertutup itu. Dunia luar benar-benar terputus—tidak ada bunyi lentera, tidak ada aroma teh, hanya hening yang dipecah oleh napas mereka yang terengah-engah dan gerakan aura yang bertabrakan.

Mayuri menggenggam tombak esnya dengan kedua tangan, jari-jari dia memerah gagang sampai tulangnya terlihat jelas. Tangannya sedikit gemetar, tapi tidak seperti tadi—sekarang gemetarnya karena tekanan dan tekad, bukan hanya ketakutan. Ujung tombak bergetar halus, kristal di bilahnya memantulkan cahaya seperti napas yang tak stabil—tik… tik… krkk…—setiap getaran membuat serpihan es kecil terbang ke udara.

Mayuri menelan ludah—gluk…—dadanya naik-turun lebih cepat dari biasanya, jantungnya berdebar keras di dada seolah ingin melompat keluar. Dia melihat ke sekelilingnya: kloning Kurumi sudah muncul lebih banyak, semuanya berdiri mengelilingi dia dalam lingkaran sempurna. Satu di kanan, dua di kiri, dua di belakang, dan tiga lagi di depan—semuanya tersenyum terlalu ceria, mata hijau mereka memantulkan cahaya yang jahil dan penuh tantangan.

Kurumi berdiri di tengah kloning-kloningnya, gaun silvernya berkibar ringan mengikuti angin dingin—swish… swish…—pistolnya berputar dengan lincah di jarinya, membuat bunyi klik… klik… yang terdengar tajam. Dia memiringkan kepala, ekspresinya seolah bermain-main tapi juga penuh perhatian. “Tenang aja, Mayuri~” katanya dengan suara yang ringan dan menggoda, “Aku nggak bakal langsung serius… mungkin.” Dia menyeringai lagi, dan senyum itu membuat Mayuri merinding.

Mayuri refleks mundur setengah langkah, kakinya menyentuh salju yang licin—squish…—dia hampir tergelincir tapi cepat menyeimbangkan diri. “‘Mungkin’ itu yang bikin aku takut, tau?!” teriaknya dengan suara yang sedikit bergetar, tapi ada nada pemberontakan di sana. Dia mengangkat tombak esnya sedikit lebih tinggi, seolah bersiap melawan.

Catalina berdiri di pinggiran lingkaran kloning, tangan terlipat di dada, ekspresinya serius tapi hangat. Api pink dan es biru di belakangnya berdenyut lembut—whoom… whoom…—seperti detak jantung barrier yang melindungi mereka. Dia menatap Mayuri dengan mata yang penuh keyakinan. “Fokus, Mayuri,” ucapnya pelan tapi tegas, suaranya mampu terdengar meskipun angin semakin kencang. “Latihan ini bukan soal menang. Ini soal… kamu berdiri tanpa lari. Menghadapi apa yang membuatmu takut.”

Mayuri menarik napas panjang—*huuufff—*udara dingin masuk ke paru-parunya, membuatnya sedikit bersinar. Matanya terpejam sesaat, dan dia membisikkan untuk diri sendiri: Aku bisa… aku harus bisa… Jangan biarkan mereka kecewa. Jangan biarkan diriku kecewa.

Saat ia membuka mata—ada tekad yang terlihat jelas di dalamnya, meski masih dilapisi lapisan tipis ketakutan. Matanya pink keunguan itu menyala dengan cahaya biru muda dari tombaknya, dan dia menundukkan kepala sedikit, siap menghadapi apa pun.

Kurumi mengangkat satu jari, ekspresinya berubah jadi serius sebentar. “Oke~ pemanasan dulu. Jangan khawatir, cuma satu kloning ya.” Dia menjentikkan jari—snip!—dan satu kloning Kurumi menghilang dalam kilatan hijau kehitaman—fshhkk!—seolah dicerna oleh udara.

“BELAKANG!!” teriak Catalina dengan cepat, matanya membesar melihat kloning yang muncul tepat di belakang Mayuri.

Mayuri refleks berputar—gerakannya kikuk, badannya miring ke samping, nyaris tersandung oleh roknya sendiri—tombak es terayun terlalu lebar—SWOOOSH!—serangan itu meleset, hanya menyentuh udara di depan kloning.

Kloning Kurumi berhenti tepat di depan wajah Mayuri, jarak antara mereka hanya beberapa sentimeter. Dia tersenyum lebar, mata hijaunya berkilau nakal. “Boo~” katanya dengan suara yang lembut tapi menyebalkan.

“KYAA!!” Mayuri teriak kaget, tubuhnya mundur cepat dan jatuh terduduk ke salju—thump!—rok esnya terciprat serpihan kristal dingin yang memantul ke segala arah. Jantungnya berdentum keras—DOK—DOK—DOK!—seperti mau meledak, dan pipinya merah padam bukan karena dingin, tapi karena malu dan kecewa.

Catalina langsung maju selangkah, tangannya siap menolong. “Mayuri—”

“A—aku gapapa!” Mayuri memotong cepat, suaranya bergetar tapi tegas. Ia menggertakkan gigi, menekan tombak ke tanah untuk berdiri. Tubuhnya goyah, tangannya gemetar lebih keras sekarang, tapi… dia berdiri. Dia tidak tinggal di tanah.

Kurumi mengangkat alis, senyum mengejeknya tadi berubah menjadi ekspresi penasaran. “Oh?” nada suaranya turun sedikit, menjadi lebih tenang. “Kamu nggak nangis?” Dia melihat Mayuri dengan mata yang lebih serius, seolah tidak menyangka bahwa anak tsundere itu tidak menangis meskipun kaget dan gagal.

Mayuri menghela napas tersengal, nafasnya keluar sebagai uap putih tebal. “Aku… takut,” katanya jujur, suara bergetar tapi jujur. Dia menatap ke tanah, lalu kembali ke Kurumi dengan matanya yang penuh tekad. “Tapi… aku lebih takut… kalau aku tetap lemah. Kalau aku selalu lari setiap kali takut… aku nggak akan pernah kuat.”

WHOOOOSH… Angin dingin berdesir lebih kuat, menyapu halaman dengan kekuatan yang lebih besar. Badai salju kecil di sekitar Mayuri membesar sedikit, kristalnya berkilau lebih terang, membentuk lingkaran kecil di sekitar kakinya. Tombak esnya juga mulai berdenyut dengan irama yang sama dengan detak jantungnya—thrum… thrum…

Catalina tersenyum tipis, mata dia penuh bangga. “Itu dia,” ucapnya pelan, seolah berbicara dengan diri sendiri. Dia tahu bahwa kalimat itu adalah langkah besar untuk Mayuri—menyerahkan perasaan yang sebenarnya tanpa menyembunyikannya.

Kurumi menjentikkan jari lagi, ekspresinya sekarang lebih hormat. “Baiklah. Serangan kedua. Kali ini dua kloning ya.” Dia membangkitkan tangan—fshhkk! fshhkk!—dua kloning bergerak bersamaan: satu dari kanan dengan gerakan cepat, satu dari kiri dengan gerakan lebih lambat tapi lebih licin.

Mayuri menutup mata sesaat, tidak lagi melihat gerakan mereka tapi merasakan. Jangan panik… rasakan… Rasakan aura mereka… rasakan dingin di dadaku… Ia mengingat sensasi dingin yang muncul di dada ketika Rhapiel diaktifkan—thrum… thrum…—seolah kekuatan itu berbicara dengannya.

Mayuri membuka mata. Matanya terlihat lebih jernih, lebih fokus. “A—aku bisa…!”

Ia menghentakkan tombak ke tanah dengan kekuatan—KRAAANG!—suara seperti batu es yang saling bertabrakan, terdengar keras di dalam hening. Lingkaran es meledak dari kakinya—SHRRRAAASH!!—bukan besar, tidak rapi, bentuknya tidak teratur, tapi cukup untuk mencapai kloning yang datang dari kanan.

Satu kloning terpental ke belakang, tubuhnya melebur jadi partikel hijau yang melayang ke udara—poof!—sedangkan yang satu lagi berhenti mendadak, tangan pistolnya sudah hampir menyentuh pundak Mayuri. Jaraknya hanya beberapa sentimeter, tapi dia berhenti.

Mayuri terengah-engah, napasnya tidak stabil, kakinya goyah seolah mau patah. “K—kena… satu…” katanya dengan suara yang lemah, tapi bibirnya melengkung sedikit menjadi senyum.

Kurumi menghentikan kloning itu dengan satu gerakan tangan—snip!—pistolnya turun, dan dia melihat Mayuri dengan ekspresi yang berbeda. Untuk sesaat… halaman itu sunyi—hanya bunyi angin dan salju yang terdengar.

Lalu Kurumi tersenyum—kali ini lembut, nyaris bangga. “Heh… untuk pemula…” dia mengangkat bahu sedikit, tapi senyumnya tidak hilang. “Lumayan.”

Mayuri terbelalak, matanya membesar tidak percaya. “B—beneran?!” suaranya naik, penuh kebahagiaan yang tulus. Pipinya masih merah, tapi sekarang karena senyum dan kebanggaan.

Catalina mengangguk, senyumnya lebar. “Kamu tidak lari. Kamu membaca situasi dan bertindak. Itu kemajuan besar, Mayuri. Sangat besar.”

Mayuri mengepalkan tangan, jari-jari dia memerah kulitnya. Dia mengangkat tombak esnya lebih tinggi, matanya terlihat lebih bersemangat. “Kalau gitu… sekali lagi! Kali ini aku akan kena dua!”

Kurumi terkekeh pelan—hehehe~—suaranya terdengar lebih ramah. “Semangat juga kamu~ Boleh juga deh.” Ia mengangkat pistolnya lagi, aura hijau kehitaman di sekitarnya menebal—vooomm…—suara bergetar yang semakin kuat.

“Tapi ingat,” kata Kurumi, mata tajam menatap Mayuri, tidak ada lagi kesan menggoda. “Latihan ini bukan cuma tentang menyerang.” Dia menjentikkan jari lagi—fshhkk! fshhkk! fshhkk!—kloning muncul mengelilingi mereka—lebih banyak dari sebelumnya, ada sembilan kloning yang berdiri dalam lingkaran yang lebih rapat. “Tapi tentang… bertahan di tengah ketakutan. Ketika semua arah ada bahaya, dan kamu cuma punya dirimu sendiri.”

Mayuri menelan ludah—gluk…—kakinya gemetar lagi, tapi ia tidak mundur. Ia mengangkat tombak esnya, napas masih tak stabil, tapi sorot matanya berubah—lebih keras, lebih berani, lebih siap. Badai salju di sekitarnya membesar lagi, kristalnya berkilau seolah bintang yang terjatuh.

“Kalau begitu…” dia membisikkan, suaranya tegas dan penuh keyakinan. “…aku akan bertahan. Sampai akhir.”

Shrrrsshh… shrrrsshh… Salju berputar lebih kencang, menutupi mereka semua dengan lapisan putih. Api dan es di sekitar Catalina berdenyut lebih kuat—whoom… whoom…—seolah mendukung Mayuri. Kloning Kurumi siap menyerang, pistol mereka menodongkannya ke arah Mayuri dengan sikap yang siap bertarung.

Dan latihan itu—baru saja—benar-benar dimulai.

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!