bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Nadia terdiam sejenak. Detik-detik berlalu seperti hujan yang jatuh perlahan tapi menyakitkan. Ia bisa merasakan semua pasang mata masih mengarah padanya, seolah menanti apakah ia akan tunduk... atau melawan.
Namun kali ini, Nadia tidak menunduk.
Ia berdiri perlahan dari bangkunya, dengan kepala tegak dan suara yang lebih mantap dari sebelumnya.
“Baik, Pak. Kalau itu yang Bapak inginkan,” ucapnya pelan namun jelas.
Jonathan menatapnya lekat-lekat. Dadanya terasa sesak, tapi ia tetap diam. Ia tidak menarik ucapannya kembali. Tidak menghentikan Nadia. Dan itu... justru menyakitkan lebih dalam bagi keduanya.
Dengan langkah yang terkontrol, Nadia melangkah keluar kelas. Setiap hentakan kakinya seakan berkata. Aku tak akan lagi menunduk pada orang yang tak tahu cara menghargai.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, Jonathan terdiam beberapa detik. Suasana kelas kembali hening, namun berbeda. kaku dan penuh tanda tanya.
Seorang mahasiswa yang duduk di baris tengah mencoba mencairkan suasana dengan bertanya,
“Pak, jadi poin berikutnya dari materi tadi...?”
Jonathan tersentak dari lamunannya.
“Ya. Maaf,” katanya singkat. Ia membalikkan badan, menulis di papan tulis sambil menarik napas dalam. Tapi pikirannya masih tertinggal di pintu yang tadi ditutup Nadia. Di mata datarnya. Di luka yang tak sempat ia obati. karena egonya.
...
Di luar ruangan, Nadia berjalan cepat menyusuri koridor. Bukan karena malu, bukan karena takut. Tapi karena dadanya begitu penuh. Marah, kecewa, dan sedih bertumpuk jadi satu. Ia tidak menangis. Tidak kali ini. Ia sudah cukup menangis untuk seseorang yang bahkan tak berani melindunginya.
Namun langkahnya terhenti saat suara lembut memanggil namanya.
“ Nadia?”
Ia menoleh dan melihat Kevin berdiri di sudut lorong, membawa dua botol minuman dingin di tangannya.
“Kenapa keluar kelas? Kau baik-baik saja?”
Nadia mengangguk cepat. Tapi Kevin tahu, itu bukan anggukan jujur. Wajahnya memucat, matanya masih menyisakan kemarahan yang tertahan.
Kevin berjalan mendekat dan menyerahkan satu botol padanya.
“Ambil ini dulu. Kamu butuh sesuatu yang dingin, biar tenang,” katanya pelan.
Nadia menerima tanpa bicara. Namun senyum tipis muncul di wajahnya. senyum terima kasih yang tulus.
“Aku tahu kakak ku kadang... terlalu keras. Tapi kamu nggak sendirian. Kalau kamu butuh teman bicara atau sekadar diam bareng, aku ada,” ucap Kevin.
Nadia memandangi wajah Kevin. Ada ketulusan di sana. Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia merasa dilihat... bukan dihakimi.
“Terima kasih, Kak Kevin.”
Kevin tersenyum hangat. Tapi di dalam hatinya, ada tekad yang menguat. Aku akan selalu ada untukmu, Nadia. Meski harus melawan kakakku sendiri.
...
Suara bel tanda berakhirnya kelas bergema di seluruh lantai fakultas. Mahasiswa satu per satu beranjak dari kursinya, mengemasi buku dan laptop mereka, lalu keluar ruangan. Namun Jonathan tetap berdiri di depan kelas, punggungnya menghadap ke bangku-bangku kosong, matanya masih terpaku pada papan tulis yang sejak tadi tak lagi ia lihat dengan jelas.
Pikirannya kacau. Kata-kata yang ia lontarkan ke Nadia kembali menggema di kepalanya.
“Kalau kamu memang tidak sanggup mengikuti pelajaran saya secara objektif, kamu bisa keluar kelas.”
Dan ia benar-benar melakukannya.
Ia tidak pernah menyangka Nadia akan benar-benar pergi. Ia pikir Nadia akan tetap duduk diam, seperti biasanya. Menyimpan sakitnya. Menelan amarahnya. Tapi kini… gadis itu berubah. Lebih kuat. Lebih berani.
Dan itu menyakitkan.
Dengan langkah cepat, Jonathan membereskan barang-barangnya. Ia bahkan meninggalkan beberapa catatan penting di meja. Hatinya seperti ditarik paksa ke luar ruangan. Ia membuka pintu kelas dan segera menyusuri lorong, matanya mencari-cari sosok yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.
“Nadia…” gumamnya pelan.
Lorong itu kosong. Tangga menuju taman belakang pun sepi. Ia bergegas ke taman fakultas, tempat yang dulu sering menjadi tempat istirahat Nadia setiap habis kelas. Tapi hari ini… tak ada dia.
Jonathan mengusap wajahnya kasar. Dadanya sesak. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan lebih buruk lagi… ia sadar itu semua karena perbuatannya sendiri.
Ponselnya ia keluarkan. Ia membuka kontak, jarinya sempat ragu di atas nama “Nadia”. Ia ingin menelepon. Tapi ia tahu… mungkin Nadia tidak akan menjawab.
Tetap saja, ia menekan tombol call.
Nada sambung.
Satu… dua… tiga…
Tidak diangkat.
Jonathan memejamkan mata. Napasnya berat. Ia berjalan ke arah parkiran dengan langkah besar dan tak tentu arah. Tapi di tengah jalan, matanya menangkap sosok yang dikenalnya sedang duduk di kursi taman dekat gedung administrasi.
Kevin.
Dan di sebelahnya… Nadia.
Darah Jonathan seakan berhenti mengalir. Ia berdiri di kejauhan, menyaksikan Kevin tertawa kecil, mengatakan sesuatu pada Nadia yang kini terlihat lebih tenang. meski senyumnya masih belum benar-benar pulih.
Hatinya bergetar. Bukan hanya karena cemburu. Tapi karena ia sadar, adiknya sendiri mampu menawarkan kenyamanan yang tak bisa ia berikan. Ia, yang seharusnya jadi pelindung, malah melukai.
Ia ingin mendekat. Tapi kakinya tertahan. Suara-suara di dalam kepalanya lebih keras dari langkahnya sendiri.
“Apa yang bisa kau katakan sekarang?”
“Maaf karena memarahi istrimu di depan umum?”
“Maaf karena membiarkannya dihina dan kau hanya diam?”
Jonathan menunduk. Untuk pertama kalinya, ia merasa kalah. Tapi lebih dari itu… ia merasa malu.
Ia tak sanggup mendekat. Maka ia hanya berdiri di sana, menyaksikan dari jauh, seperti bayangan. Seperti seseorang yang tak lagi pantas berada di dunia gadis itu.
Dan dari jarak itu, ia berbisik pada dirinya sendiri, penuh sesal.
“Aku akan memperbaiki semuanya… meski kau tak percaya lagi padaku.”
Malam turun perlahan seperti kabut yang menggantung di udara. Rumah Nadia tampak sunyi, hanya diterangi cahaya lampu teras yang temaram. Sebuah mobil hitam terparkir diam di halaman. mobil milik Jonathan.
Di dalam rumah, Jonathan duduk sendiri di sofa ruang tamu. Matanya kosong, memandangi lantai yang tak menjawab apa pun. Sudah lebih dari dua jam ia menunggu. Tangannya mengepal di atas lutut, sesekali menggenggam ponselnya, namun tak kunjung berani menekan tombol panggil lagi. Ia hanya bisa berharap. Nadia akan pulang, dan ia bisa menjelaskan semuanya.
Tiba-tiba, suara motor terdengar dari kejauhan. Semakin lama, semakin dekat. Jonathan bangkit dari duduknya, melangkah ke jendela. Dari balik tirai, matanya menangkap sosok Kevin turun dari motor sport-nya.
Dan di belakangnya. Nadia.
Rambutnya tergerai, matanya sayu tapi tegar. Ia terlihat lelah, namun ada ketenangan yang aneh terpancar dari wajahnya. Begitu melihat mobil Jonathan di halaman, langkah Nadia sempat terhenti. Matanya memicing, namun hanya sejenak. Ia menghela napas pelan, lalu berjalan menuju pintu rumah tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
Kevin memperhatikannya dengan cemas dari luar.
“Nadia,” panggilnya lirih,
“kalau kamu butuh sesuatu, telepon aku, ya.”
Nadia hanya mengangguk sekilas sebelum mendorong pintu rumah.
Jonathan berdiri di tengah ruang tamu, tubuhnya tegang, seperti sedang menanti putusan. Ketika pintu terbuka, mata mereka bertemu. untuk sesaat.
Namun tatapan itu kosong.
Tak ada kata salam. Tak ada pertanyaan “kenapa kau datang?” atau bahkan,
“apa yang kau lakukan di sini?”. Tak ada marah, tak ada air mata. Hanya keheningan yang menyakitkan.
Nadia melewatinya begitu saja, seperti melewati orang asing.
“Na... Nadia, tunggu,” panggil Jonathan, suaranya parau. Ia melangkah pelan, mencoba mengikuti dari belakang.
Tapi gadis itu hanya mengangkat tangan, menghentikan langkahnya sendiri.
“Jangan ikuti aku.”
Jonathan terdiam. Jantungnya berdegup kencang.
“Aku hanya ingin bicara. Lima menit saja,” katanya memohon, mencoba menahan nada gemetar dari suaranya.
Nadia menoleh setengah, suaranya dingin. “Aku sudah cukup bicara hari ini. Bapak hanya mendengarkan ketika aku pergi. Bukan saat aku masih di sana.”
Setelah itu, ia melangkah menuju kamarnya dan. klik. pintu terkunci.
Jonathan berdiri kaku di depan pintu itu, menatapnya seperti sedang menatap dinding tebal yang tak bisa ditembus.
“Nadia...” bisiknya pelan.
“Aku tahu aku salah. Aku tahu aku melukai hatimu… bahkan tanpa menyadarinya.”
Tak ada jawaban.
Ia mendekatkan kepalanya ke pintu.
“Aku terlalu takut menghadapi semuanya. Aku pikir, kalau aku diam… masalahnya akan selesai. Tapi ternyata aku malah memperburuk semuanya.”
Hening. Suara detik jam terdengar dari ruang tamu, menjadi saksi percakapan satu arah itu.
Jonathan menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemuruh di dadanya.
“Aku tak minta kau langsung memaafkan aku. Aku cuma ingin kau tahu, aku menyesal. Dan aku ingin memperbaiki semuanya. Meskipun… kau tak percaya padaku lagi.”
Ia menunduk, menempelkan punggungnya ke dinding samping pintu, lalu perlahan turun duduk di lantai.
Dari balik pintu, Nadia berdiri membelakangi pegangan, mata terpejam. Matanya berkaca-kaca, namun air mata itu tak pernah jatuh. Ia mendengar semua yang Jonathan katakan. dan justru itu yang membuatnya makin sakit.
“Kenapa baru sekarang kau bicara...?” gumam Nadia pada dirinya sendiri.
Ia mendekap tubuhnya, memeluk dirinya sendiri di tengah dingin dan luka yang belum sembuh.
Sementara itu, di luar kamar, Jonathan masih menunggu. Duduk diam. Menanti pintu itu terbuka… meski ia tahu, mungkin tidak malam ini. Tapi ia akan tetap di sana.
Meski hanya sebagai bayangan yang menyesal.
mungkinn
jgn bodoh trlalu lm jo.... kekuasaan jga hrtamu slm ini tk mmpu mngendus jejak musuhmu yg trnyata org trsayangmu🙄🙄
klo nnti nadia bnyak uang.... bkalan balik lgi tuh wujud asli nadia....
krna sejatinya nadia dlunya cantik... hnya krna keadaan yg mmbuat dia tak mungkin merawat dirinya....
jdi kurang"i mncaci & merendhkn ibu dri ankmu....