Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5 – Diam-Diam Aku Ingin Pergi
"Tubuhku masih tinggal di rumah itu. Tapi hatiku sudah mulai mengemasi luka, mencari jalan pulang."
Sejak malam itu, sejak pesan itu kuketik diam-diam dan kukirim, ada sesuatu yang berubah dalam diriku.
Kecil… nyaris tak terlihat… tapi nyata.
Harapan.
Aku tahu, aku belum bisa pergi. Tapi kali ini aku tahu kenapa aku harus pergi.
Hari-hari berikutnya, aku mulai memperhatikan ritme Gibran.
Kapan dia keluar. Jam berapa dia tertidur. Di mana dia menyimpan kunci cadangan.
Aku bukan lagi perempuan yang hanya menangis dan memaafkan. Aku mulai diam-diam… menghitung langkah.
Satu sore, saat dia sedang mandi, aku menulis cepat di balik lembar-lembar resep masakan:
"Aku tak tahu kapan bisa keluar. Tapi aku tahu: suatu hari, aku akan benar-benar bebas. Dan saat itu tiba, aku ingin bisa melihat ke belakang tanpa takut—hanya belajar."
Aku selipkan kertas itu di balik lipatan jaket tua yang kusimpan sejak datang ke rumah ini.
Tapi bukan berarti semuanya jadi mudah.
Gibran seakan bisa mencium perubahan kecil dalam diriku.
Gibran:
"Kamu akhir-akhir ini beda. Jangan coba-coba kabur ya, Air. Dunia di luar tuh gak sebaik yang kamu pikir."
Gibran: (menunduk, suaranya datar tapi tajam)
"Kalau aku kehilangan kamu… aku bisa nekat. Kamu tahu kan, aku gak punya siapa-siapa selain kamu."
Kalimat itu selalu membuatku ragu.
Bukan karena aku percaya. Tapi karena aku takut.
Takut… jika benar, dia akan menyakitiku lebih parah.
Atau lebih buruk: menyakiti dirinya sendiri dan menyalahkanku.
“Manipulasi itu bukan selalu dalam bentuk bentakan. Kadang ia datang dalam kalimat lemah yang membuatmu merasa bersalah hanya karena ingin menyelamatkan dirimu sendiri.”
Malam itu, aku membuka jendela kamarku sedikit lebih lama dari biasanya.
Menghirup udara malam, memandang langit yang tak bisa kugapai.
Dan untuk pertama kalinya, aku berdoa.
Dengan suara pelan. Dengan air mata. Dengan segenap luka.
“Tuhan, kalau Engkau benar ada… tolong tunjukkan jalan keluar. Sebelum aku benar-benar hilang jadi orang lain.”
Beberapa hari setelah aku mengirim pesan diam-diam itu, tak ada balasan.
Ponselku sudah kembali kusimpan jauh-jauh, takut Gibran mencium jejak apa pun. Tapi… harapan itu masih kupegang.
Setiap pagi, aku bangun lebih awal. Aku duduk lama di depan cermin, menatap bayanganku.
Wajah yang dulu kupoles dengan senyum percaya diri, kini tertutup sembab dan ketakutan.
“Aku tak pernah membayangkan akan hidup seperti ini. Dulu aku kira aku kuat. Tapi ternyata, kekuatan pun bisa habis saat terus dikikis setiap hari.”
Suatu sore, Gibran pulang dengan wajah gelap.
Langkah kakinya berat, dan matanya seperti mencari-cari sesuatu.
Aku sedang menjemur baju ketika dia mendekat.
Tangannya mencengkeram lenganku pelan, tapi cukup kuat membuatku tersentak.
Gibran:
“Tadi kamu ke depan rumah, ya? Ngapain? Siapa yang kamu cari?”
Aira:
“Nggak, aku cuma jemur handuk. Nggak ketemu siapa-siapa.”
Gibran: (menatap dalam)
“Kamu nggak bohong, kan? Karena aku mulai ngerasa kamu berubah akhir-akhir ini. Kamu beda.”
Detik itu, aku merasa jantungku berhenti berdetak.
Kupaksakan senyum, sambil menunduk. Tidak boleh ada satu gerak pun yang mencurigakan.
Aira:
“Aku capek aja, Mas. Banyak pikiran.”
Gibran: (diam sejenak, lalu memeluk dari belakang)
“Maaf ya… aku juga capek. Kita berdua capek. Tapi kamu jangan ninggalin aku. Cuma kamu satu-satunya yang masih bertahan sama aku.”
Dan di sanalah… jebakan emosional itu kembali dilontarkan.
Malamnya, aku menulis lagi di catatan kecil tersembunyi di bawah bantal:
“Hari ini aku hampir ketahuan. Tapi aku juga makin yakin: kalau aku tidak keluar dari sini… cepat atau lambat, jiwaku akan benar-benar mati.”
Aku mengingat semua cerita dari pasien-pasien psikiater yang pernah kudengar waktu dulu masih rutin terapi.
Banyak dari mereka diam bertahun-tahun… sampai suatu hari mereka tidak bisa merasa apa-apa lagi.
Aku tidak ingin menjadi seperti itu.
Beberapa hari kemudian, saat Gibran sedang tidur siang, aku membuka kembali ponsel lamaku.
Masih belum ada balasan. Tapi aku lihat satu notifikasi: sahabatku telah membaca pesanku.
“Tolong jaga dirimu. Aku masih di kota yang sama. Kalau kamu butuh bantu kabur, tinggal kasih kode.”
Mataku basah. Jari-jariku gemetar saat menulis balasan:
“Aku nggak tahu kapan. Tapi aku pasti akan cari cara. Tunggu aku.”
“Aku tak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi malam ini, aku tahu satu hal: keinginanku untuk bebas… sudah lebih besar dari rasa takutku.”
[To be continued...]