Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Terasa Salah.
Setelah pertemuan makan siang itu, aku kembali pulang ke rumah. Kudapati rumah yang selalu sunyi, selalu terasa dingin. Rumah besar seperti tidak berpenghuni.
Aku naik ke atas kasur dan berbaring disana, menatap kosong layar ponsel yang ada di tanganku. mengingat ingat kembali obrolan ringan antara aku dan Hans di meja kafe. Jendela kaca itu menjadi saksi bisu betapa aku lepas dari semua lelahku ketika tersenyum dan tertawa karena bercandanya.
Lalu, aku tertidur.
......................
Keesokan harinya aku kembali menjalani hari yang sunyi lagi. Semalam Dewa tidak pulang, aku tidak tau di berada di mana. Aku hendak menanyakannya kepada Om Daus tapi lagi lagi aku tidak ingin membuat Dewa berada dalam masalah jika aku mengadu.
Hari berjalan seperti biasanya, bangun,sarapan, cuci piring, lalu termenung tidak melakukan apa apa hingga langit berubah menjadi oranye.Tapi hari ini ada satu hal yang membuatku tersenyum. Kafe kecil yang di buat di halaman rumah sudah sepenuhnya selasai. Interior dan segala keperluannya sudah di susun rapi disana. Aku bahkan sempat duduk di sana untuk meminum teh yang aku buat sendiri. Mengambil beberapa foto lucu dan mempostingnya ke media sosial milikku. Dengan caption -Kafe kecil Nadira-
Aku lihat layar ponselku, beberapa notifikasi masuk, beberapa orang menyukainya dan memberikan komentar. Lalu lagi lagi, nama itu kembali berada di urutan pertama di room chat milikku.
Hans (Psikolog Konseling)
[hai, aku sudah lihat kafe baru mu.... Selamat untukmu yah...]
Nadira
[iya, terimakasih.]
Aku mematikan ponselku dan menarik selimut yang berada di ujung kakiku, kemudian notifikasi kembali masuk. Hans mengirimkan sebuah foto, karena penasaran aku langsung membukanya.
Hans (Psikolog Konseling)
[Jika suatu saat aku memposting ini, apakah boleh Nadira?]
Aku terdiam. Teringat saat itu, aku memberikan Hans cookies buatanku, ternyata dia menyimpan foto nya. Aku tersenyum, merasa sedikit di hargai dan di lihat.
Nadira
[iya, boleh.]
Hans (Psikolog Konseling)
[Apakah kamu belum mengantuk?]
Nadira
[Belum, Kenapa?]
Hans (Psikolog Konseling)
[Tidak ada, Hanya ingin bertanya, apakah aku boleh menelponmu?🤓]
Tidak ada balasan untuk beberapa saat, Aku menggigit bibirku, berpikir. Ragu.
[Boleh, Sebentar saja.]
Ponselku berbunyi, Menunjukkan ada sebuah panggilan masuk, tanpa ragu aku menjawab panggilan itu.
"Hai," Suara itu terdengar berat namun lembut, seperti biasa."Sedang apa?"
Aku berdiri dari dudukku, berjalan menuju pintu yang mengarah ke balkon kamar, aku tidak tau kenapa. Tapi berbicara dengan Hans melalui telepon akan lebih terasa tenang jika aku berdiri di luar. Memandangi taman yang gelap dan membiarkan angin malam menerpa tubuhku.
"Tidak ada, hanya menunggu Dewa." Jawabku jujur.
Hening menyusul. Hanya suara napas Hans yang sesekali terdengar samar di seberang. Lalu terdengar batuk kecil darinya, seperti ragu ingin melanjutkan.
“Apakah dia akan pulang?” tanyanya akhirnya, suara penuh kehati-hatian.
Aku menunduk, memandangi lantai balkon yang dingin di bawah kakiku. Pertanyaan itu selalu terasa menyakitkan, sebab jawabannya pun tak pernah pasti. Setiap kali aku memutuskan untuk menunggu, selalu ada bagian dari diriku yang terluka.
“Entahlah… mungkin iya… atau mungkin tidak.” jawabku pelan, mencoba tersenyum meski tidak ada yang bisa melihatnya.
Hans tak langsung menanggapi. Tapi keheningan darinya terasa seperti sebuah pengertian. Penghiburan diam-diam yang tidak memaksa apa pun dariku.
Aku menyandarkan tubuhku pada dinding, menatap langit yang kelam tanpa bintang. Malam ini terasa panjang. Dan hampa.
Lalu, suara Hans kembali terdengar, lebih lembut dari sebelumnya.
“Terima kasih sudah mengangkat teleponku malam ini.”
Aku mengerjapkan mata, lalu berkata jujur, “Aku yang seharusnya berterima kasih. Setidaknya malam ini… aku tidak merasa sendirian.”
Sejenak kami hanya diam, tapi tidak canggung. Diam yang terasa hangat. Diam yang tidak menghakimi.
Namun tetap saja, ada sesuatu dalam diriku yang mengusik ketenangan itu.
Sebuah kegelisahan yang datang tiba-tiba. Aku menggigit bibir bawahku.
“Hans…” panggilku pelan.
“Ya?”
“Menurutmu… apakah ini salah?” tanyaku akhirnya. Suaraku nyaris hilang di tengah hembusan angin.
Hans terdiam. Lalu menjawab dengan nada yang tidak menggurui, hanya mencoba memahami.
“Salah… jika kamu berharap lebih dariku, mungkin iya. Tapi kalau kamu hanya butuh seseorang untuk mendengarkan, maka tidak. Aku tidak keberatan menjadi itu untukmu.”
Aku menutup mata sejenak, membiarkan kalimatnya menyelinap ke dalam pikiranku.
Dan di saat yang bersamaan, hatiku pun kembali menekan luka yang tak sempat sembuh.
Karena di satu sisi aku merasa dilupakan,
tapi di sisi lain aku takut merasa diperhatikan oleh orang yang bukan suamiku.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu