Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 28
“Terima kasih, Tante,” ucap Alea lirih, berusaha menahan air matanya.
Tante Mira menatap wajah Alea yang terlihat lelah. “Ah, kamu ini… Ini rumahmu juga, Nak. Sekarang masuk dulu,”
Alea hanya mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya untuk pertama kali setelah sekian lama. Ia mengikuti Tante Mira masuk ke rumah, merasakan suasana hangat yang kontras dengan rumah besar tempat ia tinggalkan di kota. Di ruang tamu sederhana dengan bau kayu yang khas, Alea merasa… mungkin inilah tempat ia bisa benar-benar bernapas lagi.
***
Begitu Alea melangkah masuk, Tante Mira langsung menepuk-nepuk lengannya lembut.
“Duduk sini, Nak. Kamu pasti capek,” ucapnya sambil menunjuk kursi rotan di ruang tamu.
Alea menurut. Kursi itu sederhana, tapi terasa nyaman. Tak lama kemudian, Tante Mira kembali dari dapur membawa segelas teh hangat dan sepiring kecil pisang goreng yang masih mengepul.
“Minum dulu. Perutmu pasti kosong dari tadi, ya?”
Alea memandang teh di tangannya, lalu Tante Mira. Ada kehangatan di tatapan wanita paruh baya itu—hangat seperti pelukan yang lama ia rindukan.
“Terima kasih, Tante,” suaranya nyaris bergetar.
Tante Mira tersenyum, duduk di hadapannya. “Kamu ini seperti anakku sendiri, Alea. Di sini nggak usah sungkan, ya. Anggap rumah ini rumahmu.”
Alea mengangguk pelan. Ada sesuatu di dadanya yang terasa mencair. Setelah sekian lama menahan semua sendiri, rasanya pelukan tanpa kata dari rumah kecil ini benar-benar menyentuh hatinya.
Dari arah luar, terdengar suara motor berhenti. Paman Budi, suami Tante Mira, muncul dengan senyum lebar.
“Lho, ini yang dari kota, ya? Wah, tambah cantik saja.”
Alea tersenyum kecil, dan untuk pertama kalinya, tawanya terdengar—tipis, tapi tulus.
Begitu Paman Budi duduk di kursi rotan sebelah Tante Mira, suasana ruang tamu terasa semakin hangat.
“Jadi, Alea,” ucap Paman Budi sambil menuang teh untuk dirinya sendiri, “kira-kira, kamu betah nggak di desa? Jangan-jangan nanti kaget lihat sawah sama kebo,” godanya dengan senyum lebar.
Alea menahan tawa kecil. “Kayaknya seru, Paman. Di kota nggak ada pemandangan kayak gitu.”
“Wah, kalau begitu besok ikut Paman, ya,” sambungnya sambil mengedip nakal. “Biar Alea bisa sekalian belajar lempar lumpur, siapa tahu jadi atlet lomba balap kerbau!”
Tante Mira langsung tertawa, menepuk lengan suaminya. “Ih, Mas ini… suka ngarang-ngarang saja. Alea jangan dipercaya semua omongannya.”
Alea ikut tertawa, perasaan tegang dan letih yang sejak tadi menumpuk perlahan mulai luruh. Mereka kemudian mengobrol ringan—tentang kehidupan di desa, tentang makanan favorit Alea, sampai cerita-cerita lucu Paman Budi waktu muda.
Di sela tawa itu, Alea melihat ada sesuatu di mata Tante Mira setiap kali suaminya bercerita, semacam kehangatan yang tenang tapi juga… kesepian yang samar.
Benar saja, setelah candaan mereda, Tante Mira menarik napas pelan. “Kamu tahu, Le,” panggilannya untuk Alea, “Tante sama Pamanmu ini belum dikasih rezeki anak sampai sekarang. Sudah lama sekali.” Suaranya lembut, tapi tidak getir.
Paman Budi menimpali sambil tersenyum pasrah, “Iya, kadang kangen juga rumah ada suara bocah. Tapi ya mungkin rezeki kami memang di lain tempat. Jadi setiap ada ponakan datang, rasanya rumah jadi rame, ada semangat lagi.”
Tante Mira memandang Alea penuh arti. “Makanya kamu jangan sungkan. Anggap saja kami orangtuamu sendiri, ya. Rumah ini kosong tanpa tawa.”
Alea terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis. Di dadanya, rasa hangat bercampur haru menyelinap pelan-pelan, seolah desa ini, rumah ini, dan dua orang sederhana di hadapannya mulai mengisi kekosongan yang selama ini ia bawa.
---
Di Surabaya, langit tampak sedikit mendung. Di hotel mewah lantai dua belas, Faizan berdiri di depan kaca besar, merapikan dasinya dengan gerakan cepat dan presisi. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya tetap tajam, seperti biasa.
Di sofa, Arka—asisten pribadinya—sudah menunggu dengan tablet di tangan, siap menerima perintah.
“Arka,” suara Faizan dalam tapi tegas, “hari ini aku ada meeting dari pagi sampai malam. Sementara Nayla...,” ia terdiam sejenak, napasnya terdengar berat, “... butuh seseorang yang bisa mengurusnya di sini. Cari suster yang profesional. Aku nggak mau ada masalah.”
Arka mengangguk cepat. “Baik, Pak. Saya akan segera menghubungi beberapa agency dan memastikan suster yang datang punya pengalaman.”
Faizan menatap jam tangannya sekilas lalu mengambil jas hitam di gantungan. “Pastikan sore ini sudah ada orangnya di sini. Nayla tidak boleh sendirian,” ucapnya lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Arka memperhatikan sekilas ekspresi bosnya itu. Bagi orang lain, Faizan mungkin tampak dingin, tapi Arka tahu di balik sikapnya yang keras, ada rasa bersalah yang tidak pernah benar-benar diucapkan.
“Baik, Pak,” sahut Arka lagi. “Saya akan urus secepatnya.”
Faizan mengambil tas kerjanya, lalu melangkah keluar apartemen tanpa banyak bicara. Seolah seluruh emosinya ia simpan rapat-rapat, hanya menyisakan kesibukan sebagai tameng untuk semua rasa yang belum selesai.
Setelah Faizan pergi, kamar hotel itu terasa tenang. Arka melirik sekilas ke arah Nayla yang duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater tipis.
“Gimana, Nayla? Kakimu masih sakit?” tanya Arka sambil menarik kursi ke dekat ranjang.
Nayla menggeleng pelan. “Udah mendingan, Kak. Cuma agak ngilu aja.”
Arka mengangguk. “Suster sebentar lagi datang. Sementara itu, kita pesan makan siang, ya. Kamu harus makan supaya cepat pulih.”
Nayla tersenyum tipis. “Iya, Kak.”
Tak lama kemudian, Arka memesan sup hangat dan jus buah lewat layanan hotel. Sambil menunggu, mereka mengobrol santai.
“Aku nggak nyangka, aku bisa tinggal di sini dengan Pak Faizan,” gumam Nayla sambil memainkan ujung sweaternya.
Arka melirik sekilas ke arah Nayla, nada suaranya dibuat ringan. “Kenapa? Nggak nyangka karena Pak Faizan itu orangnya kaku banget, ya?”
Nayla terkekeh kecil, suaranya terdengar pelan. “Iya… awalnya kupikir bakal dingin terus. Tapi ternyata… dia peduli juga, ya.”
Arka tersenyum samar. “Pak Faizan memang nggak banyak ngomong, tapi kalau soal tanggung jawab, dia orang yang nggak main-main.”
Nayla mengangguk, wajahnya sedikit melunak. “Aku jadi ngerasa… aman aja. Walaupun kadang suasananya kaku.”
“Biasa, laki-laki kerjaan. Dunia mereka terlalu penuh target sama angka. Jarang bisa santai,” Arka menimpali, kali ini dengan nada bercanda. “Makanya ada aku di sini, biar suasana nggak tegang-tegang amat.”
Nayla terkekeh lagi, kali ini lebih lepas. “Iya sih, Kak Arka lumayan bikin rame.”
Tak lama kemudian, makanan datang. Arka menata mangkuk sup di meja kecil dekat ranjang. Uap hangatnya memenuhi kamar, membawa aroma yang menenangkan.
“Yuk, makan dulu. Biar badan cepat enakan,” ucap Arka sambil menyendokkan sup ke mangkuk kecil untuk Nayla.
Nayla menerima dengan senyum tipis, lalu perlahan menyuap sup itu. “Enak,” gumamnya singkat, tapi wajahnya jelas menunjukkan sup itu membuat tubuhnya terasa hangat lagi.
Arka ikut makan, keduanya mengobrol ringan tentang kuliah, tentang kota Surabaya, bahkan tentang cita-cita Nayla yang ternyata ingin membuka usaha kecil-kecilan suatu hari nanti.
Di tengah percakapan itu, Nayla sempat terdiam sejenak, menatap jendela besar kamar hotel yang menampilkan pemandangan kota. “Aku nggak tahu kenapa… rasanya kayak semua hal baru datang sekaligus. Kuliah, pindah kota, sekarang tinggal sementara di sini…”
Arka menatapnya, ekspresinya melembut. “Mungkin ini cara hidup ngajarin kamu banyak hal dalam waktu cepat, Nayla. Kadang memang begitu caranya.”
Nayla mengangguk pelan, seperti merenungkan kata-kata itu.
...----------------...
Bersambung....