NovelToon NovelToon
Om Duda Genit

Om Duda Genit

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Aurora Lune

Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.

Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Om Genit dan Bocah Detektif

Tangannya masih menggenggam plastik berisi kacang hijau pemberian Nayla. Tatapannya sesekali jatuh ke plastik itu, lalu ia menghela napas kecil, namun bibirnya kembali melengkung. Lucu. Itu kata pertama yang muncul di benaknya setiap kali mengingat ekspresi Nayla tadi mendengus, manyun, ngomel panjang lebar, tapi tetap saja nurut dan akhirnya memberikan apa yang dia minta.

"Cewek itu..." gumam Arga pelan, kepalanya sedikit menggeleng. "Bawelnya keterlaluan, tapi justru bikin suasana jadi tidak ngebosenin."

Begitu ia melewati pagar rumahnya, senyum itu masih belum hilang. Ia bahkan sempat tertawa kecil sendiri, hal yang jarang terjadi pada dirinya. Kalau biasanya wajahnya selalu datar, cool, dan bikin orang segan, malam itu auranya lebih ringan.

Sesampainya di rumah, Arga langsung melangkah ke ruang keluarga. Begitu melihat Raka yang duduk di lantai dengan buku tugasnya terbuka lebar, ekspresi Arga otomatis melunak.

"Papa udah dapet kacang hijaunya," ucap Arga tenang sambil mengangkat plastik kecil itu.

Raka yang tadinya cemberut langsung sumringah. "Waaah, cepet banget Papa dapetnya!" serunya senang, tangannya cepat-cepat meraih plastik itu.

Arga duduk di samping anak semata wayangnya itu, menepuk pelan kepala Raka. "Kan Papa udah janji, pasti Papa usahain buat kamu."

Namun, Raka tiba-tiba memicingkan matanya, ekspresinya berubah curiga. Ia menatap papanya dengan penuh selidik. "Ehh... jangan-jangan... Papa dapetnya dari kakak sebelah itu, ya?"

Arga yang biasanya cool hanya tersenyum tipis, tidak langsung menjawab. "Kenapa nanyanya gitu?"

"Ya soalnya... Papa nggak mungkin secepet itu dapet kacang hijau kalau beli di luar. Toko depan aja udah tutup, Papa kan tau. Jadi pasti Papa minta sama kakak itu!" Raka berkata mantap, logikanya jalan untuk anak seusianya.

Arga mendengus kecil sambil menghela napas. "Anak kecil kok pinter banget sih mikirnya," gumamnya, pura-pura tidak mau mengakui.

aka menatap papanya sambil menyilangkan tangan di dada, ekspresi wajahnya penuh kecurigaan. "Pasti Papa genit juga kan sama Kakak itu?" tuduhnya dengan nada sok serius.

Arga yang baru saja menuangkan kacang hijau ke wadah hampir saja tersedak oleh pertanyaan anaknya sendiri. "Hah? Apa-apaan sih kamu ngomong gitu?" ucap Arga cepat, berusaha tetap cool padahal telinganya agak memerah.

Raka nyengir lebar, matanya berbinar nakal. "Iyaaa... aku tau, Pa. Papa tuh kalo sama orang lain cool banget, cuek, kayak es batu. Tapi kalo sama Kakak itu... Papa senyum-senyum sendiri. Itu tandanya genit!"

Arga memandang anaknya tajam, berusaha menutupi wajahnya yang nyaris pecah karena senyum. "Kamu belajar dari mana sih kata-kata kayak gitu?"

Raka santai saja sambil memegang dagunya, ala-ala detektif kecil. "Raka kan cerdas, Papa. Aku bisa liat kok. Papa beda banget kalo ngomongin Kakak itu. Nih, sekarang aja Papa udah senyum lagi."

Arga buru-buru menghapus senyumnya dengan batuk kecil. "Papa nggak genit. Papa cuma... ramah."

Raka langsung ngakak, tepuk tangan. "Ramah katanya! Itu mah bahasa halus dari genit, Pa."

Arga akhirnya mendesah panjang, menatap anaknya sambil mengacak rambutnya gemas. "Aduh, punya anak pinter tuh kadang nyebelin juga ya."

Raka langsung tertawa puas. "Hehe, ketahuan deh Papa! Jangan khawatir, rahasia Papa aman kok sama Raka... asal Papa beliin aku es krim besok."

Arga terdiam, lalu melotot pura-pura serius. "Kamu ini pinter apa licik sih, hah?"

Raka malah cengar-cengir, jelas banget dia berhasil menggoda papanya kali ini.

Sementara itu, di kamar kontrakannya, Nayla sudah berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang. Langkahnya mondar-mandir dari ujung kasur ke pintu, wajahnya manyun tapi juga penuh ekspresi kesal campur geli.

"Sumpah, tuh orang ada-ada aja gebrakannya!" ocehnya sendiri. "Kemarin minta garam, sekarang minta kacang hijau. Lah, besok apalagi? Jangan-jangan minta minyak goreng, gula, bahkan mungkin lemari gue juga!"

Nayla menghela napas panjang, tapi bukannya tenang malah tambah bawel. "Mana kacang hijaunya tuh rencana mau gue masak jadi bubur. Udah kebayang enaknya bubur kacang hijau panas-panas malem-malem gini. Eh, gara-gara si Om Genit itu, gagal deh rencana gue."

Ia berhenti sebentar, lalu menepuk jidatnya sendiri. "Astaga Nayla, lama-lama dia bakal merampas harta benda lo juga, sumpah! Kayak karakter antagonis di sinetron dateng bawa senyum, pulang bawa isi dapur orang."

Nayla lalu duduk di tepi kasur, mengangkat bantal dan memeluknya erat. "Ya Allah, ini tetangga apa maling bertopeng manis?!" ucapnya dramatis sambil memonyongkan bibir.

Sesaat kemudian, ia menirukan gaya Arga dengan suara sok cool. "Besok makan bareng aja sebagai gantinya..." Nayla langsung melotot sendiri. "Ihh! Gila! Apaan sih tuh orang? Pikir gue gampang di gombalin? No way, Om!"

Tapi entah kenapa, semakin ia ngomel, pipinya malah ikut memanas. Ia buru-buru menutup wajah dengan bantal. "Ya ampun, Nayla! Jangan sampe lo kebawa mimpi sama Om sebelah itu, bisa kacau hidup lo!"

Kemudian Nayla merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan gaya asal, tangan terentang, rambut masih acak-acakan karena belum sempat dirapikan. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil menghela napas panjang.

"Sumpah ya, hari ini tuh bener-bener menguras tenaga gue!" keluhnya sambil menendang-nendang bantal. "Tadi kelakuan absurd gue sendiri, terus sekarang naik darah gara-gara si Om tetangga genit itu. Kayak ada aja kelakuannya bikin gue stres tingkat dewa."

Ia lalu berguling ke kanan, terus ke kiri, seperti ulat kepanasan. "Astaga, Nayla... kalo tiap hari begini, lo bisa cepet tua sebelum waktunya. Mana muka lo harus tetep kinclong kalo tiba-tiba ada audisi KDI beneran kan? Masa iya Soimah udah siap muji, eh lo dateng bawa muka penuh kerutan gara-gara tetangga."

Tiba-tiba wajah Nayla berubah jadi senyum-senyum sendiri. "Tapi kalo sama Kak Revan... hmm, beda cerita." Nada suaranya mendadak manja. "Bawaannya tuh seneng mulu, adem, kayak dunia berhenti berisik gitu. Pokoknya vibes-nya bukan bikin darah naik, tapi bikin jantung deg-degan. Uhh, jadi pengen peluk! Hihihi..."

Ia langsung menutup wajah dengan bantal, ketawa sendiri kayak orang jatuh cinta. "Ya Allah, Nayla... jangan halu!" ucapnya sambil menendang kasur sampai bantal terjatuh ke lantai.

Tapi bukannya berhenti, Nayla malah lanjut berguling lagi. "Coba bayangin kalo gue lagi sedih terus Kak Revan tiba-tiba dateng, terus bilang, 'Jangan nangis, Nay, ada aku kok...'" Ia langsung menjerit kecil dan menendang-nendang kasurnya lagi. "Ihh! Bener-bener bikin melting!"

*****

Arga dan Raka duduk berdampingan di ruang keluarga dengan meja besar di depan mereka. Lampu ruang itu terasa hangat, menambah suasana serius tapi juga menyenangkan. Di atas meja, sudah ada selembar kertas karton putih, lem kertas, dan semangkuk kacang hijau yang baru saja mereka dapatkan.

"Oke, kita mulai ya." ucap Arga dengan suara tenang, tapi matanya fokus penuh ke karton. Ia mengambil sejumput kacang hijau dengan hati-hati, lalu menaruhnya satu persatu mengikuti garis gambar mobil yang sudah mereka buat dengan pensil sebelumnya.

Raka, dengan wajah serius tapi penuh semangat, ikut menempelkan. "Papa, hati-hati loh, kalau nempel kebanyakan lem nanti kacang hijaunya belepotan."

Arga melirik anaknya dan tersenyum tipis. "Iya, bos kecil. Papa kan nggak mau kalah teliti sama kamu." ucapnya sambil sengaja menambahkan nada cool yang khas.

Raka nyengir. "Papa tuh, cool banget gaya ngomongnya. Tapi aslinya detail juga kan?"

Arga hanya terkekeh, lalu kembali menempelkan kacang hijau. Tangannya besar tapi telaten, setiap biji ditaruh satu per satu dengan rapi. Raka ikut memencet botol lem kecilnya, menekan perlahan agar nggak keluar kebanyakan.

"Lihat, Pa. Bagian rodanya udah hampir jadi!" seru Raka penuh semangat. "Kalau kita kasih kacang hijaunya agak tebel di sini, pasti keliatan kayak roda beneran."

Arga mengangguk sambil melirik hasil karya anaknya. "Pintar banget sih kamu. Kayak ada darah seniman ya di tubuhmu."

"Ya iyalah, kan Raka anak Papa." jawabnya dengan bangga, lalu keduanya tertawa bersama.

Sesekali kacang hijau terjatuh dan berceceran di meja. Raka buru-buru memungutnya, "Eh, jangan sampe hilang, Pa. Kacang hijaunya terbatas."

Arga menatap anaknya dengan senyum lembut. "Iya, bener. Setiap butirnya berharga. Sama kayak waktu kita bareng-bareng gini, Raka. Papa nggak mau ada yang terlewat."

Raka tersenyum kecil mendengar itu, matanya berbinar. "Papa... keren banget sih kalau ngomong."

Arga hanya mengangkat bahu dengan gaya cool-nya, lalu kembali menempelkan kacang hijau. "Yasudah, ayo kita lanjut. Mobil kita harus jadi malam ini. Jangan sampe besok kamu bawa setengah mobil ke sekolah."

"Siap, Pa!" jawab Raka dengan penuh semangat.

Dan mereka pun kembali sibuk, ayah dan anak itu, menyusun kacang hijau satu per satu dengan penuh kesabaran, seolah-olah sedang membangun sesuatu yang lebih dari sekadar tugas sekolah tapi juga kenangan indah di antara mereka.

Beberapa menit berlalu, kertas karton itu mulai penuh dengan kacang hijau yang tertempel rapi. Bentuk mobil perlahan-lahan terlihat jelas. Raka sesekali menggigit bibirnya, fokus luar biasa, sementara Arga tetap cool dengan gaya santainya tapi teliti.

"Pa, coba liat deh. Bagian kaca mobilnya udah jadi!" seru Raka sambil menunjuk ke bagian atas karton.

Arga mencondongkan badan, mengamati dengan seksama, lalu mengangguk. "Hmm... keren juga ya. Kalau gini sih kayak mobil beneran. Kamu berbakat banget."

Raka tersipu, lalu pura-pura batuk kecil. "Ehem... iyalah, kan aku anaknya Papa."

Arga tersenyum tipis.

Tak lama kemudian, mereka menempelkan kacang hijau terakhir di bagian roda belakang. Raka menepuk tangannya pelan sambil berseru, "YES! Jadi juga!"

Mobil dari kacang hijau itu tampak lucu dan unik. Meski sederhana, tapi ada kesan rapi dan penuh detail. Raka menatap hasil karyanya dengan mata berbinar. "Papa, ini pasti bakal jadi yang paling bagus di kelas. Aku yakin bu guru bakal muji Raka."

Arga menatap anaknya, lalu mengacak rambut Raka dengan lembut. "Iya, Papa juga yakin. Soalnya Papa punya anak yang pintar, cerdas, dan telaten."

Raka tersenyum malu-malu, lalu tiba-tiba memeluk Arga erat. "Makasih ya, Pa. Kalau nggak ada Papa, Raka nggak bisa bikin kayak gini. Papa tuh... Papa paling keren sedunia."

Arga sedikit tertegun, lalu menepuk pelan punggung anaknya. Sudut bibirnya terangkat, dingin dan cool seperti biasa, tapi jelas ada rasa hangat yang tak bisa disembunyikan. "Heh, dasar bocah. Papa kan emang keren dari lahir."

Raka langsung tergelak. "Iya deh iya, Papa emang cool banget. Tapi tetep, bagi Raka... Papa juga sahabat terbaik."

Arga hanya menatap anaknya dengan lembut. Dalam hati, ia bersyukur meski hidupnya rumit, ada satu hal yang membuat semuanya berarti yaitu Raka.

1
Lembayung Senja
ceritanya mulai seru... semangat buat novelnya.....😍
Jen Nina
Jangan berhenti menulis!
Yusuf Muman
Ini salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap! 👌
Yuri/Yuriko
Bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!