Ketika Li Yun terbangun, ia mendapati dirinya berada di dunia kultivator timur — dunia penuh dewa, iblis, dan kekuatan tak terbayangkan.
Sayangnya, tidak seperti para tokoh transmigrasi lain, ia tidak memiliki sistem, tidak bisa berkultivasi, dan tidak punya akar spiritual.
Di dunia yang memuja kekuatan, ia hanyalah sampah tanpa masa depan.
Namun tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya, setiap goresan kuas, dan setiap masakannya…
menggetarkan langit, menundukkan para dewa, dan mengguncang seluruh alam semesta.
Dia berpikir dirinya lemah—
padahal seluruh dunia bergetar hanya karena napasnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 – Hari Santai yang Tak Pernah Benar-Benar Santai
Siang itu, sinar matahari menyelinap turun di antara celah dedaunan pohon beringin besar. Udara hangat berhembus lembut, membuat daun-daunnya bergoyang ringan seperti menari. Ikan-ikan koi di kolam kecil berenang santai, menciptakan riak halus yang menenangkan mata siapa pun yang melihat.
Di tengah suasana damai itu, Li Yun berbaring malas di kursi pantai yang baru saja ia buat pagi tadi—lengkap dengan payung lebar yang menaungi dirinya dari sengatan matahari. Ia mengenakan kemeja santai, celana pendek longgar, dan kacamata hitam yang membuatnya tampak seperti seseorang yang sedang liburan penuh gaya… padahal kenyataannya, dia hanya sedang mencoba menikmati setitik ketenangan dari kehidupan yang semakin absurd.
Di halaman, Xiao Bao dan Baal… ya, salah satu berupa anak manusia mungil dan satu lagi iblis kecil yang lincah—sedang berlari kesana-kemari, bermain kejar-kejaran sambil tertawa dan menjerit. Baal terbang sambil menggeliat lucu, Xiao Bao mengejarnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Ah…” Li Yun menghela napas panjang, puas.
“Akhirnya ada juga waktu untuk bersantai… hidup yang damai seperti ini… inilah surga.”
Sejenak, dunia benar-benar terasa sempurna.
Namun ketenangan itu pecah beberapa detik kemudian ketika suara langkah lembut terdengar dari belakang. Xiao Zhen datang membawa nampan perak berisi segelas jus jeruk yang masih berembun.
Pria itu—mantan pendekar pedang surgawi, yang kini LITERALL menjadi pekerja serba bisa—mendekat dengan langkah tegap dan penuh dedikasi.
“Tuan Li Yun, ini jus anda,” katanya sambil sedikit menunduk.
Li Yun membuka sedikit kacamatanya. Dan… ia sempat ternganga kecil.
Karena kini, Xiao Zhen tidak lagi menggunakan jubah robek dan lusuh yang dulu ia kenakan ketika pertama kali datang. Tidak. Dia memakai pakaian kerja berkebun warna cokelat muda, lengkap dengan topi jerami lebar seperti petani profesional. Di pinggangnya tergantung alat kecil untuk mencabut rumput liar, dan tangannya masih memegang sarung tangan kerja.
Penampilan itu begitu… rumahan.
“Terima kasih, Xiao Zhen,” Li Yun menerima jus itu, meminumnya, dan mengangguk puas.
Segar.
“Itu bukan masalah, Tuan,” jawab Xiao Zhen dengan senyum tulus, lalu berbalik.
Tanpa menunda, tanpa bertanya, tanpa beristirahat, pria itu menuju tembok pagar rumah. Ia langsung meracik adukan semen, mencampurnya dengan gerakan cekatan, lalu mulai memoles tembok yang retak.
Li Yun memiringkan kepala.
“Hah… ternyata memilih pekerja itu enak juga ya…” gumam Li Yun.
“Pekerjaan rumahku terasa jauh lebih ringan. Yah… jauh lebih ringan…”
Namun perasaan itu hanya bertahan beberapa detik.
Karena ingatannya langsung menamparnya.
Bayangan Xiao Zhen bekerja tanpa henti beberapa hari terakhir muncul satu per satu:
membersihkan seluruh kediaman hingga berkilau seperti baru dibangun, memanen sayuran, merawat kebun buah, memperbaiki gudang penyimpanan, mengecat dingin, menebang kayu bakar, mencabut rumput liar, menyapu halaman, menata kolam koi…
Bahkan selain tidur, Xiao Zhen hampir tidak berhenti bergerak.
Li Yun memandang Xiao Zhen lama, mengerutkan kening.
“…apakah dia benar-benar manusia?”
Bahkan di dunia lamanya, yang dipenuhi kerja rodi dan ekspektasi perusahaan kejam, dia belum pernah melihat manusia sehebat… ini.
“Bahkan mengeluh saja tidak…”
Dan sikap itu tidak berhenti di situ.
Li Yun masih ingat bagaimana ia berkali-kali memaksa Xiao Zhen untuk menerima gaji.
Dan bagaimana Xiao Zhen selalu menolak, seolah menerima uang adalah penghinaan.
“Aku hanya ingin dibayar dengan anggur, Tuan Li Yun. Anggur anda… terlalu sempurna.”
Alasan yang sungguh… tidak masuk akal.
Li Yun mengusap wajah.
“…dia sudah seperti budak korporat yang sangat loyal saja…”
Masalahnya, semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa bersalah.
Sangat bersalah.
“Apakah… aku memperkerjakan budak?”
Ia menatap Xiao Zhen dari atas kacamata hitamnya.
Di bawah terik siang, pria itu bekerja dengan senyum riang, seperti anak kecil yang menikmati permainan favoritnya.
Tidak ada paksaan.
Tidak ada tekanan.
Tidak ada beban.
Hanya… kebahagiaan murni.
Li Yun menghela napas, menyeruput jus jeruknya.
“Yah… selama dia tidak merasa tertekan… apa boleh buat. Dia terlihat bahagia.”
Li Yun kembali merebahkan diri, merasakan angin yang menampar pelan wajahnya.
Namun…
Ada sesuatu yang ganjil.
Terlalu tenang.
Terlalu damai.
Terlalu… adem.
Bulu kuduk Li Yun berdiri.
“Rasanya kalau terlalu tenang begini… kayak aneh.”
Benar saja.
Tuk… tuk… tuk…!
Ketukan keras terdengar dari arah gerbang.
Li Yun langsung menutup wajah.
“…sial. Harusnya aku tidak berkata apa-apa barusan.”
Xiao Zhen segera meninggalkan adukan semennya, menepuk sarung tangannya, dan berjalan menuju gerbang. Begitu dia membuka, kedua tamu yang berdiri di depan langsung membelalakkan mata.
Mu Qinglan dan Bai Yuan.
Mereka menatap Xiao Zhen atas-bawah.
Pakaian kebun.
Topi jerami.
Alat pengaduk semen.
Aura sakti tersembunyi yang bisa membuat naga gemetar.
Paduan yang… tidak masuk akal.
“Kalian mau apa?” Xiao Zhen bertanya dingin.
Mu Qinglan dan Bai Yuan langsung tegang. Bai Yuan mengangkat tangan kecil sebagai gestur damai.
“Maaf! Kami bukan orang jahat! Kami kenalan Senior Li!"
Xiao Zhen mengerutkan kening.
Melihat reaksi mereka, ia melunak.
“Ah, begitu rupanya.”
Ia menarik napas. “Maaf atas kekasaran saya. Tuan Li Yun ada di dalam.”
Mu Qinglan menatapnya lama.
“Kau siapa?”
Xiao Zhen menjawab tanpa ragu.
“Pelayan Tuan Li Yun.”
Bai Yuan sempat tersedak udara.
Karena saat Xiao Zhen mengucapkan itu, tubuhnya memancarkan aura samar… Qi dengan tekanan yang membuat tanah bergetar tipis.
Orang sekuat itu… jadi pelayan!?
Bai Yuan ingin berkomentar… tapi tidak berani.
“Sudah lama kau bekerja di sini?” tanyanya dengan hati hati.
“Belum,” jawab Xiao Zhen santai. “Baru beberapa hari.”
“Ah…” Bai Yuan hanya bisa tersenyum kaku.
Pantas saja waktu itu kami tidak melihatmu…
Mereka akhirnya tiba di halaman depan.
Dan pemandangan yang mereka lihat…
Seorang pria muda bersandar di kursi pantai, mengenakan kacamata hitam, ditemani ikan koi dan angin lembut.
Sama sekali tidak terlihat seperti ahli sakti.
Sama sekali tidak terlihat seperti legenda hidup.
Sama sekali tidak terlihat… sebagai ancaman.
Li Yun menurunkan kacamatanya sedikit.
“Hm?”
Ia langsung duduk tegak.
“Oh, halo Pak Bai Yuan, Nona Mu Qinglan.”
Keduanya langsung memberi salam hormat dengan penuh hormat.
“Kami meminta maaf karena telah mengganggu waktu istirahat anda, Senior Li.”
Li Yun mengibaskan tangannya.
“Sudahlah, kalian masih saja tegang seperti itu. Bersantai sedikit. Duduk.”
Mu Qinglan dan Bai Yuan duduk pelan, seperti murid yang takut memecahkan barang antik mahal. Sementara itu, Xiao Zhen kembali bekerja, mengaduk semen dengan semangat dan ritme yang ganjilnya… sangat indah.
Li Yun menatap mereka sambil mereguk jus.
“Jadi, ada perlu apa?”
Bai Yuan menghela napas panjang, kemudian berkata dengan suara penuh kekhawatiran:
“Begini, Senior Li… anda pasti sudah mendengar tentang masalah genting di daerah ini. Seluruh warga Kota Qinghe kini hidup dalam kecemasan.”
Li Yun mengangguk.
Ia memang pernah mendengar dari tetangga toko herbal.
“Yang soal monster iblis itu, kan?”
“Benar.” Bai Yuan mengangguk tegas.
Mu Qinglan ikut mengiyakan.
Lalu Bai Yuan menatap Li Yun dengan penuh harap.
“Karena itu… kami ingin meminta saran dari Senior Li. Jika anda tidak keberatan.”
Keheningan turun.
Angin berhenti.
Baal dan Xiao Bao menghentikan kejar-kejaran, menatap mereka.
Bahkan ikan koi seolah mendekat.
Li Yun… terdiam lama.
Lalu dalam hati ia berkata:
“Lah… apa gunanya saran dari makhluk seperti ku. Aku aja ga ada kultivasi, mau ngasih saran apaan. Aku mana tau tutorial cara membunuh hewan iblis.”