Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Begitu kabar Hannah dan Yasmin masuk rumah sakit menyebar, Mutiara dan dua karyawan warung nasi segera meninggalkan warung dalam keadaan setengah panik. Keringat dingin membasahi pelipis mereka meski baru menempuh jarak pendek. Wajah mereka cemas, langkah tergesa-gesa, seolah takut mendengar kabar yang lebih buruk lagi saat sampai.
"Padahal Mbak Hannah tadi enggan ikut, tapi Yasmin memaksanya," bisik karyawan berambut sebahu, menoleh hati-hati ke arah ruang UGD.
"Mungkin dia punya firasat akan terjadi sesuatu sama Yasmin. Biasanya perasaan seorang ibu lebih peka," balas temannya yang berambut sepunggung, suara nyaris bergetar. "Tapi, Mbak Hannah akhirnya luluh sama rengekan Yasmin."
Mereka berbicara pelan, seolah takut membangunkan kenyataan buruk yang sedang bersembunyi di balik tirai putih ruang gawat darurat. Mutiara hanya diam. Matanya menerawang. Sudah enam tahun ia bekerja bersama Hannah, dan dalam kurun waktu itu, ia mengenal wanita itu lebih dari sekadar rekan kerja. Hannah adalah sosok yang hangat tapi keras kepala, penyayang tapi selalu menyembunyikan luka sendiri.
"Eh, ada Pak Arka," bisik karyawan berambut sepinggang sambil menyikut temannya.
"Sepertinya dugaan kita selama ini benar, ya. Kalau Pak Arka suka sama Mbak Hannah," balas karyawan berambut sebahu, kali ini dengan nada geli tapi tetap dibungkus prihatin.
Benar saja, Arka berdiri setia di samping brankar Hannah, memandangnya dengan mata yang tak bisa menyembunyikan kekhawatiran. Tangan kanannya dimasukan ke dalam saku celana, sementara tangan kiri sesekali menggenggam pagar ranjang, seolah menyerap ketenangan yang tak pernah datang. Sementara itu, Pak Baharuddin duduk tenang di samping Yasmin yang terbaring lemah, wajahnya memancarkan kasih seorang kakek yang sedang menahan tangis.
"Bagaimana keadaan Mbak Hannah, Pak?" tanya Mutiara dengan suara lembut, penuh empati.
"Dia cuma syok saja. Takut Yasmin terluka," jawab Pak Baharuddin dengan lirih. Ujung matanya masih basah, entah karena lega atau sisa-sisa kecemasan yang belum hilang.
"Lalu, bagaimana keadaan Yasmin?" tanya Mutiara lagi, kali ini suaranya sedikit bergetar.
"Hanya sedikit lecet-lecet. Tapi dia juga mengalami syok."
Ketiga perempuan itu serempak menarik napas panjang, seolah baru bisa bernapas setelah mendengar jawaban tersebut. Di benak mereka, tergambar senyum ceria Yasmin yang biasa menyapa ramah setiap pelanggan warung. Anak kecil yang riang itu kini terbaring lemah tanpa tawa khasnya, seakan dunia kehilangan sedikit warnanya.
Arman masuk ke ruang UGD dengan langkah ringan tapi tegas. Ia melambai ke arah Arka, memberi isyarat diam-diam agar tidak membuat kegaduhan. Wajahnya tegang, tapi matanya penuh tekad. Ia ingin bicara dengan kakaknya.
Arka keluar dari ruang UGD, mengikuti isyarat itu. Begitu berada di luar, dia bertanya, “Ada apa?”
“Kak, kita harus segera kembali ke supermarket. Katanya ada yang melaporkan kejadian tadi ke pihak polisi. Sekarang di sana banyak polisi dan mereka sudah memasang police line,” kata Arman cepat, suaranya nyaris berbisik karena menahan emosi.
"Apa?!" Arka terbelalak. Rahangnya mengeras. "Apa keluarga pengendara motor itu yang melaporkan?"
“Sepertinya bukan. Mereka sudah menerima uangnya. Lagian, pihak mereka yang bersalah.”
Arka mengangguk perlahan. Wajahnya menegang. Di pikirannya, langsung terlintas nama-nama para pesaing bisnis yang selama ini iri dengan keberhasilan supermarket-nya. Sudah bukan rahasia lagi kalau beberapa dari mereka diam-diam meniru cara kerja, hingga sistem promosi. Namun kini, ada yang lebih nekat, memanfaatkan insiden untuk menjatuhkannya.
Tanpa banyak bicara, Arka melangkah kembali ke dalam ruang UGD, langsung menghampiri Pak Baharuddin. Arman menyusul di belakangnya. Meski darah daging, penampilan mereka mencerminkan kepribadian yang berbeda. Arka dengan sikap tenangnya yang selalu terukur, sedangkan Arman lebih ekspresif dan blak-blakan. Bahkan dari cara mereka berjalan, sorot mata, hingga gaya bicara, orang bisa tahu keduanya membawa warna yang berbeda.
“Pak, kita harus kembali ke supermarket. Ada urusan yang harus diselesaikan secepatnya,” ujar Arka serius.
"Memangnya ada apa?" Pak Baharuddin tampak khawatir, kedua alisnya menyatu.
Arman yang menjawab, menjelaskan garis besar tentang situasi yang terjadi—mengenai laporan polisi dan garis kuning yang mengelilingi tempat usaha mereka.
"Jangan sampai ada oknum yang memanfaatkan kejadian tadi untuk merusak citra tempat usaha kita," tambah Arman.
Pak Baharuddin mengangguk tegas. “Jika perlu saksi, Bapak siap membantu.”
"Terima kasih, Pak. Di area parkiran ada kamera CCTV. Itu bisa dijadikan alat bukti yang kuat," jawab Arka, suaranya terdengar mantap.
Arman mengusap lembut kepala Yasmin yang kini tampak pucat dan lemah. Hatinya terasa diremas-remas melihat bocah ceria itu kini terbaring tak berdaya di atas brankar. Sinar mata Yasmin yang biasanya menyala-nyala seperti matahari pagi, kini meredup di balik kelopak yang sesekali terbuka.
"Maafkan Om, Yasmin. Nanti Om ajak kamu jalan-jalan ke mana pun Yasmin mau. Jadi, cepat sembuh, ya?" bisik Arman dengan suara bergetar, mencoba menyembunyikan rasa bersalah yang menghantui benaknya.
Arka yang berdiri di sebelahnya, turut menunduk dan mencium kening Yasmin dengan lembut. Hidungnya menyesap aroma antiseptik rumah sakit yang menusuk, tapi di balik itu semua ada doa yang dipanjatkan dalam diam. “Andai bisa, aku lebih rela menggantikan mu, Nak. Biar aku saja yang menanggung rasa sakit ini.”
Arman melirik ke samping kanan, tepat ke tempat seorang perempuan terbaring dengan infus menempel di tangannya. "Dia mamanya Yasmin, ya?" tanyanya lirih, matanya menelusuri wajah Hannah dengan seksama.
Ada kerutan tipis di dahi Arman. “Wajah itu ...?” seolah menarik ingatannya ke suatu masa yang tak jelas bentuknya. "Wajah perempuan ini sepertinya tidak asing?" batinnya.
Pak Baharuddin yang sedari tadi duduk memantau keduanya, ikut menoleh. "Kenalkan, dia mamanya Yasmin. Ini pertama kali Arman bertemu dengannya, ya?"
"O … i-ya," jawab Arman dengan senyum kaku. Ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya, namun belum bisa ia uraikan.
"Mobil Bapak nanti akan aku suruh orang buat diantar ke warung," ucap Arka, mencoba mengalihkan suasana.
"Terima kasih, Arka," balas Pak Baharuddin dengan anggukan penuh hormat.
Beberapa saat kemudian, Arka dan Arman melangkah keluar dari ruang UGD, meninggalkan keheningan yang kembali menyelimuti ruangan. Hanya deru mesin infus dan detak jarum jam dinding yang menjadi latar bunyi malam itu.
Pak Baharuddin masih setia duduk di kursi plastik, menatap silih berganti antara Hannah dan cucunya. Seolah takut kehilangan momen apa pun dari keduanya. Wajah lelaki tua itu menyiratkan kelelahan, namun lebih banyak terselip rasa cemas dan kasih tak terucapkan.
Tiba-tiba, tubuh Hannah bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar, lalu terbuka perlahan. Nafasnya terengah dan keningnya sedikit berkerut. Cairan infus di tangannya sudah hampir habis menetes.
Sementara itu, suara lirih mengaduh terdengar dari ranjang kecil Yasmin.
"Kakek, sakit…" gumamnya sambil menunjuk lututnya yang dibalut perban.
Pak Baharuddin segera menghampiri, mencondongkan tubuhnya untuk menenangkan Yasmin. Namun, rintihan itu juga menggugah Hannah yang baru saja siuman. Naluri seorang ibu memaksanya untuk bangkit. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya terlalu lemas. Dalam hitungan detik, kepalanya kembali tumbang ke bantal.
"Perih, ya?" tanya Pak Baharuddin lembut. Yasmin mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
"Itu karena lukanya sudah diobati sama dokter," lanjutnya, mencoba menenangkan cucunya dengan suara yang hangat seperti selimut.
Yasmin menatap wajah kakeknya dengan tatapan bingung namun penuh harap. "Kata Om Arman, jika Yasmin sudah sembuh akan diajak jalan-jalan. Jadi, Yasmin harus semangat buat sehat lagi."
"Benarkah, Kakek?" sorot mata Yasmin mulai bersinar, menggantikan kesakitan yang sempat menguasai.
"Kakek tidak bohong. Nanti kamu tanya sendiri sama Om Arman," jawab pria tua itu sambil mengangguk mantap.
Di ranjang seberang, Hannah yang mendengarkan pembicaraan mereka dengan mata setengah terbuka. Dia menyimpan semua nama dan kata dalam diamnya.
“Arman? Dia kembaran Arka, ya?” batin Hannah. “Dia orangnya seperti apa, ya? Pasti baik seperti Arka.”
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗