Anand dan Shan, dua sepupu yang tumbuh bersama, tak pernah membayangkan bahwa hidup mereka akan berubah begitu drastis.
Anand dikhianati oleh kekasihnya—wanita yang selama ini ia cintai ternyata memilih menikah dengan ayahnya sendiri. Luka yang mendalam membuatnya menutup hati dan kehilangan arah.
Di sisi lain, Shan harus menelan kenyataan pahit saat mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Pengkhianatan itu membuatnya kehilangan kepercayaan pada cinta.
Dalam kehancuran yang sama, Anand memutuskan untuk menikahi Shan.
Lantas apakah yang akan terjadi jika pernikahan tanpa cinta dilakukan? Akankah luka dapat disembuhkan dengan mereka menikah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
part 33
Matahari baru saja naik ketika Shan tiba di rumah sakit tempat Anand bekerja. Dengan wajah cemas dan langkah tergesa, ia menuju ruang kerja Anand, ditemani suasana lorong rumah sakit yang dingin dan sunyi. Saat sampai, ruangan itu kosong, hanya ada aroma khas kopi dan dokumen medis berserakan di meja.
Shan duduk, menunggu. Matanya tak berhenti melirik jam dinding. Beberapa menit kemudian, pintu terbuka.
Anand masuk, sedikit lelah, dan terkejut melihat Shan duduk di kursinya.
"Lo ngapain disini?" tanya Anand.
"Lo kenapa gak pulang? Nyokap lo khawatir."
Anand menarik nafas, meletakkan map di meja.
"Gak usah khawatirin gue, gue baik-baik aja…"
Shan berdiri, tanpa banyak bicara, langsung memeluk Anand. Pria itu hanya bisa terkekeh kecil, walau sorot matanya tak bisa menyembunyikan luka.
"Lo kenapa? Tiba-tiba kayak gini? Gue baik-baik aja…"
"Bohong... Lo kalau mau nangis, nangis aja gapapa…"
Ada jeda. Sunyi. Suasana itu hanya diisi suara napas dua sepupu yang tumbuh bersama, dan kini saling menjaga satu sama lain dalam luka.
Anand melepas pelukan Shan perlahan. Ia memegang kedua bahu Shan, berusaha terlihat kuat.
"Gue banyak kerjaan banget di rumah sakit, gak bisa ditinggal… makanya lo nanti jangan nikah sama gue."
Shan langsung memukul bahu Anand.
Wajahnya berubah badmood seketika.
"Anand! Lo tuh ya, selalu aja ngelawak di waktu yang gak tepat!"
Anand tertawa kecil, tapi tawa itu tidak sampai ke matanya. Shan tahu, di balik semua kata-kata bercanda Anand, ada hati yang masih patah dan belum siap disembuhkan.
Shan menatapnya.
"Gue cuma gak pengen lo hadapi ini sendirian."
Anand menunduk.
Untuk pertama kalinya hari itu, ia benar-benar merasa tidak sendiri.
***
Setelah percakapan emosional di ruang kerja, Anand dan Shan memutuskan makan siang bersama di kafe rumah sakit. Meja mereka berada di pojok ruangan, cukup sepi, hanya ada mereka berdua dan suara sendok garpu yang bersentuhan dengan piring.
Anand bertanya sambil menyendok nasi.
"Eh, by the way… Raka gak cemburu lo dateng ke sini? Ntar dia tantrum gak jelas lagi."
Ia melirik Shan dengan senyum jahil.
Shan mendecak.
"Dih lo nyebelin. Raka itu dewasa tau. Dia laki-laki yang bisa diandalkan, romantis, pengertian… pokoknya beda dari cowok-cowok lainnya."
"Lah...Gue juga sama kayak gitu. bonusnya... Gue ganteng banget"
Senyumnya makin lebar, mata nakalnya menatap Shan.
Shan memutar mata.
"Lo itu nyebelin!"
Tanpa aba-aba, Anand menyentil dahi Shan, membuat gadis itu meringis sambil tertawa kecil. Suasana di antara mereka mulai terasa lebih ringan. Mereka makan sambil saling menggoda, menertawakan hal-hal kecil seperti masa remaja mereka dulu.
Setelah beberapa menit, suasana sedikit tenang. Shan menyendok sup pelan, lalu menatap Anand.
"Tapi serius, Nan… Kapan lo pulang?"
Anand menghela napas.
"Kayaknya gue rencana mau beli rumah. Tinggal sendiri, di sekitaran sini juga. Biar deket ke rumah sakit."
"Lo yakin?"
Anand mengangguk dengan mantap.
"Yakin."
Shan meletakkan sendok, menatap tajam.
"Kalau menurut gue, itu tindakan yang keliatan nyedihin banget. Harusnya lo tunjukkin sisi kuat lo, bukan malah kabur dan nyari pelarian. Lo itu cowok..."
"Hadapin Mikha dan ayah lo. Tunjukin kalau lo udah move on dari Mikha. Mau sampai kapan lo menghindar terus, Anand?"
Anand Terdiam. Ia menatap piringnya sejenak, lalu meneguk air minumnya. Ucapan Shan menamparnya pelan-pelan, tapi masuk ke dalam hati.
"Gue gak mau liat lo terus-terusan kayak gini, Nan. Lo itu lebih kuat dari ini."
Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Anand mengangguk pelan, bukan karena setuju, tapi karena ia tahu Shan benar.
Suasana di kafe rumah sakit mulai lengang. Hanya beberapa perawat dan dokter muda yang lalu lalang. Di sudut ruangan, Anand duduk bersandar di kursinya, menatap kosong ke arah gelas kopinya yang sudah hampir dingin. Di depannya, Shan masih mengaduk sisa sup yang tadi belum habis. Setelah cukup lama diam, akhirnya Anand membuka suara.
"Oke... Jadi menurut lo, gue harus gimana? Gue gak bisa bohong kalau gue nggak sedih. Gue masih... masih belum bisa terima semua ini."
Shan meletakkan sendoknya. Ia menatap sepupunya itu, sorot matanya berubah serius. Ia tahu betul, di balik senyum tipis dan candaan yang tadi sempat muncul, Anand menyimpan luka yang dalam. Dan hari ini, Shan datang bukan cuma untuk menemani, tapi untuk menyadarkan.
"Gue tau, Nan. Lo gak baik-baik aja, walaupun tadi lo sok-sokan bilang begitu."
Anand tersenyum kecut.
"Ya… gue kira, kalo pura-pura kuat itu cukup buat bikin hati gue tenang. Tapi ternyata enggak."
"Gue gak mau nyuruh lo pura-pura kuat, tapi gue mau lo jadi versi terbaik dari diri lo yang sebenarnya. Sekarang, mikir deh… Mikha bisa ngelakuin hal segila itu. Jadi istri bokap lo sendiri. Dan lihat sekarang… dia bahkan keliatan jauh lebih bahagia, kan?"
Anand mengangkat alisnya. Ia tak menjawab, tapi tidak membantah.
"Kalau dia bisa, kenapa lo enggak?"
"Gue... bukan orang kayak dia, Shan. Gue gak bisa dengan cepat buang semua harapan yang pernah gue bangun."
"Justru karena lo bukan orang kayak dia, lo punya kelebihan. Lo punya hati yang tulus, lo punya cinta yang murni. Tapi Nan, sayangnya... cinta lo udah gak punya tempat lagi buat tumbuh. Mikha udah jadi milik orang lain, dan lo harus berhenti nyiram pohon yang udah ditebang."
Kalimat itu menusuk. Tapi di saat bersamaan, ada kelegaan dalam hati Anand. Seolah Shan menarik belati dari luka yang sudah lama terpendam.
"Gue cuma takut. Takut sendirian. Takut semua rencana gue buat masa depan cuma tinggal kenangan."
Shan tersenyum kecil.
"Semua orang pernah takut, Nan. Tapi ketakutan itu bukan buat dihindarin, tapi dilawan. Gini deh, sekarang lo bilang mau beli rumah dan tinggal sendiri, kan?"
"Iya. Gue pikir, itu cara terbaik buat menjauh dulu dari semuanya."
"Itu boleh. Tapi jangan menjauh buat ngubur diri. Gunain waktu lo buat bangkit. Mulai dari ngerapihin hidup lo sendiri. Ganti suasana, bangun rutinitas baru. Isi rumah itu sama hal-hal yang lo suka. Beli tanaman, piara anjing kalau perlu, mulai nulis jurnal, atau apapun yang bikin lo ngerasa hidup."
Anand tersenyum tipis, lebih tulus kali ini. Shan melanjutkan.
"Dan satu hal penting… tunjukin ke mereka, ke Mikha, ke bokap lo, ke dunia kalau lo bisa bahagia TANPA mereka. Bukan buat balas dendam, tapi buat buktiin ke diri lo sendiri… bahwa hidup lo gak berhenti cuma karena satu pengkhianatan."
"Berarti gue harus... mulai lagi dari nol?"
"Iya. Tapi gue janji, lo gak mulai dari nol sendirian. Gue ada, nyokap lo ada, bahkan mungkin nanti ada orang baru yang bakal hadir dan bener-bener cinta lo tanpa syarat."
Anand menatap Shan lama, sebelum akhirnya menunduk, lalu mengangguk perlahan.
"Makasih, Shan. Lo selalu jadi suara yang paling gue butuhin pas gue mulai ngerasa jatuh."
Shan tersenyum, lalu menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi.
"Gue bakal selalu ada, Nan. Tapi jangan bikin gue harus terus-menerus narik lo dari lubang yang sama. Bangkit, ya? Lo layak bahagia. Lo harus bahagiain diri lo sendiri, bukan buat orang lain, tapi buat lo."
Anand menghembuskan napas panjang. Di detik itu, ia merasa lebih ringan. Hatinya masih sakit, memang. Tapi sekarang, ia punya alasan untuk mencoba bangkit. Dan ia tahu, ia tak sendiri.
Hari itu mungkin belum bisa menghapus luka, tapi setidaknya Shan sudah menyalakan satu cahaya kecil di ujung lorong gelap dalam hati Anand. Dan itu cukup sebagai langkah pertama untuk melangkah maju.
***
Virzha sebenarnya mencintai istrinya cuman krn dibawah pengaruh ibu nya Ranika jadi kayak gitu, Anand juga cintanya terlalu besar buat Mikha dan effort nya dia gak main main, sedangkan Mikha? neneknya meninggal gara-gara si Mona dan Ranika, dia nggak cinta tapi demi neneknya dia cuman pengen balas dendam🥺🥺
eps 1 udh menguras tenaga sekale