Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Denial
Sejak Anna kembali dari ujian kampus dan masuk kantor dengan energi baru, ritme perusahaan seakan kembali bergerak seperti biasa. Tapi ada satu hal yang paling terasa: Liam seperti bisa bernapas lagi. Ia tak mengakuinya, tentu saja. Tapi semua orang—terutama Gema—melihat jelas perubahan itu.
Hari sudah hampir jam tiga sore ketika Anna masuk membawa tumpukan berkas, dan Liam berdiri dari kursinya seolah ia otomatis harus mengikuti tempo kerja gadis itu. Tidak pernah terpikirkan oleh Liam bahwa suatu hari ia akan menyesuaikan langkah pada seseorang—tapi kenyataannya, itu terjadi.
“Pak, kemeja untuk acara sore ini sudah saya letakkan di gantungan belakang pintu,” ucap Anna sambil menaruh map warna biru di meja Liam. “Dan dasi yang Bapak mau pakai yang warna navy? Tadi saya sudah cocokkan dengan jas abu-abu tua. Warna itu lebih aman untuk pencahayaan ruangan ballroom nanti.”
Liam berkedip. Pelan. “Oh… iya.”
“Kalau Bapak ingin alternatif,” Anna mengeluarkan dasi cadangan, “dasi burgundy ini juga cocok, tapi sebaiknya digunakan kalau background panggung tidak terlalu merah.”
Liam tidak bisa berkata apa-apa selain mengangguk.
Ia menatap dasi itu seperti sedang diberi alat alien. Padahal dulu ia punya standar sendiri: warna gelap, pola garis, simetris. Tapi Anna tahu sesuatu yang bahkan sekretaris lamanya sering salah tebak: apa yang paling pas untuk citra Liam di situasi tertentu. Formalitas, tone ruangan, audiens, sampai efek kamera—Anna memperhitungkan semuanya.
Gema yang baru saja masuk ke ruangan menatap pemandangan itu sambil mengangkat alis tinggi-tinggi. “Astaga, Anna. Lo pilihkan dasi juga?”
Anna menoleh sopan. “Iya, Pak Gema. Soalnya Pak Liam bilang butuh dua opsi.”
“Dua opsi buat rapat, dua opsi buat makan siang, dua opsi buat gala, dua opsi buat video shoot… entar lama-lama dua opsi buat tidur juga,” gumam Gema pelan, tapi cukup keras hingga Liam mendelik.
“Diam, Gem.”
Gema tertawa pelan. “Gue makin yakin anak ini bukan sekadar sekretaris sementara. Ini udah kayak—”
“Gem.” Nada Liam naik sedikit.
“—istri yang ngurusin dari ujung rambut sampe ujung sepatu,” lanjut Gema tanpa takut.
Anna langsung memerah wajahnya. “Pak Gema… saya hanya melakukan tugas sesuai kebutuhan kantor…”
“Cuma kantor? Hm.” Gema mengangguk-angguk sambil memeriksa dasi di tangan Anna. “Ini pemilihan warna level stylist profesional. Bukan tugas sekretaris biasanya loh.”
Anna menunduk sedikit, merasa salah tingkah. “Pak Liam sering muncul di publik. Kalau warna baju atau dasinya salah, itu bisa jadi masalah untuk media. Saya cuma mengantisipasi.”
Liam sebenarnya ingin bilang bahwa ia sendiri tidak pernah kepikiran sampai sedetail itu. Ia selalu tampil rapi, iya. Tapi ia jarang memikirkan apakah pencahayaan ballroom akan memantulkan warna dasinya. Itu tingkat perhatian yang… terlalu teliti.
Terlalu Anna.
Gema semakin dalam cengirannya. “Gue sampe mikir, jangan-jangan lo juga yang isi belanjaan online-nya Liam.”
Anna terhenti. “E… iya. Kalau untuk event besar, saya pesan via vendor langsung biar tidak salah ukuran.”
Liam memejamkan mata sebentar.
Gema langsung terbahak. “GILA! Jadi beneran?! Anna, lo bener-bener udah ngurusin hidup pria ini!”
Anna buru-buru menjelaskan, “Tapi itu karena sekretaris tetap sebelumnya memang memberikan aksesnya pada saya. Dan karena saya pegang semua jadwal Pak Liam, sementara beberapa vendor minta konfirmasi di jam kerja… jadinya ya saya yang urus.”
Gema melihat Liam dengan tatapan “nih orang kayak bocah yang disuapin”.
“Liam. Lo sadar ga,” ucap Gema perlahan, “anak ini ngurusin lebih banyak hal tentang diri lo dibanding lo sendiri?”
“Tidak perlu dilebih-lebihkan,” jawab Liam singkat.
“Oh? Oke.” Gema menghitung dengan jari. “Schedule lo? Dia. Dokumen yang lo butuh tapi lo lupa? Dia. Makanan lo? Dia. Vitamin lo? Dia. Kemeja? Dia. Dasi? Dia. Jas? Dia. Urusan vendor? Dia. Rapat dadakan? Dia. PR statement? Dia juga.”
Liam menutup mapnya dengan keras. “Gem.”
“Gue penasaran, Lo masih inget password email pribadi lo sendiri?”
Liam terdiam tiga detik. Terlalu lama untuk disebut normal.
Anna spontan menundukkan kepala, berusaha tidak terlihat ingin tertawa.
Gema mengangkat tangan tanda menang. “Nih. Jawaban yang gue tunggu.”
“Diam, Gema,” ucap Liam lagi, tapi tidak ada marah di suaranya. Lebih seperti… frustasi malu.
Anna akhirnya bicara. “Pak Gema, sudah ya, Pak Liam sedang fokus.”
Gema mendengus sambil mencoba menahan senyum. “Sorry, sorry. Tapi serius Li, gue ga bercanda. Lo tuh udah bukan cuma terbantu—lo bergantung. Dan itu ga salah. Tapi ya lo harus sadar.”
Liam tidak menanggapi.
Ia memegang dasi di tangannya, memutar-mutar ujungnya seperti mencoba menemukan jawaban.
Anna kemudian mendekat. “Pak, saya bantu pakaikan?”
Liam spontan menjawab, “Tidak us—”
Tapi tubuhnya sudah condong sedikit ke depan, nyaris otomatis.
Anna mengangkat dasi itu, melingkarkannya ke leher Liam. Jemarinya bekerja cekatan, membuat ikatan Windsor yang presisi. Liam diam, hanya mengikuti gerakannya.
Gema berdiri menyaksikan itu seperti menonton adegan telenovela.
“Gue sumpah,” gumamnya. “Ini udah ga lucu lagi. Ini scene suami-istri abis resepsi kawinan.”
“Pak Gema,” tegur Anna cepat.
“Oke, oke. Gue diem.”
Anna menyelesaikan dasi itu dengan sempurna. Ia menepuk bahu Liam pelan, kebiasaan kecilnya. “Sudah, Pak. Rapih.”
Liam menelan ludah.
“Terima kasih.”
Anna mundur satu langkah.
Liam mengalihkan tatapan ke cermin dinding. Dasi itu terlihat… sempurna. Lebih rapi dari yang bisa ia buatkan sendiri.
Suara Gema memecah keheningan. “Gue sih cuma mau bilang satu hal, Li.”
“Apa lagi?”
“Kalau Anna resign, lo tamat.”
Liam memutar mata. “Berlebihan.”
“Yakin?”
Gema membuka ponselnya. “Ini email tadi pagi. Lo confirm rapat ke klien jam sembilan malam padahal yang benar jam sembilan pagi. Itu gara-gara lo ngatur sendiri tanpa Anna.”
Liam langsung membeku.
Anna terkejut. “Pak? Jam sembilan malam?”
Gema menunjukkan layarnya. “Tuh liat.”
Anna memandang Liam dengan tatapan campuran panik dan iba. “Pak… itu bahaya. Mereka bisa anggap Bapak ga profesional.”
Liam memijit pelipisnya. “Gue akan perbaiki.”
“Tidak apa, Pak,” ujar Anna sambil menarik napas. “Saya akan kirim email klarifikasi sekarang.”
Liam menatapnya seperti seseorang yang baru diselamatkan dari tenggelam.
Dan Gema langsung mengeluarkan kalimat maut:
“SEE? Sekali lagi. T A M A T tanpa Anna.”
Liam tidak menjawab.
Karena Gema benar.
⸻
Setelah Anna keluar untuk mengurus email, Gema melipat tangan sambil menatap sahabatnya itu dari dekat.
“Liam,” ucapnya pelan. “Gue ga minta lo mengakui apa-apa. Tapi tolong lah, minimal lo ngerti satu hal.”
“Apa?”
“Anna bukan sekadar sekretaris. Bukan sekadar anak magang. Dia nahan kantor ini supaya ga runtuh. Dia nahan lo supaya ga kacau.”
Liam menggertakkan rahang, tapi tanpa melawan.
Untuk sekali ini, ia membiarkan Gema bicara.
“Dan lo, Li… lo udah terbiasa sama dia. Dari hal-hal teknis, sampai hal-hal pribadi kayak dasi, kemeja, jas, bahkan reminder buat makan.”
Liam menunduk sedikit.
Gema menepuk bahunya. “Jadi kalo lo masih bilang ‘gue ga bergantung sama dia’, itu bohong. Bukan cuma ke gue. Ke diri lo sendiri.”
Liam terdiam lama.
Dan dalam hening itu, akhirnya ia berkata lirih,
“…Gue ngerti.”