NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:745
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab- 28 Di Bawah Permukaan

Air danau berkilau di bawah cahaya bintang, tapi semakin dalam, permukaannya berguncang. Gelombang kecil menyebar dari tempat Revan menyelam.

“Revan sudah terlalu lama di dalam…” Mauryn berdiri di tepi, tubuhnya kaku.

“Aku bilang dari awal ini ide gila! Siapa manusia waras yang berenang malam-malam, di danau yang bahkan tidak ada di peta?!” Ardan mondar-mandir gelisah.

“Diam, Ardan! Dia butuh kita waspada, bukan panik.” Mauryn menoleh cepat, matanya berkilat.

“Aku tidak panik. Aku realistis. Realistis itu penting, tahu?” Ardan menelan ludah, lalu duduk di batu.

Mauryn tidak mendengar. Matanya terpaku ke permukaan air. Detik terasa panjang, jantungnya berdetak keras.

Tiba-tiba gelembung besar muncul.

“Revan?” Mauryn memanggil, suaranya bergetar.

Namun yang muncul bukan Revan. Bayangan hitam bergerak cepat di bawah air, besar, berputar mengitari permukaan.

Ardan berdiri terburu-buru, hampir tersandung.

“Oke, itu bukan ikan biasa. Sama sekali bukan!”

Mauryn sudah melepaskan mantel tipis dari tubuhnya.

“Aku masuk.”

“Kamu gila? Kalau satu orang sudah hilang, kenapa kita tambah satu lagi?” Ardan melotot.

“Aku tidak bisa hanya diam!” Mauryn menatapnya, suaranya pecah.

“Aku harus membantunya!”

Ardan terdiam, melihat kesungguhan itu. Ia menggaruk rambutnya frustasi.

“Astaga… kenapa aku selalu ikut hal-hal bodoh begini…”

Sebelum Mauryn melompat, tangan Ardan menahan lengannya.

“Tunggu.”

“Apa lagi?” Mauryn menoleh tajam.

“Kita masuk sama-sama. Kalau aku mati, setidaknya aku tidak mati kedinginan sendirian di sini.” Ardan menarik napas dalam.

Mauryn terpaku sejenak, lalu tersenyum tipis.

“Kamu tidak akan mati, Ardan.”

“Ya, ya… katakan itu lagi nanti kalau aku sudah jadi makanan monster air.”

Mereka berdua melompat hampir bersamaan. Air dingin menusuk tulang, membuat tubuh kaku sejenak. Mauryn menahan napas, matanya terbuka lebar meski perih.

Gelap. Hanya cahaya samar dari bintang di atas yang masuk, memantul aneh di bawah permukaan.

Mauryn melihat bayangan Revan, sedang berenang ke arah rongga di bawah tebing. Tapi sesuatu besar bergerak di dekatnya seperti ular raksasa atau akar hidup.

Mauryn ingin berteriak, tapi air menelan suaranya. Ia berenang cepat ke arah Revan.

Ardan di belakang, berenang dengan gaya kacau. Buih keluar dari mulutnya setiap kali ia hampir panik.

“(Astaga… aku menyesal, aku menyesal… )”gumamnya, meski tak ada yang bisa mendengar.

Revan melihat mereka datang. Ia memberi isyarat dengan tangannya menyuruh mereka menjauh. Tapi Mauryn keras kepala, ia malah mendekat lebih dekat.

Lalu, bayangan besar itu muncul.

Seekor makhluk air, tubuhnya panjang berkilat seperti belut raksasa, melilit di sekitar batu besar. Matanya merah redup, berkilau dalam gelap.

Mauryn membeku. Jantungnya hampir berhenti.

Revan menarik pisau dari pinggangnya. Ia bergerak cepat, mencoba mengalihkan perhatian makhluk itu dari Mauryn.

Makhluk itu menyerang, tubuhnya berputar cepat, menciptakan pusaran kecil. Mauryn terseret ke samping, hampir terbentur batu.

Ardan, dengan panik setengah mati, meraih lengannya dan menariknya menjauh. Dalam hati ia menjerit.

“Kenapa aku tidak kabur saja?”

Di tengah pusaran itu, Revan bergerak seperti bayangan. Pisau di tangannya menusuk sisik makhluk itu. Cairan gelap mengalir keluar, melayang seperti tinta dalam air.

Makhluk itu menggeliat marah, ekornya menyapu keras. Revan terlempar, menabrak dinding batu.

“Revan!” Mauryn menjerit dalam hati, meski hanya keluar sebagai gelembung.

Ia berenang cepat, memegang bahunya.

Revan mengerang, tapi matanya tetap fokus. Ia menunjuk ke bawah, ke celah batu tempat pantulan bintang mengarah.

Mauryn mengangguk meski takut. Ia tahu maksudnya: jalan itu penting.

Ardan mendekat, wajahnya pucat. Ia menunjuk ke arah atas, lalu ke Revan.

“Kita harus naik! Kamu terluka!”

Revan menggeleng keras. Tangannya menekan bahu Mauryn. Ia menatap matanya, seolah berkata: Kau harus teruskan.

Mauryn terisak dalam hati. Air dingin menyamarkan air matanya. Ia mengangguk, lalu menoleh ke Ardan.

Ardan menatap balik, napasnya hampir habis.

“Kamu tidak serius…” bibirnya membentuk kata itu meski tak ada suara.

Mauryn menatapnya dengan tegas. Kita harus lanjut.

Ardan menutup mata sejenak, lalu menggeram dalam hati. Baiklah. Kalau mati, mati sekalian.

Mereka bertiga berenang ke celah batu. Makhluk itu berputar lagi, tapi Revan meluncur ke samping, mengalihkan perhatiannya dengan gerakan cepat.

Mauryn dan Ardan berhasil menyusup ke celah. Airnya makin gelap, tapi ada cahaya samar di dalam, berkilau seperti perak.

Mauryn terpesona. Itu dia… cahaya bintang di air.

Ardan menepuk lengannya, menunjuk ke arah gelembung mereka sendiri.

“(Kita tidak punya waktu lama!)”

Mauryn menggenggam tangannya erat. Sebentar lagi.

Celah itu semakin sempit. Mereka harus menekuk tubuh, berdesakan melewati bebatuan. Ardan hampir tersangkut, dan panik menendang ke segala arah.

Mauryn menariknya, membantu melewatinya.

Akhirnya mereka keluar ke sebuah rongga berisi udara.

Mauryn terengah-engah, menepuk dadanya keras-keras saat kepalanya keluar dari air.

“Hah… hah…”

Ardan muncul tak jauh darinya, batuk keras.

“Aku… sumpah… ini terakhir kalinya aku nyemplung ke air gelap…”

Mauryn memandang sekeliling. Rongga itu seperti gua kecil dengan kubah batu, diterangi cahaya biru samar yang entah dari mana.

Dan di tengah genangan air dangkal, sesuatu berkilau.

Sebuah batu kristal, memantulkan cahaya bintang meski mereka berada di bawah tanah.

Mauryn tertegun, air matanya bercampur air danau.

“Ini… yang ayah maksud…”

Ardan, masih terengah, menggeleng tak percaya.

“Kalau itu bukan sihir, aku tidak tahu lagi apa.”

Mauryn mendekati batu itu, tangannya bergetar. Ia tahu liontin itu mungkin ada di balik cahaya kristal itu.

Namun sebelum ia menyentuhnya, suara keras bergema dari lorong air di belakang mereka.

Revan muncul, terengah, tubuhnya basah kuyup, pisau masih tergenggam. Luka di bahunya berdarah samar.

Matanya menatap tajam ke arah mereka, lalu ke batu bercahaya.

Dengan suara serak, ia berkata,

“Kita tidak sendirian di sini.”

Bersambung…

Halo semua terimakasih sudah menantikan kelanjutan cerita ini..

Jangan lupa like, komen dan vote yang banyak yah

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!