Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedekah Berkedok Bisnis
Pesan singkat dari Arga Mahendra masuk ke ponsel Salsa: "Mbak Salsa, saya mau tanya, apa Mas Surya tertarik bergabung dengan agensi kami, Bintang Nusantara Entertainment? Kalau ada waktu, kita bisa bertemu untuk bicara kontrak."
Kantuk Salsa Liani seketika lenyap. Matanya melotot menatap layar.
Ini undangan langsung dari Arga Mahendra! Sang legenda hidup!
Bintang Nusantara Entertainment itu bukan agensi kaleng-kaleng. Didirikan oleh Arga Mahendra sang peraih Citra dan Reza Mahavira si "Pencetak Megabintang", agensi ini adalah tiket emas. Artis cilik mereka saja sudah menang penghargaan internasional. Dan sekarang, tiket emas itu jatuh tepat di pangkuan mereka?
Tanpa pikir panjang, Salsa langsung menelpon kakaknya.
"Mas! Arga Mahendra udah nge-chat belum?"
Terdengar tawa lembut Surya Linardi dari seberang. "Udah, Mas baru terima tadi pagi. Mas baru mau tanya kamu bangun jam berapa buat atur jadwal. Mas sih ikut kamu aja."
"Besok! Kita gas besok langsung tanda tangan!" seru Salsa berapi-api. "Makin cepet Mas dipegang profesional, makin bagus."
"Siap, Bos Kecil. Mas nurut aja," jawab Surya dengan nada memanjakan.
Salsa menutup telepon dengan senyum lebar. Saking bahagianya, nafsu makannya melonjak drastis. Dia bahkan nambah nasi dua piring sambil senyum-senyum sendiri.
Pukul dua siang, Markas Besar Kepolisian Jakarta.
Suasana ruang rapat terasa berat dan mencekam. Di layar raksasa, para pimpinan dari dua Polda provinsi lain hadir via video call. Ini pertama kalinya Salsa ikut rapat lintas provinsi, dan ketegangannya benar-benar terasa di udara.
Komandan Rendy Wibowo berdiri di depan proyektor, wajahnya serius saat memaparkan profil si pembunuh berantai.
"Tersangka Joko Yanto. Mantan kuli, tukang bangunan, ahli kunci. Karakternya dingin, apatis, dan nol penyesalan..."
Animasi simulasi kejahatan mulai diputar di layar.
"Joko memanfaatkan kelemahan lubang intip pintu alias door viewer murah," jelas Komandan Rendy. "Dia merakit alat pembunuh presisi."
Di layar, terlihat pipa logam modifikasi. Ujungnya dipasangi kaca palsu yang mirip lensa pintu. Saat korban mengintip keluar, mereka tidak sadar lensa aslinya sudah dicongkel pelaku.
Maut mengintai tepat di balik kaca itu.
"Dia pasang cermin miring di belakang kaca palsu, persis prinsip periskop. Dari luar kelihatan biasa, tapi sebenarnya Joko sudah mengatur sudutnya."
Komandan Rendy melanjutkan dengan nada dingin, "Dia cuma perlu jongkok di samping pintu, ngintip lewat celah kusen. Begitu ada orang menempelkan mata ke lubang intip... pupil mata mereka terlihat jelas di cermin pantul itu."
Salsa menahan napas.
"Saat target pas, dia tekan tombol. Jarum baja halus melesat dari pipa, menembus bola mata, langsung menghunjam ke batang otak."
"Korban tewas seketika tanpa sempat teriak."
Hening. Ruangan itu sunyi senyap. Salsa menatap animasi itu dengan ngeri. Ujung jarinya dingin.
Bola mata dan batang otak ditembus baja? Gila. Batang otak itu pusat napas dan detak jantung. Kalaupun ajaibnya selamat, pasti cacat permanen.
"Terobosan kasus ini tak lepas dari kontribusi Salsa Liani, ahli teknis Tim Khusus kita!"
Suara lantang Komandan Rendy memecah lamunan Salsa.
"Berkat intelijen dan sketsa TKP prediksinya, Kapten Rakha bisa mengunci lokasi. Dan yang paling membanggakan, tersangka dilumpuhkan langsung oleh tangan Salsa sendiri."
Boom.
Semua mata di ruangan—termasuk para jenderal di layar video—serentak menatap Salsa.
Salsa refleks menyusut di kursinya. Sejak kapan gue jadi ahli teknis?
Dia memaksakan diri berdiri, tersenyum canggung. "Terima kasih, Ndan. Ini... murni kerja sama tim kok. Tiga ratus personel yang kompak, itu kuncinya."
Sikap rendah hati gadis muda ini langsung bikin hati para senior meleleh. Udah cantik, jago, nggak gila hormat pula. Malaikat banget!
"Masih muda banget ya... Pak Rendy, kamu beneran nemu harta karun," puji salah satu pimpinan Polda lain dengan nada iri.
Wajah para komandan dari wilayah lain tampak masam. Kemarin mereka menolak kirim bantuan, eh sekarang Jakarta malah sukses tangkap pelakunya sendirian. Mana pelakunya belum sempat beraksi di Jakarta pula. Malu banget.
Komandan Zainuddin, yang kemarin sempat nyindir, nyeletuk kecut, "Pak Rendy, hoki situ emang nggak ada obat."
Komandan Rendy merapikan mansetnya dengan gaya angkuh yang elegan. Dia melirik Salsa sekilas lalu menyeringai. "Betul banget. Karena ada 'jimat keberuntungan' di sini, nasib baik selalu memihak kami. Iri bilang bos."
Rapat selesai dengan pujian bertubi-tubi dari pusat. Anggota Polda Metro Jakarta keluar ruangan dengan wajah berseri-seri. Full senyum.
Saat Salsa hendak keluar, ekor matanya menangkap sosok Rakha Wisesa. Pria itu sedang menunduk, menatap layar ponsel dengan serius.
Melihat angle video yang goyang-goyang di layar itu, jantung Salsa mau copot.
Itu rekaman bodycam saat penangkapan! Di situ Salsa kelihatan panik, ngasal nyabet-nyabetin sarung tangan listrik kayak kucing lagi tantrum. Jauh banget dari citra "polwan badass" yang digosipkan orang-orang.
"Jangan dilihat!"
Salsa melompat, telapak tangannya langsung menutupi layar ponsel Rakha.
Rakha mendongak perlahan. Mata tajamnya sedikit menyipit, menatap Salsa datar.
Salsa tertawa garing. "Itu... video nggak penting, Ndan. Nggak ada nilai edukasinya, buang-buang waktu Komandan aja."
"Saya cuma mau evaluasi teknik beladiri kamu," suara Rakha tetap datar, tapi ada kedutan samar di sudut bibirnya yang menahan tawa. "Lumayan. Sangat... ganas."
Rakha menggoyangkan ponselnya sedikit, lalu melenggang pergi dengan gaya cool-nya.
Salsa mematung. Pipinya panas, merah padam sampai ke telinga.
Awas aja, besok gue latihan beladiri beneran!
Keesokan paginya.
Salsa bangun subuh, berdandan maksimal. Hari ini hari bersejarah buat karier kakaknya!
Dia berlari kecil menuruni tangga asrama. Mobil jemputan sudah siap. Saat membuka pintu, Salsa terpaku.
Surya duduk santai di kursi belakang. Cahaya pagi menerpa wajahnya, membuatnya tampak seperti lukisan hidup. Kemeja putih licin, celana bahan hitam, dan dasi bermotif samar membuatnya terlihat sangat... mahal.
Meski matanya yang indah itu tak memiliki fokus, auranya luar biasa bersinar.
"Mas! Gila!" pekik Salsa. "Kamu kalau masuk TV, mau bikin berapa cewek pingsan sih?"
"Dari nenek-nenek sampai balita kayaknya bakal jadi fans garis keras kamu!"
Surya tertawa renyah, matanya melengkung seperti bulan sabit. "Salsa, lebay-nya kumat lagi."
Sepanjang perjalanan ke kantor Bintang Nusantara, mereka mengobrol seru. Surya jelas juga excited.
Gedung Bintang Nusantara Entertainment berdiri megah di kawasan elit, menghadap sungai. Di ruang rapat lantai 28 yang berdinding kaca, pemandangan kota terlihat spektakuler.
"Mas, kantornya mewah banget," bisik Salsa. "Kaca semua, kapal di sungai kelihatan jelas."
Surya tersenyum, jari lentiknya meraba pinggiran cangkir kopi, menyimak deskripsi adiknya dengan saksama.
Pintu terbuka. Arga Mahendra masuk bersama Reza Mahavira dan seorang gadis kecil. Manda.
Penampilan Manda berubah total. Tak ada lagi gaun putri. Dia memakai kemeja biru rapi dan celana kargo hitam, rambut diikat kuda.
"Manda," kata Arga lembut, "ini Kakak yang nemuin lokasi kamu waktu itu."
Manda mengangguk semangat. "Aku ingat! Om-om polisi lain panggil Kakak 'Bos Kecil'. Keren banget!"
Salsa tersipu. "Halo Manda."
"Kakak cowok ini juga bantu banyak lho," tambah Arga menunjuk Surya.
"Makasih ya Kakak-kakak cakep," ucap Manda tulus, lalu membungkuk hormat dengan gaya lucu. "Manda bakal ingat terus."
Mata besar Manda menatap Salsa penuh kekaguman. "Kak Salsa, nanti kalau udah gede aku mau jadi polisi juga! Mau jadi detektif hebat kayak Kakak!"
"Om Arga, hari ini mau ngontrak mereka jadi artis ya?" tanyanya polos.
Arga tertawa. "Kalau mereka mau."
Salsa menatap baju Manda. "Wah, hari ini cosplay jadi Polwan cilik ya?"
Manda nyengir lebar, memamerkan gigi susunya yang ompong satu, lalu sembunyi malu-malu di balik punggung Arga. "Dulu aku suka princess. Tapi sejak digendong Kak Salsa, aku mau jadi polisi aja."
Hati Salsa hangat mendengarnya.
Setelah berbasa-basi, Manda pamit untuk latihan wushu bersama Alex, artis cilik agensi itu.
Kini tinggal empat orang dewasa di ruangan.
"Pak Surya, Mbak Salsa, ini kontraknya. Silakan dipelajari," ujar Reza Mahavira sambil menyodorkan tablet dengan fitur suara untuk Surya dan berkas fisik untuk Salsa.
Salsa membaca kontrak itu dengan teliti. Sampai di bagian pembagian pendapatan, matanya melotot.
Dia mengucek mata. Hah? Salah ketik kali ya?
"Sembilan puluh banding sepuluh?!" pekik Salsa, menatap Arga tak percaya. "Pak Arga, ini serius?"
Di kontrak tertulis jelas: Artis dapat 90%, Agensi cuma ambil 10%.
Gilanya lagi, semua biaya operasional, produksi album, konser, dan promosi ditanggung penuh oleh agensi.
Ini sih bukan kontrak kerja sama. Ini sedekah berkedok bisnis! Agensi mana yang mau rugi bandar begini di awal karier artis baru? Biasanya agensi besar itu lintah darat, minta 50:50 atau malah 60:40.
Surya yang mendengar lewat headphone juga bengong.
"Tentu saja nggak salah," Arga tersenyum santai, seolah uang bukan masalah. "Kalian pantas mendapatkannya."
Reza menambahkan sambil tertawa, "Tenang aja, Pak Surya. Walau cuma ambil sepuluh persen, kami yakin bakatmu bakal bikin perusahaan untung gede. Kami nggak bakal pelit budget kok. Konser, album, semua standar internasional."
Reza menyodorkan jadwal tentatif. Salsa membacakannya untuk Surya dengan suara bergetar saking girangnya.
"Mas... dengerin nih! Variety show di tiga platform, penampil utama Festival Musik Lemon... gila..."
Surya tersenyum lembut, berbisik pada adiknya, "Sal, Mas ngerasa sejak tinggal sama kamu, hidup Mas kayak pake cheat. Hoki terus."
"Kamu beneran jimat keberuntungan."
Salsa mengangguk-angguk konyol. "Aku juga ngerasa gitu. Mas perlu sering-sering buatin aku sesajen Ayam Bakakak, Boba, Coklat Cadbury sama seblak loh!"
Surya terkekeh dan mengacak rambut adiknya. "Boleh banget."
Salsa berusaha menenangkan diri. "Maaf Pak Arga, Pak Reza. Norak dikit. Baru pertama lihat kontrak beginian."
Arga mengetuk meja pelan dengan jari lentiknya, senyum penuh arti terukir di wajah tampannya. "Mbak Salsa, saya juga ada hadiah kecil tanda terima kasih buat kamu."
Salsa melihat dokumen lain di bawah tumpukan kertas.
Perjanjian Hibah Saham.
Mata Salsa memindai isinya: Pemberi Arga Mahendra, mengalihkan 10% saham Bintang Nusantara Entertainment kepada Salsa Liani.
Salsa mendongak cepat, shock berat. "Hah? Sepuluh persen saham? Dikasih gitu aja?"
Arga mengangguk santai. "Cuma tanda terima kasih kecil karena sudah menyelamatkan Manda."
Kecil?!
Bintang Nusantara itu mesin pencetak uang. Investasi film mereka selalu box office. Dividen 10% itu bisa belasan miliar per tahun!
Melihat Salsa yang membatu, Arga tersenyum makin lebar. "Kalau nggak ada masalah, bisa tanda tangan sekarang?"
Salsa diam-diam mencubit lengannya sendiri. Sakit. Bukan mimpi.
"Sebentar Pak, saya kirim ke pengacara saya dulu. Prosedur."
"Silakan."
Salsa mengirim fail ke Pengacara Dimas. Lima belas menit kemudian, teleponnya berdering.
Suara Pengacara Dimas terdengar histeris di seberang sana. "Mbak Salsa! Ini kontrak beneran? Yakin nggak ada yang salah ketik?!"
"Kalian berdua habis nyelamatin nyawa Arga Mahendra di kehidupan sebelumnya atau gimana?!"
Salsa menahan tawa. "Kurang lebih begitu lah, Pak."
"Kontraknya bersih! Nggak ada celah! Ini sangat-sangat menguntungkan kita. Buruan tanda tangan sebelum Arga sadar dan berubah pikiran!" teriak Dimas. "Gila, dividen Mbak bisa buat beli pulau ini mah!"
Salsa menutup telepon sambil nyengir. Dia menyenggol lengan kakaknya.
"Mas, pulpen mana pulpen? Kita tanda tangan sekarang!"
next
lanjuttt....
keren juga Salsa. lanjutttt
bsk2 banyakin lagi ya thoe😍💪
ganbattee