NovelToon NovelToon
Bukan Sistem Biasa

Bukan Sistem Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Dikelilingi wanita cantik / Sistem
Popularitas:16.4k
Nilai: 5
Nama Author: Sarif Hidayat

Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
​Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
​Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
​Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
​[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
​Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 tiba dengan belanjaan yang cukup banyak

​[Rama dan Bela sudah meninggalkan lokasi]

​Beberapa menit setelah angkot yang dinaiki Rama dan Bela bergerak menjauh, sebuah mobil Patroli Kepolisian berhenti tepat di depan pintu masuk pasar yang kini mulai sepi. Dua mobil lain menyusul, membunyikan sirene singkat sebelum mematikan mesin.

​Seorang wanita melangkah keluar dari mobil pertama. Rambutnya diikat rapi, seragamnya bersih, dan matanya tajam. Namanya Sherline, Kapten Satuan Reserse yang bertugas di distrik tersebut. Raut wajahnya menunjukkan kekecewaan—mereka datang terlambat

​"Apa yang terjadi di sini? Laporan menyebutkan keributan besar dengan puluhan preman," tanya Sherline, suaranya tenang namun mengandung otoritas mutlak. Ia berbicara pada Pak RT dan pedagang lainnya.

​"K-Kapten Sherline... Sudah selesai, Bu. Semuanya sudah selesai," kata seorang tertua di pasar "Lebih dari lima puluh orang itu... dirobohkan oleh satu orang. Seorang anak muda bernama Rama."

​Sherline menghela napas, frustrasi karena terlambat. "Dirobohkan? Tanpa senjata? Lima puluh preman yang selama ini berafiliasi dengan target kita?"

​Tiba-tiba, seorang pemuda yang sedari tadi merekam dari kejauhan maju dengan tangan gemetar.

​"Maaf, Bu Polisi! S-saya punya videonya. Sedikit goyah, tapi... ini buktinya!" Pemuda itu menyodorkan ponselnya.

​Sherline mengambil ponsel itu tanpa ragu. Layar menampilkan rekaman buram dan bergerak-gerak, fokusnya sering hilang. Namun, di antara bayangan kerumunan, ia melihat kilasan yang cukup untuk membuat jantungnya berdebar.

​Aksi Rama terjadi sangat cepat. Itu bukan pertarungan jalanan. Itu adalah... seni bela diri tingkat tinggi. Gerakan yang efisien, perpindahan pusat gravitasi yang nyaris sempurna, dan force yang digunakan untuk melumpuhkan lawan jauh melampaui pelatihan preman mana pun.

​Sherline, yang dididik dan dilatih langsung oleh ayahnya, seorang Jenderal Polisi, untuk kasus ini, langsung bisa menilai kualitas gerakan tersebut.

​"Luar biasa," bisik Sherline. Ia mengembalikan ponsel itu. "Kirim video itu padaku dan Kau bisa pergi."

Pria itu pun langsung mengirim video tersebur ke ponsel pribadi milik Sherline,

"Terima kasih atas kerja samanya."ucap Sherline setelah menerima kirim video tersebut.

​Sherline berbalik menghadap Sersan Hadi dan timnya, matanya kini memancarkan fokus yang intens, bukan lagi frustrasi.

​"Kita mendapat petunjuk besar," katanya, menunjuk ke layar ponsel Rama yang terekam di benaknya. "Lima puluh preman itu adalah mata rantai terakhir yang kita butuhkan untuk mengungkap jaringan penyelundupan. Mereka adalah kelompok yang selama ini meresahkan masyarakat dan membuat Ayah—maksudku Bapak Kapolres—mengutusku untuk membereskannya."

​Ia berhenti sejenak.

​"Dan sekarang, satu pemuda dari desa bernama Rama itu, melumpuhkan seluruh rantai itu dalam hitungan menit. Hanya dengan tangan kosong."

​Sherline mengepalkan tangan. "pemuda ini, menguasai keahlian bela diri yang sangat langka. Ini bukan ilmu silat kampung. Ini keahlian tempur yang butuh pelatihan intensif bertahun-tahun."

​"Mulai malam ini juga," perintah Sherline dengan nada yang tidak menerima bantahan, mencerminkan otoritas yang diberikan oleh ayahnya. "Selidiki setiap inci tentang Rama. Latar belakang, kemampuan finansial, dan terutama: dari mana dia mendapatkan pelatihan ini."

​"Aku ingin tahu segalanya. Setiap pergerakan, setiap koneksi. Aku yakin, anak muda ini bukan sekadar pahlawan dadakan. Dia adalah kunci untuk memahami atau bahkan menghentikan Sistem yang kita cari, Sersan."

​Sersan Hadi memberi hormat tegas. "Siap, Kapten Sherline! Kami akan bergerak senyap

Angkot berhenti di depan rumah sederhana Pak Suhardi. Udara mulai dingin. Rama dan Bela turun, masing-masing membawa beban yang menunjukkan betapa suksesnya sore itu.

​Rama memanggul kantong-kantong belanjaan bahan makanan dan buah-buahan—terutama buah naga kesukaan Bela—yang menutupi lengannya. Sementara itu, Bela memeluk kantong berisi pakaian baru dan kotak ponsel Rose Gold miliknya, yang terasa begitu berharga.

​Pintu terbuka dan Bu Maya muncul, tersenyum menyambut mereka. Senyumnya segera memudar ketika melihat tumpukan barang yang dibawa Rama.

​"Astaga, Rama! Kalian membawa apa saja ini?" tanya Bu Maya, matanya terbelalak melihat kuantitas belanjaan. "Sejak kapan kita butuh bahan makanan sebanyak ini? Dan buah-buahan mahal?"

​"Selamat sore, Bu," sapa Rama santai, meletakkan semua kantong di lantai teras. "Rama hanya membeli kebutuhan dapur, Bu. Rama lihat stok di rumah sudah menipis."

​Pak Suhardi keluar, mengikuti aroma buah naga dan sayuran segar. Ia juga terkejut. "Nak Rama, ini banyak sekali. Bahkan ada daging yang bagus. Kami sudah memberikan uang belanja, apakah itu tidak cukup?"

​Bela melangkah maju. Ia masih memeluk kotak ponselnya erat-erat, menyembunyikannya sedikit di balik tubuhnya.

​"Pak, Bu," kata Bela. Ia merogoh saku roknya dan menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepada Pak Suhardi. "Ini uangnya. Sisanya masih ada, tapi Rama yang membayar sebagian besar belanjaan kami."

​Pak Suhardi dan Bu Maya saling pandang. Uang yang mereka berikan tidak mungkin cukup untuk membeli semua barang di depan mereka, apalagi masih ada sisanya.

​"Rama, Nak. Dari mana kamu dapat uang sebanyak ini?" tanya Pak Suhardi, nadanya kini beralih dari kehangatan menjadi rasa ingin tahu yang hati-hati. Ia tidak mau menuduh, tetapi ia juga tidak mau Rama melakukan hal yang tidak benar.

​Rama tersenyum tipis—senyum yang selalu berhasil menenangkan kekhawatiran orang tua angkatnya.

​"Seperti yang pernah Rama ceritakan saat makan malam, Pak, Bu.," jawab Rama,

​Ia melirik Bela, memberi isyarat agar Bela tidak mengatakan apa-apa lagi. Bela yang masih merasakan getaran ketegasan Rama di toko ponsel, segera mengangguk patuh.

​Bu Maya memandang Bela yang kini memeluk kotak persegi. "Bela, itu apa yang kamu peluk?"

​Bela ragu sejenak. Rama hanya berpesan agar tidak berlebihan menceritakan harganya dan kartu hitam.

​"Ini... ponsel baru, Bu. Rama membelikannya untukku," bisik Bela, menunjukkan kotak itu. Ia sengaja tidak menyebutkan nama model X-Series ataupun harganya yang hampir lima setengah juta rupiah.

​Mata Pak Suhardi dan Bu Maya kembali terbelalak. Ponsel baru? Mereka tahu Rama tidak mungkin punya uang untuk membeli ponsel yang layak, apalagi model terbaru.

​Bu Maya memegang bahu Rama, matanya mencari kebenaran. "Nak, sungguh. Kami tidak ingin kamu terjerumus ke hal-hal buruk. Kalau uang ini didapat dengan cara yang tidak benar, kami lebih baik tidak menerima semua ini."

​Rama menatap mata Bu Maya, memberikan pandangan yang tulus. "Tenang, Bu. Uang ini halal. orang itu memang memberikan uang dengan jumlah cukup besar. Tolong jangan khawatir."

​Meskipun merasa ada yang janggal—terutama tentang sosok 'orang baik' yang rama bicarakan itu, tetapi mengingat bahwa selama ini mereka mengenal Rama adalah anak yang jujur, Bu Maya dan Pak Suhardi memutuskan untuk menerima. Mereka percaya pada ketulusan Rama, dan yang terpenting bagi mereka adalah Rama tidak terlibat dalam kegiatan ilegal atau curang.

​"Baiklah, Nak," kata Pak Suhardi, menghela napas. "Terima kasih banyak. Tapi jangan pernah berbohong pada kami, ya. Kami menganggapmu seperti anak kami sendiri."

​"Tentu, Pak," jawab Rama, lega. "Ayo kita angkat belanjaannya. Biar Rama siapkan buah naga untuk Bela setelah mandi."

1
Memyr 67
𝗇𝖺𝗆𝖺 𝗍𝖾𝗆𝖺𝗇 𝖺𝗒𝖺𝗁𝗇𝗒𝖺 𝗋𝖺𝗆𝖺 𝗌𝗎𝗉𝗋𝗂𝖺𝖽𝗂 𝖺𝗍𝖺𝗎 𝗌𝗎𝗁𝖺𝗋𝖽𝗂? 𝗄𝗈𝗄 𝗀𝖺𝗇𝗍𝗂 𝗀𝖺𝗇𝗍𝗂?
kenzo
crazy up Thor
TUAN AMIR
mantap Thor. sambung lagi. ceritanya menarik 👍👍
Fatkhur Kevin
deni sampah
Saepul Laut
mantap bos ku
Rhagiel
saya sih oke....hihihiiiiii 🫣
Abdul Khoidir Hatala
keren
Abdul Khoidir Hatala
lanjutkan Thor
Durma Imamudin
cukup menghibur
Andira Rahmawati
buah naganya buat bela aja ..q juga suka☺️..
lanjut thorrrr💪💪💪
Andira Rahmawati
cerita yg menarik...👍👍👍
Cihuk Abatasa (Santrigabut)
Nice Thor
Santoso
Kayak jadi ikut merasakan cerita yang dialami tokohnya.
shookiebu👽
Keren abis! 😎
Odalis Pérez
Gokil banget thor, bikin ngakak sampe pagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!