NovelToon NovelToon
Cinta Untuk Nayla & Nando

Cinta Untuk Nayla & Nando

Status: tamat
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:212
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30: Resep Kehidupan yang Sempurna

​Malam Resepsi, Grand Ballroom Hotel Mulia.

​Dunia seolah terbelah dua malam itu. Di luar, Jakarta macet oleh deretan mobil mewah yang mengantre masuk ke lobi hotel. Di dalam, ribuan bunga tulip putih dan lampu kristal mengubah ballroom menjadi negeri dongeng.

​Nayla berdiri di pelaminan, mengenakan gaun pengantin internasional berwarna champagne berekor panjang yang dirancang khusus di Paris. Di kepalanya bertengger tiara berlian kecil yang elegan. Di sampingnya, Adit tampak gagah dengan tuksedo hitam classic.

​"Capek?" bisik Adit sambil tetap tersenyum menyalami tamu ke-500.

​"Sedikit. Kakiku mulai kesemutan pake heels 12 senti," balas Nayla berbisik, tetap mempertahankan senyum ratu-nya.

​"Tahan bentar ya. Nanti di kamar, saya pijitin," goda Adit.

​Nayla mencubit pinggang suaminya pelan.

​Bu Rina berdiri tak jauh dari mereka, wajahnya bersinar lebih terang dari lampu sorot. Ia sibuk memperkenalkan Nayla kepada teman-teman sosialitanya.

​"Ini menantu saya, Jeng. Cantik kan? Pengusaha kuliner sukses lho," pamer Bu Rina bangga. Tidak ada lagi rasa malu, yang ada hanya kebanggaan murni.

​Namun, kejutan sesungguhnya ada di sudut ballroom.

​Di antara stan Steak Wagyu, Lobster Thermidor, dan Chocolate Fountain, berdiri sebuah pondok kayu yang didesain sangat estetik dengan atap rumbia buatan dan lampu petromak modern. Papan namanya tertulis elegan dengan tinta emas: DAPUR NANDO - Traditional Taste.

​Dan percaya atau tidak, itu adalah stan dengan antrean terpanjang malam itu.

​Para tamu VVIP—Menteri, Duta Besar, dan CEO perusahaan multinasional—rela mengantre dengan jas mahal dan gaun malam mereka demi mendapatkan sepiring nasi uduk beralaskan piring lidi dan daun pisang.

​"Pak Menteri, cobain jengkolnya. Empuk, Pak," tawar Nenek Ijah yang duduk di sana sebagai "maskot" kehormatan, didampingi staf katering berseragam batik.

​Pak Menteri tertawa lepas. "Wah, ini yang saya cari, Nek! Bosen makan daging terus. Nasi uduknya wangi bener."

​Adit menyenggol lengan Nayla di pelaminan. "Liat tuh. Ide kamu sukses besar. Nasi uduk kamu jadi primadona."

​Nayla menatap pemandangan itu dengan mata berkaca-kaca. Dua dunia yang dulu ia kira tak akan pernah bersatu—kemewahan dan kesederhanaan—kini berbaur indah dalam satu ruangan. Ia melihat Nando berlarian di antara kaki-kaki tamu dengan jas kecilnya, tertawa lepas dikejar anak-anak kolega Adit.

​Malam itu bukan sekadar pesta. Itu adalah pernyataan sikap. Bahwa cinta Adit dan Nayla tidak memandang kasta, dan kebahagiaan sejati bisa ditemukan di piring lidi di tengah pesta bintang lima.

​EPILOG: Dua Tahun Kemudian.

​Minggu pagi di sebuah rumah asri di kawasan Jakarta Selatan. Bukan penthouse dingin di lantai 50, tapi sebuah rumah tapak dengan halaman rumput luas dan pohon mangga yang rindang—rumah impian yang mereka beli bersama.

​"Ayah! Cepetan! Keburu siang!" teriak Nando yang kini sudah kelas 1 SD. Ia sudah siap dengan seragam bola, memegang bola di tangan.

​"Sebentar, Jagoan! Ayah lagi pake sepatu!" sahut Adit dari dalam.

​Nayla keluar ke teras membawa nampan berisi jus jeruk dan pisang goreng. Perutnya tampak membuncit besar—hamil 8 bulan. Langkahnya sedikit berat tapi wajahnya glowing alami.

​"Jangan lari-lari terus, Nando. Nanti jatoh," ingat Nayla lembut.

​"Nando mau latihan, Bu. Katanya kalau jago bola nanti bisa masuk TV!"

​Adit keluar, mengenakan jersey bola yang sama persis dengan Nando. Ia menghampiri Nayla, mencium pipi istrinya, lalu berlutut dan mencium perut buncit Nayla.

​"Assalamualaikum, Tuan Putri di dalem. Jangan nendang-nendang terus ya, kasian Ibu engap," bisik Adit pada calon anak perempuannya.

​"Dia nendang karena denger suara Ayahnya yang brisik," kekeh Nayla, mengusap rambut Adit.

​"Mas, katering hari ini aman?" tanya Nayla.

​"Aman, Bos. Manajer operasional udah laporan, 1.000 boks buat acara kementerian udah jalan. Kamu duduk aja, jangan mikirin kerjaan. Inget kata dokter, bed rest," omel Adit protektif.

​Bisnis "Dapur Nando" kini sudah berkembang pesat menjadi CV resmi dengan dapur pusat (central kitchen) sendiri dan puluhan karyawan. Nayla tidak lagi memasak sendiri, ia kini duduk di kursi manajemen, meski resep rahasia Nenek tetap ia jaga ketat.

​Nenek Ijah keluar membawa koran pagi dan kacamata bacanya. Meski sudah sepuh, Nenek makin sehat karena rutin cek dokter dan minum vitamin mahal yang dibelikan Adit.

​"Dit, ini saham perusahaanmu naik lagi ya? Ada fotomu di koran," tunjuk Nenek Ijah bangga.

​Adit melirik sekilas. "Iya, Nek. Proyek baru sukses."

​Bagi Adit, kesuksesan terbesarnya bukan saham yang naik atau gedung pencakar langit yang bertambah. Kesuksesan terbesarnya ada di halaman rumah ini. Melihat Nando tumbuh bahagia tanpa kekurangan figur ayah, melihat Nayla tersenyum tanpa beban hutang, dan melihat Nenek Ijah menikmati masa tuanya dengan tenang.

​"Ayah! Ayo main!" rengek Nando.

​"Oke, oke! Siap kalah lawan Ayah?"

​"Nando nggak bakal kalah!"

​Adit berlari ke halaman, mulai menggocek bola dengan Nando. Tawa mereka pecah, memenuhi udara pagi yang hangat.

​Nayla duduk di kursi goyang teras, menyesap jus jeruknya sambil mengelus perut. Ia teringat masa-masa sulit dulu. Masa di mana sepiring nasi uduk adalah kemewahan, dan masa di mana ia menangis di lorong rumah sakit.

​Rasanya seperti mimpi buruk yang sudah lama berlalu.

​Tiba-tiba, Adit berhenti bermain. Ia berlari kecil kembali ke teras, napasnya ngos-ngosan tapi matanya berbinar.

​"Kenapa, Mas?" tanya Nayla.

​Adit berjongkok di samping kursi Nayla, menggenggam tangan istrinya.

​"Cuma mau bilang makasih," ucap Adit tiba-tiba.

​"Makasih buat apa?"

​"Makasih karena waktu itu kamu tolong Mama di kafe. Makasih karena kamu ngizinin saya masuk ke hidup kamu yang 'sempit' tapi hangat itu. Makasih udah ngasih saya Nando, dan ngasih saya calon putri cantik ini."

​Nayla tersenyum haru. "Makasih juga, Mas. Karena udah jadi pangeran yang nggak cuma ngasih sepatu kaca, tapi juga mau diajak becek-becekan."

​Adit tertawa. "Sepatu kaca itu nggak nyaman, Nay. Mending sendal jepit, bisa dipake lari ngejar masa depan."

​Adit mengecup punggung tangan Nayla lagi.

​"Aku mencintaimu, Nayla Anindya. Dulu, sekarang, dan selamanya."

​"Aku juga mencintaimu, Aditya Rahardian."

​Di bawah naungan pohon mangga, diiringi suara tawa Nando dan omelan sayang Nenek Ijah tentang rumput yang rusak, Nayla tahu satu hal:

​Hidup tidak selamanya manis seperti kue cokelat, kadang pedas seperti sambal, kadang pahit seperti daun pepaya. Tapi jika dimasak dengan bumbu yang tepat—kesabaran, kejujuran, dan cinta—semuanya akan menjadi hidangan kehidupan yang sempurna.

​Dan bagi Nayla dan Adit, menu kehidupan mereka baru saja dimulai.

...****************...

​- TAMAT -

​Terima kasih telah mengikuti perjalanan cinta Nayla dan Adit dari awal hingga akhir! Semoga kisah ini menghibur dan memberikan inspirasi. 💖

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!