Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyerahkan diri (1)
Kirana mematut bayangan dirinya di cermin. Ia bingung apakah akan mengikat rambutnya atau dibiarkan terurai. Tangannya terangkat memegang rambut, kepalanya ditolehkan ke kanan dan kiri.
Kirana sedang menunggu kepulangan Barra. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sehabis magrib tadi, Barra mengirimkan pesan akan pulang terlambat.
Albarraka Hutomo
"Sayang, maaf aku pulang terlambat. Pembicaraan dengan investor cukup alot. Jangan tidur, tunggu aku ❤❤"
Jantung Kirana seakan ingin melompat keluar, membaca kata sayang dan bentuk hati yang disematkan Barra di pesannya.
Barusan Barra kembali mengirimkan pesan jika dirinya sudah dalam perjalanan pulang.
Kirana sudah memoles wajahnya dengan make up tipis. Ia menyemprotkan parfum ke beberapa bagian tubuhnya. Tadi sore, ia juga menyempatkan mencuci rambutnya. Ia ingin terlihat cantik dan wangi di hadapan suaminya malam ini.
Kirana berniat menyerahkan dirinya pada Barra. Dengan pernyataan cinta Barra tadi siang, ia merasa sudah saatnya mengukuhkan perasaannya dengan menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Sekaligus mengikat cinta Barra untuknya.
"Lebih baik aku gerai saja," putus Kirana seraya menyisir rambutnya yang hitam tebal sepunggung.
Lalu, Kirana melirik paperbag di atas tempat tidur. Paperbag pemberian Alma. Kirana tahu isinya. Ia sudah membukanya beberapa waktu lalu.
Kirana menarik keluar sebuah gaun yang sangat kekurangan bahan. Gaun berawarna merah, tipis dan transparan. Gaun itu hanya memiliki tali-tali sebagai penyangganya.
"Dipakai ya Kak jika sudah saatnya nanti :)"
Kirana membaca tulisan tangan Alma di secarik kertas.
Kirana mengangkat tinggi-tinggi gaun pemberian Alma. Ia merinding membayangkan dirinya mengenakan baju yang disebut sebagai baju dinas istri itu.
"Aku pakai gak ya? Gimana kalau Mas Barra malah jadi gak suka?"
Suara mobil terparkir di halaman depan. Barra sudah tiba. Kirana segera memasukkan gaun itu ke dalam paperbag, lalu berjelan keluar menyambut suaminya.
Bu Wulan sudah membukakan pintu depan, kemudian bergegas menutup pintu pagar di belakang mobil Barra.
Kirana tersenyum, mencium punggung tangan Barra. "Capek, Mas?"
Barra menggeleng, kemudian mencium kening Kirana. Suara jantung Kirana laksana bunyi kembang api di malam tahun baru.
"Mas sudah makan?"
Barra mengangguk seraya merangkul bahu Kirana, berjalan masuk ke dalam rumah.
"Kalau begitu, Mas mandi dulu. Aku sudah siapkan baju gantinya di kamar," lanjut Kirana melingkarkan tangannya di pinggang Barra.
Sesampainya di kamar, Barra tidak langsung masuk ke kamar mandi. Ia menarik Kirana ke dalam pelukan. Menyesap harum tubuh Kirana. Menciumi pucuk kepalanya.
"Kenapa malam ini kamu wangi sekali?" bisik Barra di telinga Kirana dengan suara rendah dan dalam.
Barra lalu menggesekkan hidungnya di sekitar telinga Kirana lalu mengulumnya.
"Ssshh... M-mas... Mandi dulu," bulu kuduk Kirana meremang merasakan kuluman Barra.
"Oke, aku mandi dulu. Kamu siap-siap ya," Barra mengecup hidung Kirana kemudian berlalu ke kamar mandi.
Kirana menghembuskan nafas. Ia menaruh tangan di depan dadanya yang berdegup kencang. "Tenang, tenang, Kirana," bisiknya pada diri sendiri.
Kirana menatap paperbag berisi gaun tipis tadi. "Aku pakai saja. Semoga Mas Barra senang," tekadnya. Ia lalu menanggalkan baju tidurnya, menggantinya dengan gaun dinas.
Kirana menatap pantulan dirinya di cermin. Ia bergidik melihat tubuhnya. Gaun ini tidak menutupi apapun. Memakai gaun ini sama dengan tidak mengenakan apapun.
Ceklek... Pintu kamar mandi dibuka.
Kirana membalikkan badannya ke arah Barra.
Barra yang sedang mengeringkan rambutnya, langsung berhenti ketika melihat Kirana.
Glek... Kirana melihat jakun Barra turun lalu naik kembali.
"Apa yang kamu pakai?" Pandangan Barra sangat tajam menelusuri tubuhnya. Naik turun naik kembali, lalu berhenti di bagian dada Kirana.
Barra menaruh handuk lalu mendekati Kirana. Langkahnya pelan dan berat. Aura pemangsa terpancar kuat dari tubuh Barra. Seperti seekor rusa yang siap dimangsa harimau, Kirana mundur hingga tubuhnya membentur dinding.
"B-baju ini dibelikan A-Alma. M-mas gak s-suka?" gugup Kirana. Degup jantung Kirana dengan keras membentur rongga dadanya.
Barra berhenti ketika jarak mereka sangat dekat. Ia lalu mengukung Kirana. Barra menundukkan wajahnya sedikit agar sejajar dengan wajah Kirana.
Kirana bisa merasakaan helaan nafas Barra di wajahnya. Kirana juga bisa mendengar nafas suaminya, memburu.
"Aku suka, aku suka sekali. Aku harus berterima kasih pada Alma karena menghadiahimu ini," jemari Barra menelusuri tulang bahu Kirana. Berputar di tali spagheti gaunnya.
Barra menggertakan giginya, seperti sedang menahan sesuatu. Ia lalu menatap mata Kirana. "Kamu yakin ingin melakukan ini, Kira?"
Kirana mengangguk mantap.
"Kamu tidak akan menyesal? Karena kalau sudah memulainya, aku tidak akan bisa berhenti," Barra berkata lirih dan parau seolah ada luka di sana.
Tatapan Kirana lurus pada manik Barra. "Aku yakin, Mas. Aku mencintaimu. Aku ingin mengingat diriku saat menjadi istrimu seutuhnya."
Kirana melihat mata Barra berkaca-kaca. Barra mendaratkan bibirnya di kening Kirana. Sebuah kecupan yang bertahan beberapa detik di sana.
Kecupan itu lalu turun ke hidung lalu ke bibir Kirana yang merah merekah. Barra tidak langsung meraupnya, tapi memberikan kecupan-kecupan kecil di bagian atas dan bawahnya. Hingga Kirana membuka bibirnya, membuat Barra memiliki kesempatan untuk mengulumnya.
Mata keduanya terpejam. Bibir Kirana mulai bergerak mengimbangi suaminya. Tangannya sudah melingkar di leher Barra.
Barra terus memainkan dan mengulum bibir Kirana. Ia lalu menarik tubuh Kirana ke dadanya. Membuat tubuh keduanya menempel tanpa jarak. Tangannya menahan tengkuk Kirana untuk memperdalam ciumannya. Ciuman yang awalnya manis dan lembut menjadi semakin menuntut.
Bahkan, lidah Barra sudah di dalam mulut Kirana. Mencari lidah milik Kirana. Membelit setelah berhasil menemukannya. Saat ini, Barra betul-betul sedang melahap bibir istrinya.
Kirana memukul pelan dada Barra. Ia sudah kehabisan nafas.
Barra melepaskan bibir yang memerah dan membengkak itu. Ia beralih mencium pipi, turun menuju rahang dan berputar di sekitar telinga Kirana. Memberikan sentuhan basah di sana.
"Sssh... Mas," Kirana mendongkakkan kepalanya. Memberikan akses luas pada Barra untuk menjelajahi lehernya.
"Iya, Kira... Panggil namaku," pinta Barra berbisik. Ia semakin bersemangat bermain di leher istrinya. Melumat, menghisap, menggigit kecil. Tanda-tanda merah sebagai cap kepemilikan mulai memenuhi leher putih Kirana.
"Mmmhhh, Mas Barra," panggil Kirana. Desahannya semakin keras seiring dengan jemari Barra yang sudah bermain di dadanya.
Tak berapa lama, bibir dan mulut Barra sudah berada di dada Kirana. Sementara, jemari Barra sedang menyelusup ke dalam gaun Kirana.
Tubuh Kirana bergetar. Ribuan kupu-kupu bukan hanya mendesak tapi sudah meledak keluar dari tubuhnya. Lututnya mendadak lemas. Tidak kuat menopang tubuhnya sendiri.
Hap... Barra menggedong Kirana. Membawanya ke atas tempat tidur. "Bersiap Sayang, aku baru saja mulai," ucap Barra dengan nada mengancam.
kayanya dulu bara cinta sendiri gak sih? kayanyaaa