NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27

Jovita merasa ada yang tidak beres. Devan terdiam terlalu lama di depannya. Akhirnya ia menarik handuk ke bawah, dan seketika matanya membelalak. Devan begitu dekat, bahkan terlalu dekat.

Saat jarak di antara mereka benar-benar hilang dan bibir Devan menyentuh bibirnya, Jovita menahan napas. Devan mendalamkan ciumannya, satu tangannya otomatis menarik pinggang Jovita agar lebih dekat. Terkejut, Jovita mencoba mendorong dadanya, mencoba melepaskan diri dari ciuman itu.

Begitu bibir mereka terpisah, Jovita menatap Devan tajam, dadanya naik turun cepat.

“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya lirih, tapi jelas penuh ketegasan.

“Menciummu,” jawab Devan santai. Tatapannya tetap mengarah pada wajah Jovita.

Jovita mengernyit, masih kewalahan dengan apa yang baru saja terjadi.

“Jadi kenapa… menciumku?”

Devan mengalihkan pandangan ke samping sebentar, lalu kembali menatapnya. “Gak ada apa-apa. Hanya menciummu.”

Jovita terkekeh tidak percaya. Ia sudah mengangkat tangan, berniat memukulnya. “Udah kubilang jangan sentuh,” belum selesai, Devan sudah menangkap pergelangan tangannya.

“Hujannya masih deras, kita gak bisa keluar lagi. Jalannya besok aja,” ucap Devan sambil melepas tangannya, lalu duduk di kasur. Matanya tetap menatap Jovita.

“Terus, aku gak mau tidur di tempat lain. Gak ada sofa di sini.”

Jovita membelalak panik. Ia cepat-cepat melirik ke kanan dan kiri, berharap ada sofa tersembunyi di sudut ruangan. Tapi memang tidak ada. Dadanya langsung sesak. Setelah ciuman itu? Tidur satu kamar? Mana mungkin?

“Aku gak akan menyentuhmu, tidur aja,” ujar Devan. Tatapannya kali ini berbeda, serius dan sungguh-sungguh.

“Tapi kamu menciumku,” balas Jovita penuh kekesalan, masih tidak terima dengan kenyataan jelas di depan mata.

Devan tersenyum samar. “Kamu juga melakukan hal sama, kan? Menciumku tanpa izin.”

Jovita mengernyit. Ia benar-benar tidak mengingat ciumannya dulu.

Devan akhirnya merebahkan diri di kasur. Ia menarik selimut, merapikan bantal, dan tampak sangat nyaman.

“Kalau mau tidur sambil diri, ya terserah. Tapi jangan mengusirku, aku capek bawa mobil ke sini,” ucapnya sambil memejamkan mata.

Beberapa saat berlalu. Jovita masih berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikitpun, sementara Devan sudah tampak benar-benar tertidur. Napasnya teratur, dalam, tenang.

Jovita mendekat perlahan. Ia mengibaskan tangannya di depan wajah Devan, mencoba memastikan.

“Dia beneran udah tidur?” bisiknya pada diri sendiri.

Tidak ada reaksi. Tidak ada gerakan. Tidak ada suara selain hujan di luar. Jovita akhirnya menghembuskan napas lega.

Dengan sangat hati-hati, ia naik ke sisi lain kasur. Gerakannya pelan. Tangannya mencengkeram ujung selimut, jantungnya terasa berdentum cepat di dadanya.

Ia menoleh, memperhatikan wajah Devan yang tertidur. “Kapan aku menciummu?” gumamnya pelan, lalu terkekeh lirih, masih tidak percaya.

Namun tepat saat ia memejamkan mata, ingatan itu muncul begitu jelas, seragam sekolah, hujan deras, toko yang tutup. Kilasan itu datang terlalu cepat. Jovita terbelalak. Tangannya spontan menutup mulut, menahan suara yang hampir lolos.

“Aku beneran…” katanya lirih, tak sanggup melanjutkan. Pipinya panas karena malu, bahkan pada dirinya sendiri.

Ia buru-buru berbalik, membelakangi Devan, menarik selimut sampai ke pundaknya.

Hujan di luar, sudah mulai reda. Jovita sudah tertidur dengan nyaman. Devan membuka matanya perlahan. Ia tidak benar-benar tertidur sejak awal. Seperti biasa, tidur merupakan salah satu kegiatan yang sulit ia lakukan.

Ia menoleh, menatap punggung Jovita, lalu tersenyum samar. Tangannya terulur perlahan ke arahnya, namun berhenti sebelum menyentuh. Akhirnya ia hanya menaikkan selimut Jovita.

***

Hari persidangan akhirnya tiba. Jovita duduk di kursi panjang tepat di depan ruang sidang. Telapak tangannya berkeringat sejak tadi, membuat ia terus menggosokkannya ke celana. Dadanya terasa sesak. Jantungnya berdentum cepat seperti ingin kabur lebih dulu dari tubuhnya.

“Jovita.”

Suara itu datang dari ujung lorong. Devan. Jovita spontan berdiri.

Ia menatap pria itu dari kepala sampai kaki, jubah jaksa hitam, wajah serius, berkas tuntutan di tangan. Untuk sesaat, Jovita hampir lupa bernapas. Baru pertama kalinya ia melihat Devan dalam wujud aslinya sebagai jaksa, bukan pria menyebalkan yang sering memancing emosinya.

Devan berhenti tepat di depannya. “Kenapa gak masuk?”

“Aku nunggu Sena,” jawab Jovita pelan. Suaranya sedikit bergetar, meski ia mencoba bersikap biasa saja.

Devan mengangguk, tapi matanya tetap menatap Jovita lama. Lalu ia tertawa pelan, seolah baru melihat sesuatu yang lucu.

“Kenapa tegang banget? Ini bukan sidang besar.”

Jovita tahu kalimat itu maksudnya menenangkan, tapi tetap saja, baginya ini besar.

Devan, entah sadar atau tidak, menggerakkan tangannya untuk merapikan sehelai rambut Jovita yang jatuh ke pipi. Gerakannya lembut. Terlalu lembut. Sampai Jovita tersentak karena tak menduga sentuhan itu.

“Jangan gugup,” ucap Devan sambil tersenyum lembut, “percayakan pada suamimu.”

Jovita terpaku. Kata itu mengena begitu saja di dadanya, hangat dan menenangkan sekaligus membingungkan. Untuk pertama kalinya sejak pagi, ketegangannya sedikit mereda.

Ia mengangguk kecil, membalas senyumnya dengan senyum tipis.

“Jovita!”

Sena akhirnya datang, berlari kecil mendekati mereka.

Jovita dan Devan sama-sama menoleh. Sena memberi anggukan pada Devan, yang dibalas Devan dengan anggukan singkat.

“Masuk sana, sebentar lagi dimulai,” ujar Devan sebelum melangkah pergi menuju ruang jaksa.

Jovita menelan gugup terakhirnya, lalu berjalan masuk bersama Sena.

Udara di dalam ruang sidang terasa berat, seolah menekan dada siapa pun yang masuk. Jovita menarik napas pelan, lalu membuangnya, berulang kali, berusaha menenangkan diri meski tangannya dingin dan gemetar halus.

“Terdakwa, saya akan memberi pertanyaan. Tolong jawab dengan sebenarnya.”

Suara Devan menggema lantang, tegas, memenuhi seluruh ruangan. Ia menatap Arum tanpa berkedip.

“Anda tau untuk apa anda dipanggil hari ini ke sini?”

“Ya. Tapi saya gak ngerti kenapa harus dipanggil karena pekerjaan saya,” jawab Arum santai, enteng, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.

Di bangku hadirin, Sena mendengus pelan sambil menatap Arum dengan jijik.

“Dia masih nyangkal?” bisiknya kasar, jelas sudah muak dengan tingkah kurang ajar itu.

Devan tetap tenang. Senyum profesional muncul sesekali, seperti topeng yang ia pakai saat menangani persidangan.

“Seperti yang sudah disampaikan, anda dilaporkan atas tindakan plagiarisme, menggelapkan dana, serta melakukan pengancaman.”

“Aku tidak melakukan itu,” ucap Arum, wajahnya datar.

Devan tidak menanggapi bantahan kosong itu. Ia hanya memberi isyarat pada operator.

“Biarkan saya tunjukkan ini.”

Lampu ruangan sedikit meredup ketika layar TV besar menyala. Rekaman CCTV muncul. Arum sempat mengernyit, lalu cepat-cepat memasang ekspresi datarnya kembali.

“Malam sebelum presentasi, apa yang anda lakukan dengan komputer orang lain?”

“Itu…” Arum mulai goyah, suaranya terdengar gugup. “Hanya memeriksa.”

“Apa yang anda periksa?”

Arum terdiam. Terlalu lama. Terlihat jelas ia memutar otak mencari alasan. “Komputer itu sepertinya bermasalah. Terus bunyi, jadi saya memeriksanya.”

“Bukankah anda bisa melaporkannya pada tim IT?”

Arum menelan ludah. Bahunya naik-turun sedikit karena napasnya mulai tak stabil. Devan lalu berbalik menghadap para hakim.

“Izinkan saya memanggil seorang saksi.”

“Permintaan disetujui,” ketua hakim mengetuk palu kecilnya.

Ketika Devan kembali menghadap ke depan, matanya langsung tertuju pada satu orang.

Jovita.

Sena menoleh cepat. “Kamu harus maju sekarang,” bisiknya.

Jovita tahu. Tapi kaki-kakinya terasa berat, seperti menolak bergerak. Meski begitu, ia memaksa diri berdiri. Langkahnya pelan, hati-hati, penuh ragu. Begitu duduk di kursi saksi, tangannya langsung saling menggenggam erat di bawah meja, berusaha menyembunyikan getaran.

Devan memandangnya, kali ini bukan dengan ekspresi jaksa galak, tapi lembut. Menenangkan. Ia mengangguk sekali, memberi isyarat kecil, kamu bisa.

“Apa yang ingin anda sampaikan?” tanyanya.

Nada suaranya berbeda dari ketika ia menginterogasi Arum, lebih pelan, lebih lembut, seolah khusus dibuat untuk Jovita saja.

Jovita menatap Arum, bara kecil menyala di balik mata yang biasanya tenang. Lalu ia kembali menatap Devan, menarik napas sebelum bicara.

“Malam sebelum presentasi, Arum kelihatan kesulitan mengerjakan prototipe. Presentasi itu mungkin kesempatan terakhirnya untuk menunjukkan kualitas dirinya. Jadi saya membantu dengan memberikan prototipe lama untuk inspirasinya. Tapi hari berikutnya, dia menggunakan prototipe saya sebagai bahan presentasi.”

Arum menatap Jovita tajam, lalu terkekeh rendah. “Sialan,” desisnya.

Sidang pertama berakhir dengan lancar. Arum dinyatakan bersalah atas plagiarisme dan diwajibkan membayar kerugian yang ia sebabkan pada Jovita.

Jovita dan Sena keluar dari ruang sidang, berniat meninggalkan gedung pengadilan.

“Kamu mau langsung pulang?” suara Devan terdengar dari belakang. Ia baru keluar setelah sidang di-pending 30 menit.

Jovita menggeleng. “Aku ada shift.”

Belum sempat Devan menanggapi, Arum keluar dari ruang sidang bersama petugas keamanan. Ia tersenyum sinis, lalu menatap Jovita dan Devan dari ujung kaki sampai kepala.

“Jovita, kamu menikah dengannya buat manfaatin dia?”

Jovita mengernyit, wajahnya mengeras.

“Jujur aja. Kamu menikah dengannya biar bisa menuntutku, kan? Apa itu bayarannya? Dengan tubuhmu? Supaya dia mau mengerjakan kasus ini?”

Jovita mengepalkan tangan. Emosinya naik begitu cepat hingga Sena refleks ikut menahan napas. Ia sudah bersiap menghantam Arum, namun Devan menahan pergelangan tangannya sebelum ia sempat bergerak.

“Apa yang kamu tau?” tanya Devan, nadanya datar namun tegang. Ia masih memakai jubah jaksanya, masih jam kerja, jadi ia menahan diri keras-keras.

“Dia menikah denganku karena aku mencintainya. Jadi kenapa? Kamu pikir dia sepertimu?”

Jovita terkejut. Kepala dan hatinya sama-sama tersentak. Ia langsung menoleh pada Devan, menatapnya dalam, seolah mencari makna sebenarnya dari ucapan itu.

Arum terdiam. Mata yang tadi penuh sinis kini memudar, tergantikan kejengkelan yang sulit ia sembunyikan. Entah apa yang Devan tahu tentangnya, tapi setiap kali ia berbicara, selalu tepat sasaran.

“Urus masalahmu sendiri. Kamu terlibat banyak masalah sekarang, jangan lupa bayar kompensasinya. Kita pengantin baru, masih butuh banyak uang,” lanjut Devan tenang.

Arum mendesis kesal. Devan memberi isyarat pada petugas keamanan agar membawanya pergi. Begitu Arum menghilang di ujung lorong, Devan mengalihkan pandangan pada Jovita.

“Kamu juga pergilah. Aku akan jemput nanti malam.”

Jovita masih menatapnya dengan sorot bingung, seperti baru saja mendengar sesuatu yang tidak seharusnya diucapkan dengan mudah. Namun ia akhirnya mengangguk. Devan kembali ke ruang sidang.

Sena langsung menyenggol bahu Jovita, senyumnya ditahan susah payah. “Kamu dapet suami yang baik. Harusnya sama dia dari dulu, kenapa macarin Adam si brengsek?”

Jovita mendengus tertawa, lalu menarik Sena menjauh.

Yang tidak mereka tahu, di balik dinding ujung lorong, sepasang telinga mendengarkan semuanya, tanpa kehilangan satu kata pun.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!