Velora, dokter muda yang mandiri, tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah hanya karena satu janji lama keluarga. Arvenzo, CEO arogan yang dingin, tiba-tiba menjadi suaminya karena kakek mereka dulu membuat perjanjian yakni cucu-cucu mereka harus dijodohkan.
Tinggal serumah dengan pria yang sama sekali asing, Velora harus menghadapi ego, aturan, dan ketegangan yang memuncak setiap hari. Tapi semakin lama, perhatian diam-diam dan kelembutan tersembunyi Arvenzo membuat Velora mulai ragu, apakah ini hanya kewajiban, atau hati mereka sebenarnya saling jatuh cinta?
Pernikahan paksa. Janji lama. Ego bertabrakan. Dan cinta? Terselip di antara semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Masih sakit?
Velora keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan. Jubah putih yang menutupi tubuhnya tampak longgar, rambutnya masih basah menetes di bahu. Ia duduk di tepi ranjang, berusaha rileks, meski wajahnya kembali memanas saat teringat kejadian semalam.
Arvenzo yang sejak tadi bersandar sambil memegang tablet langsung menaruhnya di samping. Pandangannya penuh perhatian.
“Vel…” panggilnya pelan. “Masih sakit nggak? Aku takut semalam terlalu kasar sama kamu.”
Velora terdiam sejenak, menunduk, lalu menggigit bibirnya. Dengan suara lirih, ia menjawab, “Awalnya memang sakit, tapi sekarang sudah mendingan. Dan aku tahu kamu berusaha pelan-pelan, Ar.”
Arvenzo menghela napas lega, lalu duduk lebih dekat. Tangannya mengusap lembut rambut basah Velora, jemarinya penuh hati-hati. “Aku minta maaf ya, semalam aku kebawa suasana.”
Velora menoleh perlahan, matanya bertemu dengan mata Arvenzo. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Nggak perlu minta maaf. Aku yang mengizinkan kamu dan aku nggak nyesel.”
Arvenzo menatapnya dalam, lalu menunduk memberi ciuman singkat di kening Velora. Semenjak mereka saling membuka hati, Arvenzo sering melakukan physical touch pada Velora. “Aku janji lain kali aku bakal lebih pelan lagi. Aku nggak mau kamu kesakitan.”
Velora tersenyum tipis, wajahnya masih memerah. “Aku tahu, Ar. Kamu nggak usah khawatir berlebihan. Sekarang giliran kamu mandi.”
Sebelum beranjak ke kamar mandi Arvenzo menatap Velora sebentar, nada suaranya lembut tapi tulus. “Terima kasih, sudah menjaga mahkotamu, dan memberikannya padaku.”
Velora menunduk sebentar, lalu menatap Arvenzo dengan lembut. “Aku memberikannya karena aku ingin jadi istri seutuhnya untukmu, Ar. Bukan sekadar kata-kata, tapi aku ingin menunjukkan kalau aku benar-benar milikmu, sepenuhnya.”
Arvenzo tersenyum tipis, matanya lembut menatap Velora. “Terima kasih, sungguh aku menjadi lelaki beruntung mendapatkan itu.”
Setelah itu, ia melepaskan tangan Velora perlahan, lalu menuju kamar mandi.
...****************...
Velora bangkit perlahan dari tepi ranjang, menarik napas panjang sambil menata sweater hangatnya. Rambutnya masih lembap, tapi ia sudah merasa lebih nyaman. Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu kamar.
“Permisi, Nyonya. Sarapan sudah siap. Tuan Arvenzo memesannya saat Nyonya mandi,” suara pegawai resort terdengar lembut dari luar menggunakan bahasa Inggris.
Velora membuka pintu mempersilahkan pegawai itu membawa masuk troli makanan. Setelah pegawai resort keluar, ia menutup pintu lalu berjalan menuju ruang makan.
Beberapa menit kemudian, Arvenzo keluar, rambutnya masih sedikit basah, mengenakan pakaian kasual hangat. Ia tersenyum melihat Velora sudah siap dan menatapnya dengan hangat.
Arvenzo meraih tangan Velora sebentar, menatap matanya. “Sarapan sudah tersedia. Ayo, kita makan dulu sebelum keluar jalan-jalan.”
Velora Tersenyum, menggenggam tangannya sebentar. "Hmm... hari ini kita mau ke mana?”
Arvenzo mencondongkan tubuh sedikit, menatap istrinya sambil tersenyum. “Kamu maunya ke mana?”
Velora menunduk sebentar, berpikir sejenak. “Aku pengen ke Disneyland. Sudah lama aku pengin ke sana, dan ini kan kesempatan kita di Jepang,” katanya sambil tersenyum malu.
Arvenzo mengangguk perlahan. “Baiklah, kita ke Disneyland.”
Velora tersenyum lebih lebar dan mengangguk.
Setelah sarapan selesai, Velora dan Arvenzo turun ke lobi resort. Udara dingin langsung menyapa begitu pintu kaca terbuka. Di depan, sebuah mobil hitam elegan sudah terparkir, lengkap dengan sopir yang menunggu.
“Mobilnya sudah siap, Tuan,” ucap sopir sambil sedikit membungkuk.
Arvenzo mengangguk singkat. Ia membuka pintu mobil untuk Velora lebih dulu. “Masuklah, Vel.”
Velora tersenyum kecil, lalu masuk dan duduk di kursi belakang. Tak lama, Arvenzo ikut masuk, duduk di sampingnya. Begitu pintu tertutup, mobil mulai melaju meninggalkan area resort.
Sepanjang perjalanan, Velora menempelkan keningnya ke kaca jendela, memperhatikan jalanan Jepang yang rapi dan bersih. Pohon-pohon dengan daun bunga sakura yang sedang bermekaran menghiasi sisi jalan.
“Bagus banget ya, pemandangannya,” gumam Velora.
Arvenzo melirik sebentar. “Kamu suka?”
Velora mengangguk, matanya masih berbinar. “Suka banget. Rasanya beda sama di negara kita. Semuanya terlihat rapi dan bersih.”
Mobil terus melaju melewati jalan tol yang cukup lengang. Sesekali Velora menoleh ke Arvenzo, lalu tersenyum. “Aku jadi nggak sabar, Ar. Rasanya kayak mimpi bisa ke Disneyland bareng kamu.”
Arvenzo meraih tangan Velora, menggenggamnya erat. “Hari ini kita nikmatin sepuasnya, ya.”
Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam. Saat mobil akhirnya berhenti di area parkir Tokyo Disneyland, Velora langsung menegakkan tubuhnya. Matanya membesar melihat gerbang besar dengan bendera-bendera berwarna cerah dan kastil menjulang di kejauhan.
“Akhirnya kita sampai juga,” ucap Velora senang.
Arvenzo tersenyum tipis melihat ekspresinya. “Ayo, waktunya main.”
Mereka turun dari mobil, udara dingin kembali menusuk, membuat Velora buru-buru merapatkan jaket tebalnya. Arvenzo tanpa banyak kata meraih tangannya, menuntunnya menuju pintu masuk.
Mobil yang membawa mereka berhenti tepat di depan Tokyo Disneyland. Dari kejauhan, kastil Cinderella yang menjulang sudah tampak megah, berdiri anggun seperti lambang negeri dongeng. Udara dingin menusuk, membuat Velora merapatkan jaket tebalnya sambil menatap takjub ke arah gerbang masuk.
“Rasanya seperti mimpi, sejak kecil pengen kesini tapi baru kesampaian sekarang,” ucapnya sambil tertawa kecil, matanya berbinar penuh semangat.
Arvenzo meliriknya, sudut bibirnya terangkat. “Aku akan mewujudkan mimpi kamu itu satu persatu.”
Hati Velora menghangat. Arvenzo meraih tangan Velora, menggenggamnya lalu menuntun masuk.
Begitu melewati gerbang, dunia lain seolah terbuka. Jalanan penuh lampu warna-warni, musik riang khas Disney bergema di udara, aroma manis popcorn dan cotton candy langsung menggelitik hidung. Anak-anak berlarian dengan telinga Mickey Mouse di kepala mereka, sementara balon-balon berbentuk karakter Disney beterbangan.
Velora berhenti sejenak, matanya menyapu pemandangan sekitar. “Astaga, ini lebih indah daripada yang kubayangkan.”
“Kalau begitu, kita harus nikmati setiap sudutnya,” jawab Arvenzo sambil menggandeng tangannya erat.
Mereka memulai dengan Carousel yang penuh hiasan lampu gemerlap. Velora naik ke atas kuda berwarna putih dengan surai emas, lalu tertawa lepas ketika wahana mulai berputar pelan. Rambutnya sedikit beterbangan karena angin, membuatnya terlihat begitu bebas. Arvenzo, yang duduk di sampingnya, lebih banyak tersenyum melihat ekspresi polos istrinya.
“Aku kayak anak kecil lagi!” seru Velora sambil tertawa.
“Kalau kamu anak kecil, berarti aku ini ayah yang nemenin main?” sahut Arvenzo, membuat Velora mencubit lengannya pelan dan Arvenzo langsung terkekeh.
Setelah itu mereka mencoba Pirates of the Caribbean. Saat kapal kayu kecil itu masuk ke lorong gelap dengan efek bajak laut, Velora refleks menggenggam lengan Arvenzo erat-erat.
“Ar, ini serem banget, sumpah!” bisiknya, meski matanya tak lepas dari animatronik bajak laut yang bergerak begitu nyata.
Arvenzo menoleh sekilas, lalu berbisik lembut di telinganya, “Tenang, aku ada di sini. Kalau ada bajak laut beneran, aku yang duluan ngelawan.”
Velora tertawa, meski masih menempel erat padanya sampai kapal keluar dari lorong.
Tak lama kemudian, dentuman musik riang menarik perhatian mereka. Parade Disney dimulai. Jalanan dipenuhi orang yang berbaris di pinggir jalur, menyambut kereta hias penuh karakter Disney. Mickey, Minnie, Donald, hingga Elsa melambaikan tangan sambil menyanyi. Lampu-lampu warna-warni menghiasi setiap kereta yang lewat.
Velora tak berhenti bertepuk tangan. Matanya berkaca-kaca, entah karena bahagia atau terharu. “Rasanya aku beneran ada di negeri dongeng.”
Arvenzo meliriknya, senyum lembut tersungging di wajahnya. “Kalau sama kamu, aku nggak masalah jadi pangeran di negeri dongeng ini.”
Sore hari, mereka memberanikan diri mencoba wahana menantang, Space Mountain. Saat roller coaster meluncur kencang di ruang gelap penuh cahaya bintang buatan, Velora menjerit kencang. Tangannya mencengkeram erat tangan Arvenzo, sementara laki-laki itu hanya terkekeh kecil, jelas menikmati momen istrinya begitu gugup namun semangat.
Begitu wahana berhenti, Velora langsung menepuk dadanya. “Ya Tuhan, aku kira jantungku copot!”
Arvenzo menahan tawa. “Kalau copot, nanti aku pasangin lagi.”
Velora mendelik, meski pipinya memerah karena malu sekaligus senang.
Menjelang senja, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati churros hangat dan secangkir cokelat panas. Di hadapan mereka, kastil Cinderella mulai menyala dengan lampu-lampu indah, membuat suasana semakin magis.
“Aku nggak pengen hari ini cepat selesai,” ujar Velora pelan, menatap kastil dengan wajah sendu.
Arvenzo menoleh, lalu menggenggam tangannya di atas meja. “Hari ini baru awal, Vel. Masih banyak hari yang bisa kita isi bareng.”
Ketika malam tiba, pertunjukan fireworks show dimulai. Langit di atas kastil meledak dengan warna-warni kembang api, berpadu dengan musik orkestra Disney yang megah. Velora berdiri dengan mata terbelalak, bibirnya ternganga kagum.
“Indah banget,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Arvenzo melingkarkan lengannya di bahu Velora, menariknya lebih dekat. “Iya indah, tapi masih kalah sama kamu yang lagi senyum sekarang.”
Velora menoleh sekilas, wajahnya memanas karena ucapan suaminya. Ia hanya bisa tersenyum malu, lalu bersandar di dada Arvenzo, menikmati hangat tubuhnya di tengah dingin malam Jepang.
Hari itu benar-benar jadi hari yang tak akan mereka lupakan.
Seorang dokter iya profesinya, istri statusnya sekarang jadi perawat dengan pasien suaminya sendiri🤭🤭