[Sequel My Cold Husband]
Cerita ini tentang sahabat Anin di My Cold Husband season 1. Bisa dibaca terpisah. Tapi kalo mau baca My Cold Husband season 1 juga nggak masalah.
______________________________________________
Di saat usianya sudah menginjak angka dua puluh tiga tahun, dan akan memasuki angka 24 tahun, El harus menuruti keinginan kedua orang tuanya untuk dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis orang tuanya.
El yang saat ini juga bekerja di salah satu perusahaan milik Papanya, sama sekali tidak menolak. Karena dia sendiri memang tidak pandai dalam mencari pasangan, hingga membuat El pasrah dengan apapun keputusan dari orang tuanya.
Namun bagaimana jika orang yang dijodohkan dengan El itu adalah orang yang masih terjebak akan masa lalunya?
Orang yang masih sulit untuk melupakan masa lalunya. Dan orang yang masih hidup dalam bayang-bayang masa lalunya.
Apakah El bisa meberima itu semua? Apakah El bisa bertahan dengan orang yang bisa dikatakan tidak pernah menganggap El ada? Apa nasib El akan sama seperti Anin sahabatnya?
Jangan lupa ikuti terus kisah El ya.
Jangan lupa juga follow ig Author @ Afrialusiana
Copyright © Afrialusiana.
Don't copy my story. Ingat dosa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afria Lusiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pucat
Barra terdiam. Kenapa El bisa berbicara seperti ini? pasalnya dia sama sekali tidak pernah menuntut apa-apa dari El.
"Iya gue memang mau istri yang patuh sama gue. Tapi nggak kaya gini juga caranya. Kalo misalnya gue nggak datang juga terus lo mau ngapain?" Tanya Barra.
"Gue bakal tetap nunggu sampe lo datang" Jawab El tersenyum.
Barra hanya diam, dia menatap wajah El. Apa yang dikatakan oleh Dito benar? bahwa Barra hanya salah menilai El?
"Gue cuma mau pertahanin lo aja Bar. Karena udah untung kan, lo mau nikah sama gue? kan lo sendiri yang bilang, diluar sana nggak bakal ada yang mau sama gue. Gue kasar, nggak punya sopan santun, kalo lo ninggalin gue ntar gue jadi janda selamanya dong" Ujar El tertawa. Namun, siapa sangka hatinya terluka saat melontarkan itu semua.
"Oiya, lo dari tadi kemana aja? urusannya penting banget ya?" Tanya El dengan suara yang benar-benar lembut tidak seperti El biasanya. Dia masih tersenyum menyembunyikan lukanya.
Barra terdiam tidak tau harus menjawab apa. Pria itu memilih untuk berjongkok di hadapan El.
"Naik El" Perintah Barra.
"Nggak usah Bar. Gue bisa jalan" Tolak El.
Barra sedikit menoleh. "Muka lo pucat, katanya mau jadi istri yang nurut sama gue. Naik aja nggak usah bantah"
El pasrah. Lagian juga sebenarnya dia lelah. Hingga akhirnya El memilih naik ke atas punggung Barra.
Barra mulai berjalan sambil menggendong El untuk segera pergi dari sana.
"Pemandangannya bagus banget ya Bar. Tadi gue udah puas banget foto-foto disini, meskipun cuma sendiri. Andai bang Dino masih ada, pasti lebih menyenangkan, dan gue nggak akan kesepian kaya tadi." Ucap El menyandarkan kepalanya di punggung Barra.
Barra masih diam. Dia tidak tau bagaimana merespon ucapan El. Barra juga tau bahwa El saat ini pasti merasa sedih dan kecewa.
"Barra, lo tau nggak. Kenapa gue masih belum bisa ikhlasin kepergian bang Dino?" Barra tidak menjawab, tapi El masih saja menceloteh sendiri.
"Karena cuma bang Dino laki-laki yang menyayangi gue di dunia ini selain Papa. Lagian lo juga kan yang bilang, nggak bakal ada yang cowok yang mau sama gue termasuk lo, gue cuma punya bang Dino. Tapi bang Dino jahat ninggalin gue disini sendiri" Tanpa sadar air mata El terjatuh membasahi pungung Barra.
Barra masih melanjutkan langkahnya. Tapi hatinya juga ikut terasa sakit mendengarkan apa yang sedari tadi diucapkan oleh El. Barra seperti tertampar. Semua yang keluar dari mulut El seolah sindiran keras untuk dirinya. Barra sudah melukai hati gadis itu.
"Oiya Bar, tadi kenapa nggak ada orang yang bangunin gue ya? jahat banget sih" Lirih El tertawa kecil.
"Mana ada orang yang bakal ngeliat lo di tempat tersembunyi kaya gitu"
"Oiya ya" Jawab El cengengesan.
"Bar, salah nggak sih kalo gue berharap bang Dino kembali? dia segalanya buat gue. Dia penguat gue Barr"
"El..." Barra tau El menangis karena Barr merasakan tubuh gadis itu bergetar.
"Bar, gue nggak ada gunanya ya jadi cewek? apalagi jadi istri lo? Bar, kalo lo memang nggak bisa sama gue, lepasin aja ya. Gue tadi cuma becanda kok. Gue nggak akan maksa kalo lo nggak mau sama gue"
"El udah. Lo itu lelah. Please lo bisa diam nggak?" Ucap Barra yang ikut tidak tahan mendengar ucapan El. Sementara El sudah kembali menangis masih di gendongan Barra.
***
Barra masih berjalan sambil menggendong El yang sedari tadi benar-benar tidak berhenti menceloteh.
"Bar, pacar lo yang dulu sering lo banggain ke gue itu sekarang ada dimana sih Bar? apa dia nggak marah saat tau lo udah nikah? lo ninggalin dia karena gue ya bar? karena perjodohan ini kan? makanya lo kesel banget sama gue?"
"Bar, lo mau nggak ngenalin dia ke gue. Gue pengen ketemu sama di Bar, gue mau minta maaf sama dia, karena gue, kalian jadi pisah. Lo juga kalo mau balik lagi sama dia juga nggak papa kok Bar, tinggalin gue ya. Jangan dipaksa jika menyakitkan" Ucap El lembut, sangat-sangat lembut, tapi kata kata El berhasil menusuk Barra tanpa disentuh.
Langkah Barra terhenti saat mendengar apa yang dikatakan oleh El. Dia sedikit menoleh ke arah belakang. Barra bingung, dia bingung, tidak tau harus menjawab apa lagi pada El.
Mengatakan pada El tentang apa yang terjadi sebenarnya sama aja bunuh diri. Barra tidak akan mungkin bisa mengatakan bahwa orangnya adalah Clara. Wanita yang sangat sangat El benci, wanita yang sudah merebut kebahagiaannya.
"Bar..." Panggil El.
"Dia udah punya kehidupan sendiri" Jawab Barra dingin dan seadanya, kemudian Barra melanjutkan langkahnya kembali ke Villa.
El tidak lagi mengoceh, gadis itu sepertinya benar-benar kelelahan. Tubuhnya terasa lemas. Karena sebenarnya, sebelum pergi ke kebun teh siang tadi, El sebenarnya memang sudah merasa tidak enak badan.
Barra dan El sudah sampai di Villa, Bi Tini yang melihat kedatangan keduanya buru-buru menghampiri El dan Barra ke depan.
"Alahamdulillah Non El udah ketemu untung nggak papa" Ucap Bi Tini sambil menghela nafas lega.
"Hehe El nggak kemana mana kok Bi." Jawab El tidak bersemangat, tapi dia masih tersenyum manis.
"Non El sakit ya?" Tanya Bi Tini.
"Enggak kok Bi. Mungkin karena kecapek an aja" Elak El.
"Oo yaudah deh Non. Selamat istirahat ya Non"
"Iya Bi. Makasih" sahut El. Kemudian Barra ikut permisi untuk segera masuk ke dalam kamar.
Di kamar, Barra mendudukkan tubuh El di tepi tempat tidur. Kemudian Barra memutar tubuhnya bejongkok di hadapan El.
Barra mendongak, menatap wajah El yang tampak pucat. El kali ini benar-benar terlihat berbeda dari El yang biasa Barra kenal. Raut wajahnya sekarang lebih ramah, apalagi saat saat lemah seperti ini.
"Dari kapan lo sakit? kenapa nggak bilang sama gue?"
El tersenyum tipis. "Sejak kapan gue apa-apa harus lapor sama lo? biasanya juga lo nggak peduli kan? lagian juga gue nggak sakit. Mungkin cuma kecapek an karena dari tadi gue nggak makan apa-apa. Cuma sarapan pagi sama lo doang" Jawab El bohong.
"Muka lo pucet banget. Lo tunggu disini, bersih-bersih dulu terus ganti baju. Gue keluar ambilin makanan dulu buat lo." Perintah Barra.
Barra berdiri, dia hendak melangkah pergi dari sana. Namun, El justru menarik tangan Barra hingga membuat Barra kembali menoleh.
"Kenapa?" Tanya Barra menatap wajah sayu El.
"Gue pengen peluk lo boleh?" Tanya El.
Barra tidak menyauti. Dia hanya diam menatap El bingung.
"Hm. Nggak boleh ya. Nggak papa kok Bar. Udah sana, maaf gue ngerepotin" El tersenyum. Dia perlahan melepaskan tangan Barra.
...Jangan lupa like, dan vote ya. Makasih :)...