Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apes Ketemu Di rumah Sakit
(Penyelidikan bersama istri dari adik ipar laki-laki Dona)
"Apakah ini benar kamu?" tanya Bagas dengan melemparkan foto ke meja.
"Kok bapak bisa tahu foto ini! Darimana kalian mendapatkannya? Wah ... wah, kalian ternyata sudah membututi diriku," keluh perempuan dihadapan kami.
Dari nada bicaranya wanita yang suka ceplas-ceplos.
"Tidak usah banyak tanya, darimana kami mendapatkannya. Brak," Bagas tiba-tiba mengebrak meja, akibat kesal dia banyak tanya.
"Iy-ii-ya, itu saya," jawabnya mengalah.
"Kalau ini, apakah punya kamu juga?" tunjuk Ebi memberikan helaian rambut terbungkus plastik.
Diambilnya lalu mencoba mengamati.
"Sepertinya iya. Itu punyaku juga," jawabnya saat membenarkan barang bukti, yang telah dipegangnya.
"Baguslah kalau kamu mengakui. Kalau 'pun berbohong kami akan melakukan tes pencocokan sama milikmu."
Kami cukup was-was. Hanya wanita ini yang terakhir kami curigai. Berharap banyak, semoga kasus ini cepat terselesaikan.
"Sejak kapan kamu menjalin kasih bersama korban? Dan motif apa yang menyebabkan kamu berani selingkuh dibelakang keluarga besar mu?."
Kami semua penasaran akut. Kok ada yang hidup berkecukupan tapi masih saja kurang belaian dari suami sendiri. Lebih parahnya kakak tiri yang diajak melenceng.
"Kami sudah lama menjalin cinta, tapi ketika berencana mau menikah, istrinya yang gobl*k itu hadir diatas jalinan asmara kami. Setelah korban berhasil menikah, aku dan korban berencana menguasai harta yang diwariskan terhadap istrinya, dan setelah menguasainya kami berencana kabur bersama, yang ingin melanjutkan cita-cita kami untuk menikah. Maka dari itu niatku menikah dengan suamiku sekarang, hanya cuma pendekatan dan menyembunyikan niat jahat kami," jawabnya dengan tangisan.
Kami tak tahu apakah tangisannya adalah penyesalan selingkuh, atau sedih ditinggal mati oleh korban.
"Niat kalian cukup ngeri juga. Ngak juga harus mempermalukan keluarga besar kalian separah ini, hadeh!" sindir Bagas yang tak percaya jika masih ada perselingkuhan yang menjijikkan dizaman modern ini.
"Coba kamu jelaskan, apa yang kamu lakukan setelah perkelahian suami kamu dengan korban?."
"Setelah kejadian itu aku berusaha menolong dan mengobati lukanya, tapi dia menolak ku secara mentah-mentah. Mungkin dia marah dan kesal karena suamiku telah menghajarnya habis-habisan. Dan setelah itu aku pulang kerumah, sedangkan dia sepertinya masuk ke dalam kantornya."
Ebi dan Bagas mengangguk, tanda bahwa yang dikatakan adik ipar perempuan Dona benar semua, yang terlihat kebenaran dari bukti cctv, yang mana dia langsung pergi meninggalkan korban yang telah terluka.
Para tersangka sementara dibebaskan semua, sebab tidak ada yang memberatkan atas tuduhan dugaan pembunuhan.
"Bagaimana menurutmu?" tanyaku dengan wajah penasaran, menunggu pendapat. dari Ebi dan Bagas.
"Sepertinya otak dari pembunuhan adalah orang yang profesional. Dan pastinya pelaku pembunuhan adalah orang terdekat, sebab dia tahu betul seluk beluk korban," jawab Bagas padaku.
"Ooh, ok. Benar katamu itu. Kita harus waspada dan hati-hati. Sepertinya pelaku susah ditandingi."
"Siap, Bos. Kamu juga harus lebih hati-hati," Bagas memberi saran.
"Tentu saja."
"Pelaku lebih rapi menyembunyikan semuanya," keluh Ebi.
"Maka dari itu kita tidak boleh lengah, sebab pelaku lebih cerdik. Bisa saja ini hanya alibi pelaku agar kita kesusahan, makanya tersangka sementara kita tangkap dan interogasi lebih duluan."
"Em, bisa jadi juga itu, Bos."
Aku sudah memijit kening merasakan pusing, akibat kasus pembunuhan yang tak kunjung jua menemukan titik terang.
******
Akhirnya dengan terpaksa mengantarkan Dona untuk periksa kandungan, walau sebenarnya berat hati menemani, tapi hati tetap merasa kasihan padanya, takut-takut jika seseorang akan melukai Dona, sebab tersangka yang membunuh suaminya belum ditemukan.
"Terima kasih, Ryan. Kamu sudah meluangkan waktu untuk mengantarku. Padahal kamu begitu sibuknya," Dona sepertinya tak enak hati.
"Iya, ngak pa-pa. Santai saja. Daripada kamu pergi sendiri akan lebih berbahaya."
"Pokoknya terima kasih. Maaf jika sudah menyita waktu kamu."
"Iya. Aman."
Tak butuh waktu lama tangan menyetir mobil untuk sampai datang kerumah sakit, dan sekarang kami berdua telah melangkah ke tempat khusus dokter anak dan ibu.
Dona terus saja menggandeng tanganku agar mau menemani dia masuk.
"Ayo, Ryan. Masuk."
"Tapi-? Apa tidak akan jadi masalah ini sebab aku bukan suami kamu." Berusaha menolak.
"Tidak apa-apa. Mereka tidak akan curiga kok." Terus dipaksa.
Kasihan juga kalau tidak dituruti. Mungkin selama ini tidak ada yang menemani, yang nampak dari wajahnya terus-menerus sumringah.
"Baik ... baiklah kalau gitu."
Ternyata dokter bersama susternya sudah menunggu. Cukup grogi juga. Tidak pernah masuk ke ruangan seperti ini.
"Alhamdulillah bayinya sehat-sehat saja, tapi saya sarankan ibu jangan terlalu banyak beban pikiran. Banyak-banyaklah memakan makanan yang bergizi, karena kandungannya sedikit melemah," penjelasan dokter padaku dan Dona.
"Dan untuk bapak, jaga kondisi istrinya baik-baik. Hibur 'lah dia agar tak terlalu sering stres," nasehat dokter padaku.
Tengkuk belakang yang tak gatal telah ku usap, karena bingung atas kesalahpahaman dokter, karena disangkanya diri ini adalah suami Dona. Tapi lain hal dengan wajah Dona, yang tersenyum manis atas kesalahpahaman ini.
"Saya akan meresepkan beberapa vitamin agar bayi dan ibunya tetap sehat."
"Iya, Dok. Terima kasih," Kekakuan menjawab.
Ritual pemeriksaan akhirnya selesai juga. Untung saja tidak banyak pertanyaan dan itu cukup melegakan.
"Alhamdulillah ya, bayinya sehat. Padahal suamiku sudah kejam melakukan penganiyaan. Untung saja semua baik-baik saja."
"Iya, syukurlah kalau begitu."
Setelah selesai pemeriksaan, diriku berusaha ingin mengantar Dona pulang, karena dia sedang tidak membawa mobil.
"Kak Ryan?" panggil seseorang dari belakang.
Masih berdiri habis menutup pintu, ketika baru keluar dari ruang pemeriksaan kandungan.
Menoleh ketika penasaran siapakah gerangan yang memanggil.
"Mila, kamu?" jawabku terkejut, saat menoleh kearah yang memanggil.
Ternyata istri bersama mertua telah habis keluar dari ruang dokter umum.
"Aah, bagitu sialnya hari ini! Kenapa bisa bertemu dengn istri disaat bersama Dona. Ahh ... ahh, sial ... sial," runtuk ku kesal pada diri sendiri.
Terlihat wajah ibu mertua tidak suka seperti marah, ketika melihat apa yang tengah kulakukan bersama Dona sekarang.
"Hai, Mila. Gimana kabar kamu?" Basa-basi Dona sambil menyodorkan tangan.
Mereka tidak menyambut baik sehingga tangan Dona ditarik kembali.
"Kalian sedang apa dirumah sakit ini?" Mencoba mencari celah mengobrol pada ibu mertua dan Mila.
"Ayo kita pergi saja, Mila! Ibu malas meladeni orang yang tak berguna seperti mereka," ketus Ibu mertua.
Tanpa ada jawaban sepatah katapun dari Mila, mereka langsung saja berlalu pergi menjauh.
Sementara aku hanya diam terpaku tak bisa melakukan lebih, takutnya akan terjadi pertengkaran, sebab ada ibu mertua yang sedang kesal padaku.
"Maafkan aku, Ryan. Atas kejadian barusan sehingga ada kesalahpahaman lagi dan itu cukup membuat istri kamu marah," ucap Dona tak enak hati.
"Gak pa-pa, Dona. Lupakan saja, Ayo! Ku antar kamu pulang," tawarku.
"Iya Ryan, terima kasih."
"Sama-sama."
Mobil sudah melaju dengan cepat, untuk segera mengantar Dona sampai dirumahnya. Pikiran tak tenang dan cukup gelisah.