Menikah?
Setelah mengajaknya berpacaran secara tiba-tiba, kini Tama mengajak Embun menikah.
"Pak Tama ngomong apa sih? nggak usah aneh-aneh deh Pak," ujar Embun.
"Aku serius, Embun. Ayo kita menikah!"
Sebenarnya tidak seharusnya Embun heran dengan ajakan menikah yang Tama layangkan. Terlepas dari status Dosen dan Mahasiswi yang ada diantara mereka, tapi tetap saja saat ini mereka berpacaran. Jadi, apa yang salah dengan menikah?
Apakah Embun akan menerima ajakan menikah Tama? entahlah, karena sejujurnya saat ini Embun belum siap untuk menikah.
Ditambah ada mantan kekasih Tama yang belum move on.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggi Dwi Febriana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Saat ini Tama dan Amara sedang dalam perjalanan pulang dari rumah Embun. Lampu-lampu jalanan berjejer rapi di sepanjang trotoar, memantulkan cahaya kekuningan yang menenangkan di antara gelapnya malam. Udara dingin dari luar sedikit masuk melalui kaca jendela mobil yang sengaja dibuka Amara, membuat rambut panjangnya ikut tertiup angin.
“Kamu udah dari tadi di rumah Embun, dek?” tanya Tama sambil sesekali melirik adiknya. Suaranya tenang, terdengar jelas meski suara mesin mobil tetap mendengung pelan.
Amara yang sedang memainkan ponselnya, menoleh sebentar lalu menganggukkan kepala.
“Iya Bang, udah dari tadi siang. Aku tadi abis beli pempek, terus aku bawa ke rumah Embun buat makan bareng,” jawabnya dengan nada riang.
Tama mengangguk-angguk pelan, ekspresinya tetap datar meski jelas ia mendengarkan. Baginya, mendengar Amara nyaman bersama Embun sudah lebih dari cukup.
Hening kembali mengisi ruang kabin mobil. Hanya terdengar bunyi ritmis dari ban yang melindas aspal. Amara asyik menggulir layar ponselnya, sesekali tersenyum sendiri melihat sesuatu. Tama di sisi lain tetap fokus pada kemudi, matanya sesekali memandang ke spion memastikan kondisi jalan. Malam itu jalanan cukup lengang, tidak banyak kendaraan lalu-lalang, membuat perjalanan terasa lebih tenang.
Beberapa menit berlalu, tiba-tiba Amara membuka suara.
“Abang…” panggilnya pelan.
Tama hanya menoleh sekilas. “Hm?”
“Abang udah ada niatan buat nikah sama Embun?” tanyanya tiba-tiba, dengan nada serius namun tetap ada guratan rasa penasaran yang khas seorang adik kepada kakaknya.
Pertanyaan itu membuat Tama spontan melirik adiknya lebih lama dari biasanya, sebelum kembali memusatkan perhatian ke jalan.
“Kenapa emangnya?” tanyanya, seolah ingin tahu alasan Amara mengungkit hal itu.
Amara tersenyum cerah, matanya berbinar.
“Ya enggak papa sih, menurut aku lebih cepat lebih baik. Aku enggak sabar Embun jadi kakak ipar aku. Pasti bakalan seru banget deh,” ujarnya penuh semangat, membayangkan betapa menyenangkannya punya sosok kakak ipar yang merupakan sahabatnya sendiri.
Tama tidak langsung menanggapi. Bibirnya hanya melengkung tipis, senyum kecil yang tidak bisa ia sembunyikan.
Namun Amara buru-buru menambahkan, seolah sadar ucapannya bisa terdengar terlalu mendesak.
“Tapi ya enggak perlu buru-buru sih, Bang. Aku tau hubungan kalian baru sebentar, jadi ya udah nikmati aja dulu masa pacaran kalian.”
Amara menarik napas singkat lalu melanjutkan.
“Soalnya pernikahan kan enggak cuma soal cinta. Butuh kesiapan banyak hal, apalagi mental. Aku aja, kalau disuruh nikah sekarang rasanya belum sanggup. Nah, Embun kan juga masih seumuran sama aku, jadi wajar kalau dia butuh waktu.”
Tama sempat menghela napas pelan, seakan ada sesuatu yang ia simpan di hatinya.
“Sebenarnya Abang udah sempet ngajak Embun nikah,” ucapnya lirih, namun cukup jelas terdengar.
Amara langsung menoleh cepat, ekspresinya penuh rasa ingin tahu.
“Beneran Bang? Terus Embun jawab apa?” tanyanya antusias.
Tama tersenyum miring, sedikit getir namun tetap tenang.
“Embun belum mau. Katanya dia masih pengen fokus kuliah dulu, terus juga pengen coba kerja. Jadi ya, kemungkinan belum bisa nikah dalam waktu dekat ini.”
Mendengar jawaban itu, Amara ikut menghela napas. Ada sedikit rasa kecewa karena harapannya melihat Embun segera jadi kakak iparnya belum bisa terwujud. Namun di sisi lain, ia paham betul alasan Embun.
“Wajar sih, kan Embun emang masih muda,” ujar Amara sambil menatap lurus ke depan. “Ya udah, gimana baiknya aja kalian komunikasikan, Bang. Aku yakin Abang sama Embun pasti bisa mutusin yang terbaik.”
Kata-kata Amara membuat Tama terdiam sesaat. Ia hanya menganggukkan kepala perlahan, matanya tetap fokus pada jalanan. Dalam hati, ia tahu apa yang dikatakan adiknya benar. Tidak ada yang perlu dipaksakan.
Mobil terus melaju menembus jalanan malam yang tenang. Obrolan mereka berhenti begitu saja, berganti dengan keheningan yang terasa lebih hangat daripada canggung. Amara kembali sibuk dengan ponselnya, sementara Tama dengan pikirannya sendiri. Hanya suara musik pelan dari radio mobil yang menemani perjalanan mereka menuju rumah.
Sementara itu, setelah Tama dan Amara pulang, suasana rumah Embun kembali hening. Gadis itu menutup pintu perlahan, memastikan kuncinya terpasang dengan baik. Tangannya sempat memutar gagang sekali lagi untuk memastikan benar-benar terkunci. Setelah itu ia berjalan menyusuri ruang tamu yang sudah redup, lalu menuju jendela-jendela besar di sisi rumah. Satu per satu ia pastikan tertutup rapat, tirai pun diturunkan.
Hanya terdengar suara langkah kakinya di lantai yang berlapis keramik dingin. Malam semakin larut, dan rumah yang tadinya sempat terasa hangat karena canda bersama Amara kini berubah menjadi senyap.
Embun menarik napas panjang. “Sepi lagi…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan pada dirinya sendiri. Ia lalu melangkah pelan menaiki tangga menuju lantai atas, dimana kamarnya berada. Setiap pijakan tangga seperti semakin menegaskan kesunyian rumah itu.
Begitu masuk ke kamar, ia menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya sejenak di belakangnya. Pandangannya kosong menatap langit-langit. Ada rasa hampa yang sulit ia cegah setiap kali momen seperti ini datang—saat semua orang pulang ke rumah mereka masing-masing, dan ia harus kembali sendiri.
Embun meletakkan tas kecilnya di kursi dekat meja belajar. Ia kemudian duduk di tepi ranjang, menatap foto kedua orang tuanya yang terpajang di nakas. Foto lama itu selalu jadi pengingat betapa ia pernah punya rumah yang ramai, penuh canda tawa.
“Ma, Pa…” suaranya bergetar pelan. “Aku kangen banget…”
Matanya sedikit berkaca-kaca. Namun segera ia usap dengan telapak tangan, mencoba menenangkan diri. Ia tahu kalau larut dalam kesedihan hanya akan membuat dirinya semakin rapuh.
Dengan langkah kecil, ia mengambil mukena putih yang tergantung rapi di lemari. Embun lalu membentangkannya, mengenakannya dengan penuh kehati-hatian. Ia berdiri di sajadah kecil di pojok kamar, lalu menengadahkan tangan.
“Ya Allah… jaga Mama sama Papa di sana. Beri mereka tempat yang indah di sisi-Mu, jauhkan dari siksa, dan limpahkan rahmat-Mu. Aku ingin mereka bahagia meski aku enggak bisa lihat lagi senyum mereka di sini…” ucapnya dengan suara lirih, namun penuh ketulusan.
Air matanya akhirnya menetes, jatuh di pipi. Tapi Embun tak menghentikan doanya. Ia justru semakin menenangkan hatinya lewat doa itu.
Beberapa menit setelahnya, Embun merapikan mukenanya kembali. Ia duduk di ranjang, lalu berbaring menghadap foto kedua orang tuanya. “Aku janji bakal kuat, Ma, Pa. Kalian jangan khawatir…” katanya pelan sebelum menarik selimut hingga ke dada.
Kamar yang sepi kini hanya diisi suara jam dinding yang berdetak pelan. Embun memejamkan mata, berusaha tidur dengan hati yang lebih tenang setelah menitipkan rindunya dalam doa.