The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Aroma gurih menggoda menyelinap dari arah dapur. Harry, yang baru saja melewati lorong, menghentikan langkahnya. Hidungnya mengenali bau itu dengan cepat: daging babi asap. Suara dentingan panci dan desisan dari wajan semakin menarik perhatiannya. Pelan-pelan, ia mendekat, berdiri diam di balik pintu yang terbuka sedikit.
Di dalam, Liona tampak sibuk di dapur. Gerak-geriknya cekatan, penuh perhatian, seolah yang sedang ia siapkan adalah hidangan untuk seseorang yang sangat berarti. Tapi bukan Harry yang jadi pusat dunianya saat ini—melainkan Tuan Fluffy, anjing kampung yang baru beberapa hari mereka temukan terlantar di jalan.
Liona berbicara lembut pada hewan itu, seolah sedang menenangkan anak kecil. Tangannya membelai lembut bagian belakang telinga si anjing, yang merespons dengan menundukkan kepala dan mengibas-ngibaskan ekornya dengan bahagia. Wajah Liona bersinar dalam kebahagiaan sederhana itu.
Pemandangan itu menyesakkan dada Harry. Kapan terakhir kali ada seseorang yang menyentuhnya dengan kasih seperti itu? Ia mengenal keintiman dalam bentuk fisik, tetapi tidak dalam bentuk perhatian. Tidak dalam bentuk kasih sayang.
“Liona,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Tapi ia tak mendengar. Liona malah berjongkok, nyaris menempel ke lantai, dan berbicara lebih pelan lagi pada si anjing. Harry merasa tak terlihat. Ia, yang tinggal di rumah itu, yang membayar semua tagihan, yang—suka atau tidak—menyediakan ruang aman bagi mereka, justru diabaikan oleh perempuan yang pikirannya tak pernah bisa ia kuasai sejak pertama kali datang.
Liona memotong daging asap dan meletakkannya di atas piring kecil, menyodorkannya ke lantai. Tuan Fluffy melahapnya dengan semangat. Liona tersenyum. Senyum yang hangat, tulus… dan bukan untuk Harry.
Ia berdeham.
Liona menoleh cepat. Wajahnya langsung memerah saat menyadari keberadaannya. “Oh! Maaf, aku tidak sadar kau ada di sana,” katanya sambil berdiri dan melepas celemek. “Ada yang bisa kubantu?”
Harry mengangkat dagunya sedikit, menunjuk ke arah dapur. “Daging asapnya. Aku mau juga. Buatkan sandwich.”
Liona tampak kikuk. “Ah… itu sebenarnya sisa. Tapi kalau kau lapar, aku bisa buatkan dari awal.”
Jantung Harry berdegup sedikit lebih cepat. Ia tidak tahu kenapa merasa kesal. Mungkin karena daging itu habis. Mungkin karena bukan dia yang jadi penerima senyum dan perhatian itu. Mungkin karena… ia merasa kalah dari seekor anjing.
“Baiklah,” jawabnya datar.
Ia berbalik, meninggalkan dapur. Tapi pikirannya tetap tertinggal di sana, bersama suara lembut Liona, senyum manisnya, dan keintiman sederhana yang tak pernah ia miliki.
Sejak Liona tinggal di rumah itu, Harry sempat berpikir ia bisa mengabaikannya. Menempatkannya seperti staf lain—datang, bekerja, lalu pergi. Tapi kenyataan tak semudah itu. Setiap kali Liona berjalan di lorong rumah, Harry tahu. Setiap kali perempuan itu tertawa pelan, ia mendengar. Bahkan saat Liona hanya duduk membaca buku, kehadirannya terasa memenuhi ruangan.
Ia mencuri pandang saat Liona menjinjit mengambil mangkuk perak dari rak atas. Bajunya sedikit terangkat, menyingkap punggung yang mulus. Harry, yang sedang duduk dengan koran pagi, hanya bisa berpura-pura tak melihat apa-apa. Tapi tubuhnya tegang. Sorot matanya tak bisa lepas.
Tubuh Liona ramping, lekuk tubuhnya terbalut pakaian rumah yang sederhana tapi bersih. Rambutnya dikuncir asal-asalan, menyisakan beberapa helai yang jatuh di pelipis. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan tentang cara dia bergerak. Tentang ketenangan yang ia bawa. Tentang cahaya yang muncul dari dirinya, bahkan saat hanya sedang menyiapkan teh.
Harry tidak seharusnya merasa seperti itu. Liona bukan siapa-siapa. Hanya pembantu rumah tangga. Hanya wanita biasa yang datang ke rumah mereka karena Mikael membutuhkan bantuan.
Tapi sejak malam itu—malam saat Liona membantu mereka menghadapi kekacauan yang ditimbulkan Lukas dan Mikael—ada yang berubah. Liona tidak panik, tidak gentar, bahkan saat semua pria di rumah itu kehilangan kendali. Sejak saat itu, kehadirannya tidak pernah benar-benar bisa diabaikan.
Ia berusaha membujuk dirinya sendiri bahwa ia hanya ingin memastikan Liona tidak menyusup atau mencuri sesuatu. Tapi ia tahu, kebohongan itu terlalu dangkal. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Liona. Tentang cara pikirnya. Tentang kenapa ia begitu tenang. Tentang kenapa senyumnya terasa seperti pelarian paling manis di dunia yang penuh kekacauan.
Suara langkah tergesa memecah lamunannya. Lukas muncul di ambang pintu.
“Di sini kau rupanya,” ujar pria itu tanpa basa-basi.
Harry mengangkat kepalanya. “Apa?”
“Mikael butuh bantuan. Sekarang.”
Harry menunjuk ke sarapannya. “Boleh aku selesaikan pancake ini dulu?”
“Makan sambil jalan. Ayo.”
Harry menghela napas, lalu meneguk jus jeruk yang baru diperas Liona pagi tadi. Saat berjalan keluar, ia sempat melirik ke arah dapur dan berkata pelan, “Terima kasih, Liona.”
Liona menoleh, tersenyum kecil, lalu mengangguk.
Harry tahu. Ia sedang jatuh. Dan Liona, perempuan asing dengan tangan yang lembut dan senyum yang sederhana itu, adalah badai yang mengacaukan segalanya.