Lanjutan Dari Novel Terpaksa Menikah. Sebelum membaca kisah dari Anak - Anak Raka dan Eva beserta sahabatnya. Mohon di baca untuk Season pertamanya.
Sebelum ke sini tolong baca dulu Terpaksa Menikah.
Memilih pasangan yang pas, seperti sang mama adalah keinginginan Rava Atmadja. Banyak keinginan yang ia dasari dari kisah cinta papa dan mamanya, yang bersatu karena sebuah kesalahan. Kesalahan yang menurut sang papa dan juga mamanya, adalah berkat dan kebahagiaan dengan hadirnya, Rava di kehidupan mereka.
.
Karena di Jodohkan oleh sang mama dengan anak sahabatnya, Rava mencoba untuk lari dari kenyataan. Dan berusaha untuk memilih yang terbaik antara pilihan sang mama dan juga pilihannya sendiri. Mari baca dan berikan dukungan kalian. Terima Kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putritritrii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERKUMPUL.
Keesokan harinya, Rava yang ketiduran tiba-tiba terjaga di samping ranjang Renata. Ia langsung melihat ke Renata, yang masih senantiasa tertidur sedari masa kecelakaan kemarin. Raut wajah Rava berubah sedih, ia pun menarik punggung tangan Renata dan menggenggamnya dengan erat.
"Apa di sana lebih nyaman? Apakah... di sana kau merasa bahagia? Kenapa kau belum juga terbangun? Jika di sana nyaman dan bahagia, bawalah aku bersamamu. Aku Tidak mau membiarkan dirimu sendiri. Aku mau menemanimu, walau kau melarangku, aku akan memaksa. Jika ragamu di sini, sedangkan jiwa mu di tempat lain, Aku tidak terima. Aku tidak mau cuma mengurus Ragamu, aku mau jiwa dan ragamu menyatu seperti sedia kala, yang merecoki aku, memarahiku, cemburu denganku, semua yang biasa kau lakukan untukku, senyumanmu, tangisanmu, aku merindukan itu semua. Cepatlah bangun, banyak hal yang ingin aku sampaikan kepadamu. Apa kau tidak mau mendengarnya?" tanya Rava, dengan air mata yang tanpa ia sadari mengalir di pelupuk matanya.
Rava sejenak terdiam, perlahan ia memeluk erat punggung tangan Renata, terlintas senyuman Renata awal ia masuk ke ruangan Rava dari ingatannya. Tak terasa Rava pun terhanyut dalam senyum yang di ingatnya , saat terakhir kali Renata menyapa masuk ke ruangan Rava. Hanya terhitung menit, Renata sudah tidak bisa di ajak berbicara maupun bertengkar seperti biasnya.
“Apakah sesedih ini rasanya menunggu?” ucap Rava terisak.
“Tapi kenapa kau bisa bertahan, menungguku? Sampai bertahun-tahun lamanya? Sedangkan aku, di sini belum sehari saja, rasanya aku tidak mampu bertahan Renata, menunggumu untuk tersadar. Aku takut, tolong cepat terbangun. Jangan membuatku menjadi Pria yang tidak berguna.” Ucapnya dengan sesenggukan, rasa-rasanya Rava tidak pernah menangis. Saat iya di campakkan oleh pacar pertamanya Vanessa.
Rava mengusap air matanya dengan kasar, lalu ia kembali menggenggam erat tangan Renata, kembali terisak dengan sakit yang mendalam. Saat kembali menatap wajah Renata, air mata Renata mengalir dari kedua matanya. Sontak Rava berdiri dengan kaget, “Apa kau mendengarku, Renata?” tanya Rava dengan menyentuh pipinya.
“Jika kau mendengarkan aku, bukalah matamu. Jangan takut, ada aku di sini.” ucapnya penuh harap. Tetapi Renata tetap terpejam. Dengan cepat, Rava berlari keluar dan memanggil Dokter untuk memberitahukan perkembangan Renata. Saat bersama-sama masuk keruangan Renata, segerah Dokter melakukan pemeriksaan pada Renata. Memeriksa kedua matanya dengan memberikan sinar dari senternya, lalu si Dokter melihat ke Rava.
“Tuan.. itu tandanya , Pasien sudah bisa merespon, hanya saja untuk pasien terbangun harus menunggu dari pasien sendiri.” ucap si Dokter.
Raut kekecewaan pada wajah Rava terlihat sangat jelas, “Begitukah? Kapan kira-kira waktunya, Dok?”
“Bisa cepat sekitar dua hari dan paling lama bisa berbulan, Tuan.” ujar si Dokter.
“Agh… Baiklah Dok, Terima kasih.” ucap Rava kecewa.
Seusai Dokter keluar dari ruangan Renata, kembali ia mendekati ranjang Renata. Menarik nafasnya sejenak, merasa frustasi Renata masih di keadaan yang sama. Wajahnya yang pucat dengan sedikit lebam di wajahnya, membuat Rava terus menyalahkan dirinya.
“Andai saja, aku yang di situ, mungkin semuanya baik-baik saja.” ucapnaya dengan berat.
***
Tiba di bandara di New York dengan selamat, sore itu Raka, Eva, Varel , Casandra, Anna, Jimmy dan James semuanya tiba dengan tidak berkekurangan sesuatu apapun. Mereka semua dalam keadaan lelah, tetapi kekhawatiran mereka lebih tinggi di bandingkan dengan rasa lelah mereka. Casandra sendiri, wajahnya sudah pucat. Karena sedari di pesawat, ia terus memikirkan Renata hingga makannya pun tidak teratur. Eva senantiasa menjaga Casandra serta menguatkan sang sahabat.
Barusan akan keluar dari terminal kedatangan, dari kejahuan Harsen dan Defan serta Vara sudah melihat Raka yang berjalan sendiri. Dengan cepat, Vara berlari ke arah Raka, Raka yang melihat putri semata wayangnya itu tersenyum dengan rasa rindu yang sangat mendalam.
“Papa” seru Vara seraya berlari dengan cepat, untuk menghampri dan memeluk Raka erat.
“Kenapa kau berlari sayang? Nanti kau bisa terjatuh.” ucap Raka takut dan membalas pelukan sang anak dengan erat dia mencium puncak kepala sang anak dan mencium keningnya, “Apa kabar gadis kecil, Papa?” tanya Raka dengan hangat.
“Baik.. Pa. Maafin Vara, ya pa.”
“Kenapa? Apa kau melakukan kesalahan?” tanya Raka pada Vara.
Vara terdiam dengan menatap kedua bola mata sang Papa, “Papa”
“Iya sayang? Sudah sana sapa mama mu dan juga paman serta bibimu. Mereka ada di belakang,” ucap Raka yang memang duluan untuk mencari Harsen, tak tahunya putrinya juga ikut menjemputnya.
“Baik, Pa.” balas Vara dengan bingung, lalu ia pergi mencari sang mama dan yang lainnya.
Tak lama Defan dengan buru-buru memeluk Raka tanpa aba-aba, “Pamannnn.” ucapnya dengan pelukan yang erat.
“Agh… Defan, kenapa kau sangat mirip dengan papamu si ingusan itu! Asal meluk saja,” ucap Raka seakan ingin melepaskan pelukan Defan, tetapi Defan sangat erat memeluknya tak ingin melepaskan tubuh Raka.
“Paman… biarkan aku merasakan tubuh kekarmu, kata papaku.. jika aku tidak bisa merasakan tubuh kekarmu yang katanya bawaan lahir paman, aku belum sepenuhnya menjadi keponakan paman Raka.”
“Dia berkata seperti itu?” tanya Raka kaget.
Lalu Defan menengadah ke atas menatap wajah Raka dengan bibir yang di sungging manja olehnya , lalu ia menganggukan kepalanya, “Ia paman, kata papa seperti itu.”
“Dan kau percaya?” tanya Raka lagi.
“Iya dong, karena papa kan sangat menyayangi paman. Mana mungkin dia membohongiku.” Ucap Defan dengan celotehan konyolnya.
Di sana Harsen menepuk jidanya seraya mengusap wajahnya melihat kelakuan Defan yang masih bisa bercanda enggak jelas , menurut Harsen.
Raka tertawa, “Kau ini.. jangan terlalu mempercayai papamu itu, papamu itu sejak kecil sangat rewel. Dan kau harus tahu, papamu dan paman tidak seakur yang kau bayangkan. Sudah sana,.. bantuin Vara dan bibimu mengangkati koper,” perintah Raka.
“Okey deh Paman,” balas Defan lalu bergerak ke arah Vara dan yang lainnya, karen sudah tampak dari kejahuan, Defan berlari kecil.
Lalu Harsen mendekat ke Raka, mengambil dua koper yang ada di tangan Raka.
“Apa kabar paman,” sapa Harsen sopan, yang sebelumnya sudah mendapatkan senyuman dari Raka.
“Halo Sen, paman baik. Papa dan mama mu juga baik. Apa kau sering menghubungi mereka?” tanya Raka lagi dengan berjalan mengikuti Harsen ke arah luar bandara.
“Sering Paman,” jawabnya senang.
Raka kemudian menepuk bahu Harsen, “Kau anak yang mebanggakan, apakah Rava sering menyusahkan mu?” tanya Raka.
“Tidak.. Kak Rava sangat menyayangiku Paman, kerjaan ku juga tidak banyak. Karena kak Rava juga banyak membantu, tidak membiarkan ku sendiri saat dia memiliki waktu.”
“Paman… bergantung padamu. Seperti halnya dengan papamu,” ucapnya lalu tersenyum ke Harsen.
“Terima kasih, Paman.”
“Jangan berterima kasih kepadaku, kau sendiri yang bekerja dengan baik.”
Harsen hanya tersenyum ke Raka, keduanya berbincang dengan sangat akrab. Sedangkan Vara saat melihat Eva dengan cepat memeluk tubuh Eva, dengan era.
“Halo sayang mama, ayo sapa dulu bibi Casandra.” Ucap Eva tidak ingin membuat hati Casandra sedih, saat melihat Vara memeluknya.
Vara menoleh takut ke Casandra, melihat wajah pucat Casandra yang di dalam pelukan Varel menatap Vara dengan senyuman, kemudian kaki Vara melangkah ke arah Casandra dan ingin memeluknya, Casandra refleks melepas pelukanya dari Varel dan memeluk erat tubuh Casandra, lalu tangisannya pun pecah.
“Bibi… Maafin Vara, Vara sangat jahat ke kak Renata.” Vara terisak dalam pelukan Casandra.
Casandra membelai lembut rambut Vara, “Kenapa kau menangis? Kenapa juga harus meminta maaf, walaupun Bibi tahu Vara dan Renata tidak akur denganmu, tapi Bibi tidak akan menyalahkan kamu Vara. Sudah jangan menangis, hapus air matamu. Ayo kita jalan, ke Rumah sakit.” ajak Casandra dengan melonggarkan pelukan Vara serta membantunya menghapus air mata Vara.
“Paman.. “ seru Vara pada Varel.
“Sssst… sudah enggak boleh menangis. Siapapun tidak akan menginginkan ini terjadi, jadi Vara enggak boleh menyalahkan diri Vara sendiri. Kasi semangat buat Renata, biar Renata bisa cepat tersadar.” Varel juga membelai lembut rambut Vara.
“Sudah Vara.. sini sama Paman Jimmy, jangan menangis. Enggak baik, anak gadis nangis-nangis di depan umum. Lagian kak Renata hanya tertidur, enggak boleh di tangisi. Okey cantik” bujuk Jimmy dan Anna pun mendekati Vara agar tidak membuat Casandra semakin terpuruk.
“Iya.. Ngapain nangis-nangis, kau itu sudah besar Vara. Noona ku itu sangat kuat, jadi kau jangan sepeleh denganya.” Sambung James dengan suara bergetarnya pengen nangis juga. Jimmy dengan cepat mentoyor kepalanya.
“Sok menasehati, tapi kau sendiri mau menangis. Sudah sana.. anak laki-laki angkati semua barang, ikuti itu.. siapa itu?” tunjuknya ke Jimmy pada Defan.
“Saya Defan, Om” balas Defan dengan menyipitkan matanya menatap Jimmy.
Bersambung.
.........
Tekan Like dan VOTE ya... hari ini enggak ada iklan, puas lo.
terima kasih krn masih mau menulis cerita untuk kami di sini 😍😍