Sulastri tak menyangka kalau dia akan jadi korban pemerkosaan oleh pria yang tak dia kenal, dia sampai hamil dan dihakimi oleh warga karena merasa kalau Sulastri merupakan wanita pembawa sial. Sulastri meninggal dunia dan menjadi kuntilanak.
Wanita yang menjadi kuntilanak itu datang kembali untuk membalas dendam kepada orang-orang yang dulu membunuhnya, dia juga terus gentayangan karena mencari siapa yang sudah merenggut kesuciannya.
Jangan lupa follow Mak Othor biar gak ketinggalan up-nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BD Bab 33
Dea menatap hampa sosok arwah Sulastri yang dulu selalu menjadi sahabat karibnya, seolah arwah itu tiba-tiba hidup kembali dari kubur. Mereka pernah berbagi tawa, tangis, dan rahasia terdalam ibarat saudara yang tak terpisahkan.
Namun, siapa sangka kalau wanita yang sudah tiada itu kini berdiri di hadapannya, memohon tolong dengan mata penuh luka dan harap. Jantung Dea berdegup tak karuan, seolah dunia runtuh dalam bisikan kelam yang tak pernah ia duga sebelumnya.
"Bantu apa?" tanya Dea sambil memandang arwah Sulastri dengan lekat.
"Aku ingin pulang, aku tidak mau terus gentayangan. Aku ingin dikuburkan dengan layak," jawab Arwah Sulastri.
Dea teringat akan kata salah satu warga kalau Sulastri meninggal karena dirajam dan dibunuh, dia meninggal dalam keadaan hamil. Mungkin itu yang menyebabkan arwah Sulastri gentayangan.
"Memangnya di mana kuburan kamu, Lastri?"
"Ayo ikut aku," ujar Sulastri.
Sulastri menuntun Dea untuk melangkahkan kakinya menuju gudang terbengkalai, Dea terus melangkah sampai kini berada di belakang gudang. Dia begitu heran karena melihat Sulastri melayang di atas gundukan tanah yang penuh dengan pohon melati.
Di samping gundukan tanah itu juga terlihat banyak pohon melati yang sedang berbunga, ketika dia menghirup udara, wangi melati itu tercium dan sangat menusuk hidungnya.
"Ini maksudnya apa?" tanya Dea.
"Saat warga membunuhku, tidak ada yang memperbolehkan aku dikubur di kampung ini. Nenek dengan susah payah menguburkan aku di sini, tetapi tentunya nenek hanya menguburkan aku secara asal. Aku ingin dikuburkan dengan layak, tolong aku, Dea."
"Ya Allah, tega sekali mereka. Aku akan pulang, aku akan minta ayah dan juga bunda untuk menguburkan jenazah kamu dengan layak."
"Terima kasih, sekarang pulanglah dan beritahukan kepada kedua orang tuamu tentang jasad aku yang dikuburkan di sini."
"Ya," jawab Dea.
Dea melangkah dengan hati yang bergelora, campuran harap dan cemas menyelinap dalam setiap langkah kakinya. Ia terbakar ingin segera mengungkapkan pada kedua orang tuanya di mana jenazah Sulastri dikuburkan. Sebuah rahasia yang begitu menyesakkan dada.
Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba saat matanya menangkap sosok Wandi yang melaju tergesa, dia menggenggam erat sebuah tali dalam tangan gemetar. Ke mana pria itu bergegas dengan cara begitu? Dea ingin mengabaikan, membiarkan dirinya tak terlibat, tapi sesuatu dalam dadanya berteriak bahwa ini bukan kebetulan. Napasnya tercekat, dan waktu seolah berhenti di ujung jalan itu, misteri dan bahaya menunggu, siap menghancurkan ketenangannya.
Entah kenapa tiba-tiba saja dia merasa ingin tahu dan seperti ada yang mendorong dirinya untuk bertanya kepada pria itu, rasa keingintahuan yang besar.
"Kang Wandi!" teriak Dea.
Awalnya Wandi yang mendengar namanya dipanggil terlihat begitu panik, dia menghentikan langkahnya tetapi langsung berubah gugup dan dahinya dipenuhi dengan keringat.
"Kang, ini Dea. Akang mau ke mana?"
Setelah mendengar nama Dea disebutkan, Wandi langsung menolehkan wajahnya ke arah suara, dia tersenyum karena benar-benar Dea yang berdiri di depan gudang terbengkalai. Kakinya juga terlihat menapak.
"Neng ngapain di sini?" tanya Wandi.
"Aku---"
Wusss!
"Argh!"
Dea langsung berteriak karena dia merasa ada yang menabrak tubuhnya dari belakang, Wandi yang mendengar teriakan Dea langsung menghampiri wanita itu karena takut kalau wanita itu kenapa kenapa.
"Neng Dea kenapa? Apa ada yang sakit? Kenapa Neng Dea berteriak-teriak?"
Dea sempat terdiam mendengar pertanyaan dari Wandi, dia malah menatap Wandi dengan lekat. Namun, tatapan wanita itu terlihat begitu dingin. Bahkan wajah wanita itu juga berubah menjadi pucat, Wandi menjadi khawatir dibuatnya.
"Ada apa, Neng? Jangan buat Akang khawatir," ujar Wandi.
"Itu, di dalam aku lihat ada kucing kejepit," ujar Dea bersuara lirih tapi menusuk.
Kata-kata yang keluar dari bibir wanita itu seperti pisau yang membuat hati bergemuruh. Matanya menatap tajam, membawa campuran takut dan ragu yang menyesakkan dada.
"Akang, kamu mau bantu, nggak?"
Suaranya wanita itu terdengar dingin, tapi di balik itu, tersembunyi terlihat senyuman yang begitu tipis tetapi mengerikan. Wandi tak sadar akan hal itu.
"Kucing kejepit?"
"Ya," jawab Dea sambil menunjuk ke arah dalam gudang.
Wandi menatap gudang yang gelap dan pengap, udara penuh aroma lumut dan bau busuk yang menusuk hidung. Tubuhnya mendadak bergidik, kenangan kelam tentang arwah Sulastri yang pernah menampakkan diri di sana menghantui pikirannya.
Rasa takut menyesakkan dadanya, seolah-olah bayangan itu masih mengintai dari balik kegelapan. Namun, ketika matanya bertemu dengan wajah Dea yang penuh permohonan, hatinya melembut. Meski darahnya berdesir ketakutan, ia menelan ludah dan ingin melangkah maju, menantang bayang-bayang gelap demi menghapus rasa iba yang terpancar dari sosok itu.
"Akang gak mau bantu ya?"
"Mau sih, tapi serem Neng. Gimana ya?"
"Ya udah kalau gak mau, gak apa-apa. Itu artinya Akang tidak berperikemanusiaan," ujar Dea.
Wandi menjadi panik dikatakan manusia yang sudah berperikemanusiaan.
"Eh? Neng Dea jangan bicara seperti itu, saya itu manusia yang berperikemanusiaan kok. Mana kucingnya? Biar Akang selamatkan," ujar Wandi pada akhirnya.
"Di atas pintu belakang," jawab Dea.
"Ayo temani Akang," pinta Wandi.
"Oke," jawab Dea.
Keduanya berjalan masuk menuju pintu belakang gudang, saat mereka tiba di sana Wandi langsung menengadahkan wajahnya ke atas. Namun, dia tidak melihat kucing kejepit di sana.
"Mana kucingnya, Neng?"
"Itu, di atas."
"Mana sih?" tanya Wandi karena dia tidak melihat kucing di manapun.
"Akang naik dulu ke atas papan itu, terus ikat tuh tali yang Akang pegang ke atas kusen pintunya."
"Apa hubungannya tali ini dengan kucing? Kenapa harus ikat tali di situ?"
"Udah lakuin aja, nanti Akang tahu."
"Iya deh," ujar Wandi. Walaupun bingung tetapi dia tetap melakukannya.
Wandi naik ke atas papan, lalu dia mengikat tali yang sejak tadi dia pegang ke atas kusen pintu. Setelah diikat dengan kuat, dia kembali bertanya kepada Dea.
"Apalagi yang harus Akang lakukan?"
Bukannya menjawab sosok Dea yang sejak tadi kalem tiba-tiba saja melayang ke udara, tali yang sudah terikat di kusen pintu itu langsung menjerat leher Wandi. Wandi berteriak ketakutan dan juga kesakitan, tetapi wanita yang sudah dirasuki arwah Sulastri itu malah tertawa dengan begitu kencang.
"Hahahaha! Itulah balasan untuk kamu, karena kamu sudah membuat aku mati penasaran."
Wandi berusaha untuk berbicara, tetapi tidak bisa karena ikatan tali di lehernya semakin kuat. Hingga tak lama kemudian Wandi meregang nyawa, arwah Sulastri tersenyum penuh kepuasan dan keluar dari tubuh Dea.
Dea langsung pingsan, tetapi tak lama kemudian dia tersadar kembali dan terlihat seperti orang linglung. Dia malah asik duduk di pinggir gundukan tanah yang menimbun jasad Sulastri, lalu memetik bunga melati itu dan menyimpannya di atas gundukan tanah tersebut.
"Astagfirullah! Aku ingat sekarang, Lastri minta tolong sama aku untuk dikuburkan secara layak."
Dea dengan cepat berlari keluar dari dalam kamarnya, lalu dia mengetuk-ngetuk pintu kamar ibunya dengan tidak sabar. Karmila dengan cepat membuka pintu kamar tersebut.
"Ada apa, Sayang?"
"Anu, Bun. Lastri, Lastri dikubur dengan tidak layak. Arwahnya gentayangan, dia minta dikuburkan dengan layak. Apa Bunda bisa tolong Lastri?"
ditunggu yg baru kk
kasihan banget sih sebenarnya.,😭😭