Di dunia kultivasi Cangxuan, Han Wuqing bereinkarnasi dari bumi ke dunia kultivasi abadi yang penuh kekuatan dan ketidakadilan.
Setelah berkultivasi selama 10 tahun dengan susah payah, tanpa dukungan apapun. Akhirnya cheat system muncul mewajibkan dia membuat sektenya sendiri.
System aneh yang mengizinkannya memanggil kesadaran orang orang dari bumi, seolah dunia adalah game virtual reality.
Orang-orang dari bumi mengira ini hanya permainan. Mereka menyebutnya "VR immortal".
Mereka pikir Han Wuqing NPC...
Mereka pikir ini hanya ilusi...
Tapi didunia ini— Dialah pendirinya, dialah tuhan mereka. Sekteku Aturanku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwalkii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yue Yang Menerima Nasibnya Dan Aula tempa Baru
Yue menatapnya dengan ragu. “Aku masih belum sepenuhnya percaya dengan ceritamu soal kalian ini... sekte kuno atau entah apa tadi. Tapi setelah melihat semua ini... aku percaya satu hal.”
Ia menunjuk ke arah langit, di mana bekas formasi cahaya masih samar-samar berputar.
“Kalau senior yang membantumu ini... Sosok Kultivator Besar”
Han tersenyum kecil.
Yue menatapnya dengan sorot mata penuh teka-teki. Bukan kagum, melainkan curiga. Ada kecerdasan yang sudah terlalu lama ia pendam, dan kini perlahan muncul ke permukaan.
“Tapi satu hal masih membuatku heran, Han.”
Han menoleh perlahan. “Apa?”
Yue menyipitkan mata. Suaranya tenang, tapi menyimpan ketajaman tersembunyi.
“Waktu itu, ketika kita tahu Sekte Serigala Malam akan menyerang dengan membawa para mortal... kau menyuruhku kabur kalau kau tak kembali.”
Han tidak menjawab.
“Katamu, Ziyan tak boleh turun tangan karena bisa menarik perhatian sekte besar—aku bisa terima itu. Tapi kalau kau punya 'senior' sekuat itu… kenapa tidak minta bantuan dia waktu itu?”
Ia melangkah setengah langkah ke depan, menatap wajah Han langsung.
“Dan ayo kita lupakan cerita tentang asal-usul sektemu. Aku tidak bodoh, Han.”
“Sejak hari pertama aku sadar di sekte ini, aku sudah merasa ada yang janggal. Murid-muridmu kadang menyebutmu dengan panggilan aneh. Kadang menyebutku... dengan istilah yang bahkan tidak cocok untuk manusia.”
“Aku melihat mereka mati, lalu hidup kembali. Aku melihat mereka tertawa saat tubuh mereka terbakar. Dan kau... terus bertindak seolah aku tak tahu apa-apa.”
Han akhirnya bicara. Suaranya dingin dan tegas.
“Ya.”
Ia menoleh ke arah Yue. Pandangannya lurus, tanpa upaya mengelak atau menyamarkan.
“Cerita tentang sekte kuno, tentang aku sebagai ketua terakhir dari zaman purba—semua itu bohong. Itu bagian dari dunia yang kubangun untuk mereka.”
Ia menghela napas.
“Mereka butuh cerita. Butuh latar belakang. Butuh ilusi yang membuat semua ini terasa masuk akal.”
Han melanjutkan dengan nada datar.
“Kau tahu lebih dari yang seharusnya. Tapi kontrak hidup-mati yang kau tandatangani cukup untuk menjagamu tetap hidup.”
Yue mencibir, wajahnya sedikit memerah karena marah atau kesal—atau keduanya.
“Hmph. Kau terlalu dingin!”
Tapi suaranya tak setajam sebelumnya. Ada kelelahan di sana, dan sedikit... pengertian.
“…Tapi baiklah. Aku akan mainkan cerita itu untuk mereka. Aku bisa pura-pura jadi penjaga perpustakaan dari sekte purba, atau pemilik rahasia tua yang menunggu waktu—seperti dalam cerita-cerita yang mereka yakini.”
Ia menatap Han lagi, kali ini lebih tajam.
“Tapi… kau belum menjawab yang paling penting.”
Han menahan napas.
Yue mendekat, suaranya pelan, nyaris seperti desahan:
“Kalau kau benar-benar punya ‘senior’ sekuat itu… yang bisa membangun ulang sektemu hanya dengan satu perintah—kenapa tidak memintanya menolongmu saat Sekte Serigala Malam menyerang?”
Hening.
Han menatap jauh ke lembah, ke arah pegunungan berkabut yang seolah menyimpan rahasia lebih tua dari dunia.
“…Karena dia bukan pelindung,” jawabnya akhirnya. “Dia hanya menilai.”
Yue menyilangkan tangan, masih menatap langit yang perlahan kembali jernih. Sisa kabut qi menggantung tipis di udara seperti tirai yang baru saja dibuka paksa.
“Hmm… hanya menilai, ya?” gumamnya pelan. “Seperti pengawas diam-diam? Ah, tak penting. Aku tidak peduli.”
Ia menoleh ke Han. Pandangannya datar, tapi ada senyum samar yang terselip di ujung bibirnya—sulit ditebak apakah itu sarkasme atau sekadar lelah.
“Jadi… mau masuk dan memeriksa?”
Han mengangguk singkat. “Ayo.”
Mereka melangkah melewati gerbang utama Sekte Yuandao, kini berdiri megah dengan lengkungan batu yang dilapisi ukiran qi halus. Di kejauhan, bangunan-bangunan baru menjulang tenang dalam senja yang semakin redup.
Tak ada kata kagum. Tak ada pujian. Hanya langkah-langkah ringan yang berderap di atas batu putih berkilau.
Burung kecil terbang rendah di taman samping jalan, sayapnya memantulkan cahaya spiritual yang berpendar lembut.
Sesekali, angin membawa aroma logam hangat dari utara—dari bangunan yang belum lama berdiri: Aula Tempa.
Setibanya di persimpangan empat arah, Han berhenti dan menoleh.
“Yue,” katanya pelan, “Aula Tempa ada di utara. Aku ingin memeriksa bangunannya. Mau ikut?”
Yue melirik ke arah timur. Perpustakaan Sekte kini menjulang satu lantai lebih tinggi, jendelanya bersinar lembut oleh formasi ilusi. Di puncaknya, lonceng giok baru berayun ringan tanpa suara.
Ia menghela napas kecil.
“Tidak. Aku ke perpustakaan saja.”
Han menatapnya sebentar.
Yue melanjutkan, nadanya ringan namun jujur. “Mungkin kamarku di sana tidak lagi sekecil peti kayu. Siapa tahu, kali ini ada bantal.”
Ia berbalik perlahan dan mulai berjalan menyusuri jalan timur. Langkahnya tenang, tidak tergesa. Seperti seseorang yang tak lagi melarikan diri... tapi juga belum memilih untuk tinggal.
Han hanya diam, mengikuti sosoknya yang perlahan menjauh, hingga lenyap di balik bayang-bayang pepohonan giok.
Kemudian, ia melanjutkan langkahnya menuju utara.
Aula Tempa menantinya.
Sesampainya di depan Aula tempa, Han melangkah masuk dengan sedikit antusias.
Udara di dalam sedikit lebih panas, tersimpan oleh dinding batu giok gelap yang menyerap panas dari tungku di sisi timur. Ruangannya luas. Sebuah palu besar tergantung di atas pintu masuk, dan anvil-anvil tertata rapi di sepanjang sisi dinding. Rak-rak logam kosong berbaris di belakang, disiapkan untuk menampung bilah mentah dan material spiritual.
Di salah satu sisi, ada meja kerja kulit—alat pemotong, cetakan zirah, dan tumpukan kulit keras dari binatang roh. Semua tampak baru, belum disentuh.
Han memutar tubuhnya, mengamati.
Semuanya lengkap.
Tapi sunyi.
Tak ada pekerja. Tak ada suara palu. Tak ada napas.
Ia berdiri di tengah aula, lalu memanggil sistem dalam pikirannya.
[Tempat: Aula Tempa] Fungsi: – Pembuatan senjata dan zirah (dengan bahan dari pemain) – Perbaikan barang – Upgrade senjata.
Status: Tidak Aktif Alasan: Tidak ada operator
Han menatap sekeliling sekali lagi. Tangannya terlipat di belakang punggung.
“Jadi... tetap tak bisa berjalan sendiri.”
Ia menunduk, berpikir.
“Tempat ini akan jadi pusat kebutuhan harian para pemain. Tempat mereka datang membawa barang, minta dibetulkan, ditingkatkan, atau dibuatkan sesuatu... Tapi hanya jika ada seseorang yang menjaga tempat ini.”
Ia memanggil satu panel lagi.
[Boneka Kustomisasi – Tersedia di Toko Sistem] → Atur tampilan, kepribadian, kultivasi → Tambahkan Keahlian: Tempa / Alkimia / Jimat → Integrasikan teknik dan tingkatan kultivasi langsung ke tubuh boneka.
Han tidak segera menekan tombol.
Ia hanya menatap tungku kosong itu sekali lagi.
"Tak ada gunanya membangun sekte... jika semua ruangan hanya jadi dekorasi."
semangattt/Determined//Determined/
sekteku aturanku. Jadi keinget manhua Invincible at the start/CoolGuy/ Keren, thor! SEMANGAT!