Seorang penembak jitu tewas kerena usia tua,dia mendapatkan dirinya bereinkarnasi kedunia sihir dan pedang sebagai anak terlantar, dan saat dia mengetahui bahwa dunia yang dia tinggali tersebut dipenuhi para penguasa kotor/korup membuat dia bertujuan untuk mengeksekusi para penguasa itu satu demi satu. Dan akan dikenal sebagai EXONE(executor one) / (executor utama) yang hanya mengeksekusi para penguasa korup bahkan raja pun dieksekusi... Dia dan rekannya merevolusi dunia.
Silahkan beri support dan masukan,pendapat dan saran anda sangat bermanfaat bagi saya.
~Terimakasih~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aegis zero, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EXECUTOR
Hari itu, cahaya menembus kelopak mata Arya Setya. Perlahan, ia membuka matanya dan mendapati dirinya terbaring di padang rumput yang asing. Langit biru membentang luas, berbeda dari langit kelabu penuh polusi yang ia kenal di Bumi. Aroma tanah yang segar dan suara angin yang mengalun lembut menyambutnya, namun yang ia rasakan hanyalah kebingungan dan kehampaan.
Ia duduk perlahan. Tangan mungilnya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tak mengenali wujud tubuhnya sendiri. Jemarinya kecil, kurus, seperti tangan seorang bocah. Ia meraih rambutnya, meraba wajahnya, lalu berdiri pelan dan menatap sekeliling.
"Di mana ini?" gumamnya pelan. Tatapannya menyapu langit, lalu tanah. "Bukankah aku... sudah mati?"
Bayangan tentang kematiannya kembali hadir. Ia telah menutup usia di Bumi sebagai manusia tua renta, sekarat sendirian dalam kamar sunyi tanpa sanak keluarga, tanpa penghormatan. Dunia telah melupakannya, meski ia pernah menjadi penembak jitu paling mematikan dalam sejarah.
"Bukannya aku menyesalinya..." katanya dalam hati, sorot matanya kosong, "tapi... untuk apa aku hidup? Untuk siapa semua jasaku selama ini?"
Hening menyelimuti hatinya. Dunia yang ia tinggalkan tidak memberinya penghargaan, dan dunia baru ini belum menyambutnya. Namun satu hal pasti: ia hidup kembali. Entah bagaimana.
“Tubuh ini… terasa ringan. Dan tangan ini… mungil sekali.” Ia memperhatikan dirinya dengan cermat. “Aku hidup kembali… sebagai anak kecil? Anak terlantar, sepertinya.”
Suara dedaunan berdesir. Dari balik semak, muncullah seorang anak perempuan berambut pendek yang menatap Arya dengan penasaran.
“Hei, kamu kenapa ngomong sendiri?” tanyanya polos.
Arya sempat terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Ah, tidak apa-apa. Eetto... Dina, kan?”
“Iya,” jawab anak itu sambil tersenyum kecil.
Nama itu muncul begitu saja di benaknya, seperti ingatan yang tertanam. Dina. Seorang anak perempuan satu tahun lebih muda darinya. Meski baru bertemu, Arya merasakan keterikatan aneh dengan gadis itu. Mungkin karena mereka sama-sama anak terlantar. Mungkin karena takdir menyatukan mereka di tanah asing bernama DIRU.
Ketika ia memejamkan mata, potongan ingatan mulai berjatuhan. Dunia ini adalah dunia sihir dan pedang. Tempat mereka berada sekarang adalah wilayah terbuang, tempat para anak yang dilupakan berkumpul.
Perutnya tiba-tiba berbunyi. "Groowlll..." suara itu mengganggu keheningan. Ia menghela napas.
“Baiklah, cari makanan dulu,” ucapnya lirih.
Ia menuruni tebing kecil dan menemukan buah menyerupai pisang tumbuh di antara semak-semak. Ia memetik beberapa, lalu kembali menghampiri Dina.
“Nih, makan dulu,” ujarnya sambil menyodorkan buah itu.
“Terima kasih,” kata Dina, suaranya pelan tapi tulus.
Arya hanya mengangguk kecil dan duduk di sampingnya. Pandangannya menerawang, melihat langit yang tak dikenal, memikirkan kenapa banyak anak terlantar di dunia ini. Ke mana para penguasa kota? Kenapa tidak ada yang peduli?
Ia bangkit, berjalan menuju tepi tebing. Angin menerpa wajahnya, membelai rambutnya yang kini pendek. Ia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
“Jadi, penguasa kota ini korup, ya…” gumamnya. Potongan ingatan semakin jelas. “Dunia ini... dunia sihir, ya?”
Tiba-tiba, keisengan muncul dalam benaknya.
"Kalau aku bisa pakai sihir... pasti keren. Coba ah..."
“Api!” serunya, mengangkat tangan.
Seketika, nyala kecil muncul di telapak tangannya.
“Woah… berhasil. Air!”
Tetesan air muncul dan mengalir.
“Angin…”
Udara berputar di sekitar tangannya.
“Tanah…”
Permukaan tanah berguncang dan sedikit terangkat.
“Cahaya…”
Sinar terang muncul, menyilaukan mata.
“Kegelapan...”
Aura kelam membungkus telapak tangannya sejenak.
Ia terdiam, terpana oleh apa yang baru saja dilihat. “Berarti tubuh ini bisa enam elemen… Kalau kulatih dengan benar, aku bisa jadi tak tertandingi.”
Ia tertawa pelan. Tawa itu bukan euforia, melainkan tekad.
"Tujuan, ya? Apa tujuanku hidup di dunia ini? OH IYA! Kalau penguasanya korup, dan mungkin penguasa-penguasa lain juga begitu... bagaimana kalau ku eksekusi saja mereka semua? Bahkan mungkin... rajanya juga." Sebuah senyum tajam mengembang di bibirnya. “Oke, sudah kuputuskan. Aku akan mengeksekusi mereka semua.”
Dan sejak saat itu, ia mulai melatih diri.
Arya tak menyia-nyiakan waktu. Siang dan malam, ia mengasah kekuatan sihirnya, melatih tubuhnya, membaca ulang ingatan masa lalunya tentang strategi, teknik tempur, serta rekayasa senjata. Ia mengajari Dina hal yang sama, membentuk kekuatan kecil mereka sendiri di hutan yang jauh dari pemukiman.
Sebulan pun berlalu.
Pada suatu sore, Arya duduk bersila di tanah, mencoret-coret skema di permukaan tanah menggunakan ranting.
“Rasanya tak lengkap kalau tak ada senapan sniper,” gumamnya. “Tapi buatnya dari apa ya? Tanah? Enggak mungkin, pasti rapuh.” Ia mengetuk dagunya. “Bagaimana kalau... cari pasir besi di dalam tanah?”
Ia mengalirkan sihir ke tanah.
“Search…” bisiknya.
Tanah di depannya bergolak. Pasir hitam berminyak mulai muncul dari bawah.
“Raise sand!”
Pasir itu terangkat, membentuk gumpalan. Ia panaskan dengan sihir api, melelehkannya hingga bisa dibentuk. Dengan penuh presisi, ia mulai mencetak potongan demi potongan: laras, pelatuk, scope, dan peluru. Semuanya dilakukan dengan tangan dan sihir.
Beberapa hari kemudian, sebuah senapan sniper berbahan logam hitam selesai dibuat.
“Sip, sudah jadi. Pelurunya juga siap.” Ia mengarahkan senjatanya ke sebuah pohon.
Dorr!
Tembakan melesat, tapi hasilnya kurang memuaskan.
“Hmm, kurang akurat.” Ia membuka kembali bagian scope. “Coba lagi.”
Phuu!
Tembakan kedua jauh lebih presisi.
“Perfect.”
Tiba-tiba, suara langkah kecil terdengar mendekat.
“Suara apa yang keras tadi, Ar?” tanya Dina, yang muncul dengan napas tersengal. Sepertinya ia berlari mendaki dari arah bawah.
“Oh, aku membuat senjata.”
“Senjata? Apa itu? Tongkat? Tombak?”
“Bukan. Ini namanya sniper AWM. Senjata jarak jauh. Enggak perlu sihir atau anak panah. Jangkauannya jauh lebih luas.”
Dina menatap senjata itu dengan takjub. “Kenapa bikin itu?”
“Bukankah sudah kuberitahu tujuanku?” Arya tersenyum. “Ini untuk mengeksekusi para penguasa korup. Lalu, bagaimana dengan latihanmu?”
“Tadi aku latihan, tapi dengar suara keras itu, jadi aku buru-buru naik. Capek, tahu.” Dina menghela napas, lalu melipat tangan di dada. “Kupikir ada apa. Ternyata kamu bikin senjata.”
“Hahaha, maaf-maaf. Nih, lihat hasilnya.” Arya membidik pohon dan menarik pelatuk.
Phuu!
Lubang besar tercipta di batang pohon.
“Woah! Apa-apaan itu! Pohonnya bolong tanpa panah. Dan suaranya lucu banget... Phuu hahaha!”
“Hahaha! Hebat, kan aku? Suara ini biar enggak terdengar dari jauh seperti waktu pertama kal i Dor gitu.”
“Ya ya, hebat, hebat. Aku latihan lagi, ya. Bye!”
“Semangat ya...”
Hari-hari terus berlalu. Latihan mereka semakin keras, sihir mereka semakin matang, strategi mereka semakin tajam. Mereka bertumbuh, perlahan tapi pasti.
Tiga tahun kemudian, Arya genap berusia dua belas tahun. Dina, sebelas. Kini, mereka bukan lagi anak-anak terlantar biasa. Mereka adalah pembunuh diam-diam yang siap mengguncang dunia.
Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti hutan tempat mereka tinggal. Di tengah kesunyian alam, Arya dan Dina berdiri berdampingan di tepi jalan setapak. Di depan mereka terbentang jalur menuju kota LILA, tempat eksekusi pertama akan dilaksanakan.
“Ini debut kita, ya?” tanya Dina, suaranya datar namun matanya bersinar.
“Iya,” jawab Arya tenang. “Jangan sampai kamu menghambat.”
Dina mencibir. “Enggak lah. Aku sudah latihan keras.”
Meski Arya terlihat santai, di balik sikapnya yang dingin tersembunyi keyakinan penuh pada kemampuan Dina. Selama tiga tahun, mereka tumbuh bersama, berlatih bersama, dan membangun kekuatan dari nol. Dina adalah spesialis pertarungan jarak dekat. Ia menguasai teknik pembunuhan senyap dan menggunakan dua belati istimewa buatan Arya, ditempa dari mithril. Belati itu mampu menyalurkan sihir, dan Dina telah menguasai dua elemen: api dan angin. Kombinasi itu menjadikannya mematikan dalam pertempuran jarak dekat.
Arya menatap ke arah cakrawala. “Target kita masih ingat, kan?”
“Ingat. Penguasa kota LILA…, kan?”
“Ya. Penguasa kejam yang menaikkan pajak dan menyiksa rakyatnya selama bertahun-tahun.”
Dina mengangkat alis. “Jadi kamu yang mengeksekusi? Aku ngapain?”
“Kamu menyelinap masuk. Pastikan lokasinya dan bunuh para penjaga jika perlu.” Arya merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah alat kecil berbentuk seperti kristal. “Gunakan alat ini.”
Dina menerima alat itu dan memeriksanya. “Wah, alat sihir yang bisa bicara jarak jauh... Kamu jenius banget!”
Arya tertawa pelan. “Hahaha! Pujilah aku terus!”
“Cih. Tapi kenapa bukan aku saja yang eksekusi? Aku sudah nyelinap, kan?”
“Ini bukan panggungmu.” Arya menatapnya lurus. “Kalau aku yang eksekusi, penyelidik bakal bingung mereka akan mengira peluru itu berasal dari luar. Jadi kau tetap aman.”
Dina mendesah. “Oh, ya ya.”
Perjalanan menuju kota LILA memakan waktu dua hari. Mereka berjalan menyusuri hutan, menyamar sebagai pengembara. Saat mereka tiba di kota, sore telah menjelang. Udara panas dan debu menyelimuti jalan-jalan berbatu yang gersang. Bangunan terlihat suram. Meski kondisi kota ini sedikit lebih baik dari daerah terlantar, namun aroma ketidakadilan terasa jelas di udara.
“Kota ini menyedihkan...” gumam Dina. “Meski lebih baik dari tempat kita dulu, tapi tetap suram.”
“Ya. Itulah tugas kita,” balas Arya. “Memurnikan dunia dari para tikus berpakaian mewah.”
Ia menunjuk ke sebuah dataran tinggi di pinggir kota yang menghadap ke sebuah bangunan besar.
“Aku akan di sana. Kalau ada apa-apa, hubungi aku.”
“Baik.”
Malam menjelang. Dina menyusup ke sebuah bar untuk mengumpulkan informasi. Ia mengenakan tudung hitam dan duduk tenang di sudut ruangan. Matanya mengamati sekeliling tanpa bicara banyak. Saat memesan susu, beberapa pelanggan tertawa mencemooh, tetapi ia tidak menggubris. Fokusnya hanya satu: informasi.
Bartender yang tampak tua akhirnya membuka suara, mungkin karena iba atau karena ingin mengeluh.
“Penguasa kota ini semena-mena. Penjaga kota hanya berpusat di mansion. Jumlah mereka lebih dari dua puluh,” katanya lirih.
“Terima kasih,” ucap Dina sambil meletakkan beberapa koin dan segera pergi tanpa menoleh lagi.
Ia kembali ke Arya yang menunggunya di dataran tinggi.
“Penjaga lebih dari dua puluh,” lapornya. “Tapi tidak tahu siapa yang paling kuat.”
Arya hanya mengangguk. “Kamu bisa mengatasinya. Kamu kuat, Dina.” Suaranya terdengar yakin. “Kau bisa sihir, senjatamu kuat. Meski seratus pun, kau mampu.”
“Baiklah...” jawab Dina, meski masih tampak ragu. Namun keyakinan Arya menyulut keberanian dalam dirinya.
Malam itu, eksekusi pertama dimulai.
Dina menyelinap ke dalam pekarangan mansion, gerakannya ringan dan tak terdengar. Ia bersembunyi dalam bayangan, bergerak dari satu sudut ke sudut lain. Dua penjaga gerbang berdiri mengawasi, namun mereka tidak sempat melihat apa pun sebelum tenggorokan mereka disayat dengan presisi.
Dina terus masuk ke dalam. Ia bergerak seperti angin malam, senyap dan mematikan. Tiga... empat... lima... hingga kelima belas penjaga tumbang dalam diam, darah mereka tak lebih dari noda di kegelapan.
"Sudah lima belas..." pikir Dina. "Sisanya mungkin di depan kamar penguasa."
Ia melangkah tanpa suara, mendekati pintu besar berhias emas. Penjaga tersisa berjaga ketat, namun satu per satu mereka jatuh. Belati api dan angin miliknya menari dalam gelap.
Akhirnya, ia berdiri di depan pintu kamar penguasa.
“Penguasanya di dalam kamar,” bisiknya ke alat komunikasi.
“Dimengerti,” jawab Arya dari kejauhan.
Ia memejamkan mata, menyalurkan sihir.
“Search. Lock.”
Senapan terangkat, ujungnya mengarah ke jendela kamar utama.
Phuu!
Tembakan sunyi melesat, menembus kaca, lalu menembus kepala sang penguasa dengan tepat. Tubuhnya roboh tanpa sempat mengeluarkan suara.
“Berhasil,” ujar Arya dingin.
Beberapa menit kemudian, Dina keluar dari mansion dengan langkah tenang. Namun raut wajahnya tampak kesal.
“Kalau semudah itu, kenapa aku harus repot membunuh para penjaga?” keluhnya.
“Mereka juga biadab seperti penguasanya,” balas Arya. “Kalau mereka punya hati nurani, mereka tak akan menuruti perintah korupsi dan kekejaman. Anak-anaknya juga semuanya sudah terkontaminasi. Tapi para pembantu... mereka hanya korban tekanan. Mereka tidak perlu dibunuh.”
Dina terdiam sejenak. Ia mengangguk pelan, lalu melangkah pelan. Ia tidak menjawab, namun hatinya mengiyakan. Apa yang mereka lakukan bukan sekadar pembunuhan. Ini adalah eksekusi atas kebusukan.
Keesokan harinya, jeritan terdengar dari dalam mansion. Para pembantu menemukan mayat sang penguasa dan keluarganya dalam kondisi mengerikan. Ketakutan menyebar seperti wabah. Namun bersamaan dengan itu, rasa lega pun mulai tumbuh di antara rakyat.
Rumor pun menyebar.
“Hey, kau sudah dengar tentang kematian penguasa kota LILA?”
“Sudah. Mereka semua dibantai dalam satu malam.”
“Tapi kota jadi lebih baik sekarang.”
“Kira-kira siapa yang melakukannya? Organisasi rahasia?”
“Mungkin. Tapi siapa pun mereka... mereka membuat perubahan.”
Dua minggu telah berlalu sejak eksekusi pertama. Arya dan Dina kini melanjutkan perjalanan ke target berikutnya.
“Siapa target kita selanjutnya?” tanya Dina.
“Penguasa kota SIJU. Arah selatan dari kota LILA. Keluarga mereka juga terkenal korup.”
“Apakah para penjaganya kuat?”
“Menurut info yang kudapat... ya, lumayan. Kenapa? Kau ingin tantangan?”
“Bukan penggila pertarungan juga kali... tapi ingin saja merasakan pertarungan yang lebih intens.”
“Hahaha. Semoga kali ini kau dapat lawan kuat.”
Dina mendengus. “Tch.”
Satu hari kemudian, mereka tiba di kota SIJU.
“Kondisinya mirip kota LILA... kenapa sih raja memilih penguasa sampah semua? Jangan-jangan rajanya juga begitu?” ujar Arya.
“Iya, menyedihkan sekali... Tapi dengan adanya kita, dunia ini akan dimurnikan.”
“Tentu saja. Tanganku sudah gatal ingin mengeksekusi mereka.”
“Kau penggila pertarungan juga?”
“Hah? Juga? Jadi kau mengaku?”
“Enggak!”
Malam pun tiba. Operasi kedua dimulai.
“Bagaimana kondisi di sekitarmu?” tanya Arya melalui alat komunikasi.
“Sudah masuk pintu depan. Para penjaga... seperti sebelumnya.”
“Nanti buat dia keluar ketakutan. Biar aku bisa mengeksekusinya dari sini. Dari posisi ini, aku tak bisa melihat langsung.”
“Baik.”
Dina bergerak cepat. Tapi kali ini, penjaga jauh lebih banyak lebih dari lima puluh orang. Ia menyalurkan sihir api dan angin ke belatinya. Setiap tebasan membakar dan mengoyak. Ia tak lagi senyap. Kali ini, ia adalah badai.
“Cih! Wanita ini kuat sekali! Bunuh dia!”
“Orraaa!! Mati kau!!!”
Dina melompat tinggi, menebas dua kepala sekaligus di udara. Api meledak dari tubuhnya, menghantam penjaga lain. Darah menyembur. Jeritan memenuhi udara.
“Tidak semudah itu, para sampah... Kalianlah yang akan mati.”
Slash! Boom! Slash! Darah menodai lantai marmer putih, berubah menjadi saksi bisu pembantaian.
Sementara itu, di dalam kamar utama...
“Suara apa itu?! Kenapa berisik sekali?!” sang penguasa terbangun, panik. Ia berlari keluar, dikelilingi penjaga terakhirnya.
“Hiiii! Bunuh dia! Jangan biarkan dia mendekatiku!!”
Dari atas dataran tinggi, Arya menyesuaikan bidikan.
“Hahaha, Dina benar-benar mengamuk hari ini. Biasanya senyap, sekarang seperti badai.” Ia mengangkat senjatanya. “Lock.”
*Phuu!* Tembakan tepat menghantam kepala sang penguasa. Mayatnya roboh, disusul para penjaga di sekitarnya.
Di halaman mansion, Dina berdiri dengan napas berat. Matanya menyapu tubuh-tubuh yang berserakan.
“Aku sudah selesai. Jumlah mereka... lebih dari lima puluh. Gila, ini bukan main.”
“Bagaimana dengan anak-anaknya?”
“Apakah akan dibunuh seperti sebelumnya?”
“Tidak. Kali ini... anak-anaknya masih kecil. Mereka bisa dididik oleh orang yang benar.”
“Para pembantu?”
“Seperti sebelumnya. Biarkan mereka.”
Dina mengangguk. “Baiklah.”
Target kedua dieliminasi.
Dua hari kemudian, di istana kerajaan...
“APA?!” suara membahana mengguncang dinding istana. Seorang pria bermahkota berdiri dengan mata menyala.
“Penguasa kota SIJU mati?! Sebelumnya kota LILA... Sekarang ini?!”
Ia tertawa keras, penuh kemarahan dan kegembiraan yang aneh bercampur jadi satu.
“KuHAHAHAHA! MENARIK! ADA TIKUS KECIL YANG BERANI MENGGANGGU CARAKU MEMERINTAH!”
*SEKIUS BELMERA IV, Raja Kerajaan Belmera*, menyeringai lebar.
Sementara itu, jauh dari istana, Arya termenung di bawah langit malam.
“Kau kenapa?” tanya Dina, yang duduk di sampingnya. “Murung?”
“Hm... aku bisa banyak sihir. Tapi rasanya hampa kalau cuma pakai sniper. Aku ingin merasakan pertarungan jarak dekat, seperti kamu.”
Dina tersenyum lebar. Matanya berbinar penuh tantangan.
“Bagaimana kalau target selanjutnya... kita berdua yang turun langsung? Bunuh targetnya dari jarak dekat?”
Arya menoleh padanya. Matanya menyala. Sebuah ide baru terlintas di benaknya.
“Boleh juga! Kombinasi sihir dan pistol... sepertinya menarik.”
“Hah?!” Dina memelototinya, kaget Arya benar-benar mempertimbangkan hal itu.
Arya hanya terkekeh.
Eksekusi selanjutnya… akan berbeda.