Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Belum Menemukan Pelaku
Mobil sudah melaju dengan cepat, untuk segera mengantar Dona sampai dirumahnya.
"Eeh, Nyonya. Kamu sudah pulang!" sapaan seorang laki-laki, yang tiba-tiba keluar dari rumah Dona.
Dia begitu hangat menyambut kedatangan Dona.
"Ooh ... Samsul, kamu ternyata sudah ada dirumah! Kok kamu cepat sekali kembali dari cuti liburan?" tanya Dona.
"Iya, Nyonya. Ketika mendengar tuan telah meninggal, langsung saja diriku secepatnya kembali ke kota," jawabnya.
"Siapa Dona?" tanyaku penasaran.
"Dia asisten pribadi suamiku. Kemarin sebelum terjadi pembunuhan, dia meminta izin sedang pulang kampung untuk menemui istrinya yang sedang sakit," penjelasan Dona.
"Ooh."
Aku melihat gelagat aneh dari sang asisten pribadi, dia menatap tajam seperti tak suka atas perlakuanku sedang mengantar Dona.
Kini netra menatap heran, atas keningnya yang telah dibungkus kapas ada plaster nya.
"Mari, Nyonya. Saya antar sampai ke dalam," pintanya.
"Baiklah. Maaf ya Ryan, tidak aku persilahkan masuk rumah, takutnya kamu masih banyak kerjaan. Terima kasih sudah mau aku repot kan hari ini."
"Iya, ngak pa-pa."
Dona melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal.
"Hei tapi-! Tunggu," panggilku pada sang asisten, yang sudah berlalu pergi berjalan dibelakang Dona.
"Ada apa, Ryan? Apa ada masalah lagi?" tanya Dona.
"Tidak ada apa-apa, Dona. Cuma mau tanya kepada asisten kamu."
"Tanya apa?" Datar sang asisten menjawab.
"Itu kepala kamu kok bisa terluka begitu, kenapa?" tanyaku penasaran.
"Ooh ... kepalaku! Ini luka yang kudapat saat membenahi rumah dikampung," jawabnya yang seperti gelisah.
"Oh ... ya sudah. Silahkan masuk kalian. Diluar terlalu dingin."
"Hm, kamu juga hati-hati dijalan nanti."
Diri inipun tak langsung percaya begitu saja atas jawaban. sebab ada gelagat-gelagat aneh atas sikapnya. Dibilang tak suka tapi baru pertama kali kami bertemu. Kalau 'pun ada dendam, sepertinya tak punya salah sama dia.
******
Kerjaan numpuk dan tidak kelar-kelar. Semua sibuk menjalankan tugas masing-masing. Hanya diberi waktu beberapa minggu lagi untuk menyelesaikannya. Jika kelompok kami tidak berhasil, maka akan dilempar ke team lain.
"Gimana nih, Bos. Kita masih belum menemukan dalang dibalik semuanya?" Bagas mulai gelisah.
"Ya mau gimana lagi, kita tunggu kabar selanjutnya."
"Kabar yang gimana lagi, Bos. Kita tidak punya bukti kuat lagi untuk sementara ini."
Kami semua sedang rapat untuk membahas kasusnya lagi. Ada sekitar 10 orang yang ikut. Semua antusias menyimak dan memberikan pendapat.
"Benar itu, Bos. Bahkan kita melakukan pengeledahan dirumah korban 'pun kita tidak mendapatkan apa-apa."
"Jangan 'kan kalian. Aku pun juga pusing memikirkan. Baru kali ini kasus yang kita hadapi cukup rumit dan berat."
"Aku sih lebih curiga sama adik tiri korban. Selain sakit hati karena diselingkuhi istrinya, dari gosip yang beredar, tidak terima atas pembagian harta warisan," Mulut ember Ebi yang tahu aja info penting.
"Masak sih?" tanyaku tak percaya.
"Ahh, benar itu, Bos. Karena Ebi kemarin memberi tahu itu, makanya aku langsung sigap menyelidiki dengan bertanya kepada pengacara mereka dan ternyata itu benar. Lebih parahnya mereka menantang akan mencelakai pihak korban, sebab tidak terima atas pembagian harta yang tidak sama rata. Apa jangan-jangan benar ada hubungan sama pembunuhan ini?" Dugaan Bagas.
Seketika ruangan riuh anak buah memberi pendapat masing-masing. Ada sedikit titik terang namun masih minim nya bukti.
"Kalian jangan menyimpulkan sembarangan dulu. Takutnya malah menjadi fitnah atau tuduhan pencemaran nama baik. Alangkah baiknya jika kita semua disini berusaha mencari bukti lain yang lebih akurat dari pada menduga-duga," Ketegasan memberitahu.
"Tapi, Bos."
"Sudah. Apa ada pendapat lain dari kalian?"
"Ada, tentang Dona sih, Bos." Anak buah lain angkat bicara.
"Ok, silahkan."
"Em, selain itu Dona sang istri juga sasaran kita juga. Mana ada wanita yang tak sakit hati jika diperlakukan seperti binantang dan alat menguasai harta mereka. Tindakan KDRT dan perselingkuhan bisa juga menjadi motif utama. Lagian dengar-dengar harus bisa hamil dulu baru warisan diserahkan."
"Ah, patut. Dona kelihatan menderita begitu. Kasihan juga dia hanya sebagai alat pemuas harta beda," guman hati berbicara.
"Nah, betul itu. Pasti dendam juga karena diperlakukan tidak baik," saut Ebi membenarkan.
"Tapi kemarin kita sudah menginterogasinya. Tidak ada bukti yang menguatkan dia bersalah."
"Hm, iya juga. Ahh, kita dibuat berpusing ria bener dah ini," keluh Ebi.
"Sudah ... sudah. Lebih baik kita tenangkan diri dan jangan terlalu gegabah. Bisa jadi pelaku terus mengawasi kita juga, agar bukti lain tidak kita dapatkan. Cukup hati-hati dan kita buat sesantai mungkin. Seandainya kasus nanti dilemparkan kepada team lagi. Ya apa boleh buat." Mencoba menenangkan para anak buah.
"Yah, bakalan tidak dapat bonus bulan ini."
"Ya, mau gimana lagi. Bukan rezeki kita."
Akhirnya rapat kami akhiri dengan kekecewaan, tapi semangat 45 untuk mengungkap kasus ini tetap menyala dan tidak mau menyerah begitu saja.
******
Kini langkah sudah pulang ke rumah, untuk segera mengistirahatkan pikiran dan perasaan yang sedih.
Seandainya saja diri ini bisa menghentikan waktu, pasti secepatnya akan kulakukan, agar takkan ada kata perpisahan diantara kami. Kini surat layang gugatan cerai atas nama Mila, sudah turun yang ditujukan kepadaku.
Malam sudah teramat larut, namun mata masih terjaga. Terus saja terbayang-bayang wajahnya, yang selalu saja menampakkan keindahan senyuman.
"Mungkinkah ini jalan takdir kami? Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi, Mila? Maafkan diriku yang selama ini selalu menyakitimu. Mungkin dengan perpisahan adalah jalan yang terbaik buat kita," guman hati yang sadar diri.
Perpisahan tinggal menghitung hari, dan itu cukup sekali menguras pikiran dan hatiku, sebab orang yang tercinta sudah tidak tahan yang ingin cepat-cepat berpisah.
Kenyataannya aku hanya seorang laki-laki, yang terpasung oleh ketidakberdayaan, sebab bukti-bukti penghianatan begitu nyata, bahwa kesalahan memang akulah yang memulainya.
Setelah kejadian dirumah kepergok tidur bersama Dona, kini ditambah lagi bertemu istri dirumah sakit ketika mengantar Dona ke dokter kandungan, sehingga membuat Mila semakin kuat untuk segera menggugat cerai.
"Hai, Bos. Melamun aja sih!" Bagas mengagetkanku dengan menepuk pundak.
"Issh, ada apa sih. Bikin orang jantungan saja."
"Nanti datang diacara 7 bulanan anakku!" ucap Bagas anak buah.
"Oke! Kalau tidak malas," Dengan malas menjawab.
"Jangan oke .... oke saja, harus datang pokoknya nanti" desak Bagas.
"Iya ... iya, bawel."
"Awas loh. Janji harus ditepati."
"Iya ... iya. Khawatir amat kalau tidak datang."
Kami sedang santai bekerja.
"Ya iyalah, 'kan kamu tamu special kami."
Tidak membeda-bedakan antara teman biasa dan kerjaan. Bagi kami sudah seperti keluarga sendiri karena seringnya akur bekerja, susah senang bersama menangani kasus, bahkan lapar dan ngantuk 'pun ketika turun kerja dilapangan ataupun menyelidiki suatu kasus tetap dijalani bersama-sama.