Wulan, seorang bayi perempuan yang diasingkan ke sebuah hutan karena demi menyelamatkan hidupnya, harus tumbuh dibawah asuhan seekor Macan Kumbang yang menemukannya dibawa sebatang pohon beringin.
Ayahnya seorang Adipati yang memimpin wilayah Utara dengan sebuah kebijakan yang sangat adil dan menjadikan wilayah Kadipaten yang dipimpinnya makmur.
Akan tetapi, sebuah pemberontakan terjadi, dimana sang Adipati harus meregang nyawa bersama istrinya dalam masa pengejaran dihutan.
Apakah Wulan, bayi mungil itu dapat selamat dan membalaskan semua dendamnya? lalu bagaimana ia menjalani hidup yang penuh misteri, dan siapa yang menjadi dalang pembunuhan kedua orangtuanya?
Ikuti kisah selanjutnya...,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertama Ke Warung
Duk duk duk
Suara derap langkah kaki kuda tiba dikaki bukit saat mentari hampir temaram. Mereka sudah seharian melakukan perjalanan, dan pastinya akan beristirahat sejenak.
Terlihat banyak deretan rumah para warga yang cukup bagus, dan tampaknya mereka para pekerja keras, sehingga memiliki rumah yang terbilang kalangan menengah pada masanya.
Lampu-lampu minyak yang terpasang disetiap rumah menambah kelap dan kelip yang terlihat sangat apik, sehingga membuat gadis itu menatap dengan takjub, sebab ia tidak pernah melihat hal itu sebelumnya.
Wulan Ningrum terus memandangi kerlipan lampu tersebut dengan begitu indah.
Selama. ini ia hanya sebuah obor saja saat didalam goa. Ia tak henti-hentinya berdecak kagum.
"Kita akan mencari penginapan dan juga tempat makan malam," Rajendra menarik tali kekang kudanya dan mendahului sang gadis.
Wulan Ningrum yang tidak pernah mengenal dunia luar merasa sangat kagum saat melihat semua hal baru yang ia alami.
Dari kejauhan, terlihat sebuah warung yang cukup ramai dikunjungi oleh para warga dan sepertinya mereka tidak mengenal waktu meski hari sudah senja, tetapi mereka tidak pulang kerumah, namun memilih untuk nongkrong diwarung kopi sembari memakan gorengan dan camilan lainnya.
Keduanya menghentikan kuda tepat didepan warung, lalu memasukinya yang langsung disambut dengan tatapan penuh kecurigaan pada keduanya.
Namun sebagian memindai penampilan Wulan Ningrum yang sungguh berbeda dari gadis biasanya.
Wajah cantiknya dengan rambut lurus panjang, dan kulitnya yang putih bersih, membuat ia terlihat sangat mempesona.
Mata-mata nakal tertuju padanya, sedangkan Rajendra menyadari hal tersebut, dan hal yang wajar jika mereka mengagumi kecantikan sang gadis, namun jangan coba untuk menyentuhnya, jika tidak ingin mengalami patah tangan.
Rajendra menghampiri pemilik warung yang merupakan wanita berusia sekitar lima puluh tahunan.
Tubuhnya sedikit tambun dan wajahnya terlihat lebih tua dibanding dengan usianya.
"Nisanak, pesan nasi dengan ayam goreng, dan wedang jahe panas dua ya," ucapnya dengan sopan pada sang penjual.
Wanita itu menganggukkan kepalanya. Lalu membuat pesanan yang diminta oleh Rajendra.
Keduanya menuju meja yang berada disudut ruangan dan menunggu pesanan.
Wulan Ningrum memperhatikan setiap pembeli yang didominasi oleh pria.
Terlihat mata mereka tertuju padanya, dan hal itu membuat sang gadis merasa sangat risih.
"Apa yang mereka perhatikan dariku? Mengapa menatap tanpa berkedip?" Ia merasa tak nyaman saat menjadi pusat perhatian.
"Jangan memandang mereka, jika kau tak ingin menjadi santapan," bisik Rajendra pada sang gadis.
Sontak saja hal itu membuatnya sangat terkejut, sebab masih belum mengerti apa yang dimaksud dengan santapan yang dikatakan oleh pemuda itu barusan.
Namun ia mencoba menurut, dan memalingkan wajahnya dari tatapan para pria yang merupakan pelanggan diwarung.
Usia mereka sangat bervariatif. Ada yang masih remaja, namun juga ada yang paruh baya, bahkan sudah sepuh, namun masih suka ke warung.
Tak berselang lama, pesanannya datang. Aroma ayam goreng dengan bumbu rempah yang menggugah selera membuat Wulan Ningrum tak sabar untuk menyantapnya, maklum, baru kali ini ia merasakan masakan yang berbeda, sebab selama ini, ia hanya makan dengan cara dibakar saja, dan tanpa bumbu.
Saat ia menyeruput wedang jahe yang dicampur madu tersebut, tenggorokannya merasakan sesuatu yang fantastis. Bagaimana tidak, ia baru saja merasakan manisnya madu, gula aren, dan juga susu sapi.
Saat ia melihat Rajendra memakan ayam goreng berbumbu dengan sambal bawang dan juga nasi, ia tak sabar untuk ikut menyantapnya.
Saat lidahnya merasakan maskaan tersebut, ia sangat begitu kegirangan. Hal itu tentu saja membuat orang-orang memandangnya dengan perasaan heran.
Wulan Ningrum memakannya dengan cepat, dan menghabiskannya dengan waktu yang singkat.
Rajendra menggelengkan kepalanya. Lalu memanggil sang pemilik warung. "Mbak, tolong bungkuskan satu porsi lagi," ucapnya dengan sopan.
"Iya, Mas," jawab pemilik warung sambil sekilas melirik ke arah sang gadis yang cara makannya tampak begitu lepas, sama sekali tidak menyembunyikan rasa laparnya.
Rasanya sangat aneh, tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan.
Wulan Ningrum benar-benar tidak perduli dengan apa yang fikirkan orang-orang tentangnya.
Rajendra mengalihkan pandangan dan menatap ke arah pemilik warung. "Disini apakah ada tempat penginapan?" tanyanya, berusaha menghapus pikirannya tentang Wulan Ningrum sebelum ia melantur lebih jauh.
Wanita pemilik warung itu menghentikan langkahnya sejenak, terlihat berpikir sebelum menjawab. "Ada, Mas. Di rumah ketiga dari warung ini, ada rumah yang disewakan. Cari saja yang namanya Juragan Danu," jelasnya dengan nada ramah.
Rajendra menganggukkan kepala, memastikan jika ia menyimak baik-baik informasi itu. "Terima kasih atas informasinya. Saya akan mencarinya," jawabnya dengan sopan.
Dalam hati ia menyadari, cara pemilik warung yang menjawab dengan tersenyum tipis seolah ingin segera melayani pembeli lain, tapi tetap berusaha menjaga kehangatan komunikasi dengan pelanggan yang datang kewarungnya,dsn itu adalah cara atau trik agar mereka datang kembali berkunjung.
Ada sesuatu yang menenangkan dari keramahan penduduk desa ini. Rajendra merasa dirinya sedikit tersentuh, bahkan untuk hal-hal kecil seperti ini.
Saat wanita itu berlalu, ia kembali melirik Wulan Ningrum sekali lagi. Sikap santainya, bahkan dalam situasi yang mungkin dianggap canggung oleh orang lain, tetapi ia tak begitu menghiraukannya.
"Kamu disini sebentar, aku akan melihat kamar untuk kita menginap, jangan kemana-mana," pesannya pada sang gadis, sebelum ia beranjak dari warung tersebut.
Wulan Ningrum menganggukkan kepalanya, dan bersikap patuh.
Setelah kepergian Rajendra, gadis itu menyeruput wedang jahenya, sembari mengamati orang-orang yang datang silih berganti diwarung tersebut.
Tak berselang lama, ia melihat dua orang pria yang datang dengan wajah sangar. Salah satunya bertangan puntung, dan menyebarkan aroma sangit yang membuat perut mual.
Keduanya duduk membelakangi Wulan Ningrum, lalu memesan makanannya. Setelah itu, mereka tampak mengobrol. "Apakah kau sudah mendengar tentang Akuji? Wanita cantik yang dapat mendatangkan kekayaan, tetapi syaratnya harus tidur dengannya," ucap pria berbau sangit tersebut.
"Ya, aku mendengarnya. Kabar yang beredar, ia berada di Kadipaten Utara, dan sepertinya Adipati Bisrah akan mengangkatnya menjadi istri," sabut rekannya yang bertubuh gempal. Ia juluki pendekar Angin Maut, dimana kekuatan dalam mengendalikan angin yang dimilikinya, dapat membuat lawannya terbang hingga ke negeri antah berantah atau juga negeri dongeng Konoha.
Deeeegh
Jantung Wulan Ningrum seolah berhenti berdegub. Ia memasang telinganya untuk menguping.
"Ya, kalau Adipati Bisrah sudah pasti kepincut. Sedangkan Lastri istri Adipati Wijaya Ningrat yang ia bunuh saja masih sempat dicicipi, padahal sedang berdarah habis melahirkan," sahut pria ceking berbau sangit itu.
"Nah itu dia, apalagi yang cantik dan semik, pasti dia tidak tahan untuk melahapnya," Pendekar Angin Maut membenarkan. Dan saat hidangan mereka tersaji, keduanya mencicipi segera.
"Tapi kabar puterinya yang ia buang dihutan bagaimana?" Pendekar berjuluk Walang Sangit terlihat sangat penasaran.
"Gak mungkin bayi merah seperti itu hidup sendirian ditengah hutan, gak menyusu dengan ibunya dua puluh empat jam saja pasti sudah lemah dan mati," Pendekar Angin Maut terlihat optimis dengan ucapannya.
"Iya. Semoga saja dia mati. Tapi meskipun begitu, aku juga sempat merasakan legitnya apem Lastri, meski sudah tak bernyawa, tetapi masih tetap enak," Walang Sangit mengingat momen tersebut, dan seketika darah Wulan Ningrum mendidih mendengarnya.
berguling dibukit diiringi lagu
tum pa se aeeee