Angkara Afrizal Wijaya, ketua osis yang kehidupannya hampir sempurna. Tetapi, karena kehadiran adik kelas yang sangat menyebalkan. Kesehariannya di sekolah bagaikan neraka dunia.
Dia adalah Alana, gadis gila yang selalu mengejar-ngejar cinta seorang Angkara tanpa kenal lelah. Alana adalah ketua geng motor Avegas.
"Kak Angkasa!"
"Nama aku Angkara!"
"Tetap saja aku akan memanggilmu Angkasa, Angkara Sayang."
Kisah cinta abu-abu pun di mulai! Akankah gadis gila seperti Alana, mampu meluluhkan hati ketua osis galak?
Follow tiktok: Cepen
Ig: tantye005
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32~ Lo harus ingat, musuh abadi All Star adalah Avegas!
Tawa membahana dari teman-temannya tak membuat hati Gio kembali membaik setelah tahu bahwa ketuanya akan menikah dengan Angkara dalam waktu dekat. Meski tak ada yang harus Alana korbankan, ia tetap saja merasa sedih. Ia tidak mau jika setelah menikah Alana jarang datang ke markas dan mulai menjauh. Lebih parahnya lagi jika Alana mengundurkan diri menjadi ketua Avegas.
Lamunan Gio hampir satu jam baru ter buyarkan kala kulit kacang mendarat di wajahnya. Mau marah, tetapi lemparan itu berasal dari Alana yang sedang tertawa bersama Roy. Entah mereka membicarakan apa sampai bisa sebahagia itu.
"Kenapa lo? Murung kayak orang yang baru putus saja. Sini bergabung!" teriak Alana.
Gio tersenyum, segera menghampiri teman-temannya yang berada di bawah pohon mangga besar. Pohon yang menjadi saksi berdirinya Avegas. Lantaran menanam mangga tersebut tak lain inti Avegas dan merawatnya penuh cinta.
"Bahagia banget, bahas apa?" tanya Gio setelah duduk di samping Alana.
"Ini si Vian, katanya tadi pas mengantar Tiara ke rumah sakit ada yang godain. Awalnya Vian godain balik, eh setelah dilihat secara maksimal rupanya perempuan jadi-jadian," cerita Roy.
"Garing."
"Selera humor lo yang ketinggian. Napa sih?" timpal Jevian yang melihat wajah wakil ketua Avegas tak sebahagia tadi sore.
"Nggak ada, gue balik duluan lah. Sudah jam setengah 12. Al lo mau ikut?" tanya Gio.
"Boleh." Alana segera menyambar jaketnya, bertos ria ala laki-laki sebelum meninggalkan markas.
Seperti biasa Alana akan pulang dikawal oleh Gio terlebih dahulu. Beberapa hari ini suasana jalanan aman-aman saja karena tidak ada pergerakan dari para geng motor, terutama Avegas. Alana sengaja menyuruh mereka agar tidak menyerang All Star secara acak sebelum menjalankan rencana yang telah ia susun serapi mungkin.
"Sebenarnya lo sedang merencanakan apa untuk Vano?" tanya Gio kala mereka berhenti di lampu merah.
"Lo lihat besok apa yang akan gue lakukan."
"Gue harap tindakan lo nggak menyakiti diri sendiri. Lo tuh berharga banget untuk Avegas. Jantung Avegas ada di lo."
"Jantung lo gimana?" tanya Alana menggoda.
"Gue nggak punya jantung." Menatap Alana cukup dalam.
"Masa? Padahal pisang saja punya jantung." Alana tertawa. Gadis itu kembali melajukan motornya setelah lampu berubah hijau. Melambaikan tangan kala memasuki pagar besi pertanda mereka berdua siap berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
Seperti dugaannya, sang daddy sudah berdiri di ambang pintu menunggu kedatangannya.
"Kurang lima menit. Artinya nggak melanggar peraturan." Alana menyengir.
"Daddy tahu, sekarang waktunya tidur dan istirahat." Dito menutup pintu rumah. Mengantar putri tercinta hingga di depan kamar, barulah kembali ke kamarnya.
Sama seperti Avegas, Alana adalah jantungnya. Dito tidak akan rela jika putrinya terluka seujung kuku saja. Andai kebusukan Tiara tidak cepat tercium oleh Avegas, mungkin Dito telah bertindak. Untung saja Avegas gercep sehingga ia tidak harus membuang waktunya untuk mengurusi hal sampah seperti ini.
....
Mungkin bagi sebagian keluarga, sarapan di meja makan bersama orang tua sudah menjadi hal biasa. Tetapi berbeda untuk Devano. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa satu meja makan dengan daddynya. Biasanya sang daddy hanya sibuk di kantor saja, bahkan pulang ke rumah pun jarang.
"Tumben daddy lama di rumah. Biasanya kalau nggak keluar kota yang keluar negeri," celetuk Devano sambil memasukkan buah ke mulutnya sebagai pencuci mulut. Ia adalah tipe lelaki penyuka sarapan berat, nasi contohnya.
"Daddy sudah memindahkan semua pekerjaan ke kota ini, jadi nggak ada alasan untuk meninggalkan kamu lagi."
"Baguslah, setidaknya Vano nggak sendirian di rumah." Vano beranjak dari duduknya setelah selesai sarapan. Menyambar kartu kredit yang tergeletak di atas meja.
"Jangan boros-boros. Jangan mencari masalah!" Peringatan Aron.
"Vano tahu."
"Jika kamu membuat masalah, semua fasilitas daddy sita."
"Siap!" sahut Vano sebelum melajukan motornya meninggalkan rumah besar milik sang daddy.
Ia bersenandung kecil di tengah-tengah perjalanan. Hari ini ia sangat bersemangat ke sekolah karena kehadiran seseorang di SMA Taruna Bakti. Siapa lagi jika bukan ketua Avegas.
Jika di lihat-lihat wajah Alana memang cantik, Devano tak bisa menyangkal itu. Sayangnya gadis seperti Alana tidak masuk kriterianya, terlebih Alana adalah titisan setan.
"Woi lo punya mata nggak sih?" teriak Alana kala motornya dengan Devano hampir saja berciuman di depan pagar sekolah.
Sebenarnya ini bukan salah Devano, tetapi salah Alana yang sengaja menyerobot demi mencari masalah pagi-pagi seperti ini.
"Berani lo sama gue, hm? Dasar nenek lampir!" Devano berlalu begitu saja dengan wajah kesalnya, berbeda dengan Alana yang malah tertawa.
"Hay," sapa seorang gadis saat Alana baru saja turun dari motor kesayangannya.
"Nyapa gue?" tanya Alana.
"Iya."
"Kenapa memangnya?"
"Kita satu kelas, apa kita boleh berteman? Aku duduk tepat di belakang kamu."
"Kita berteman." Alana meraih uluran tangan gadis yang terlihat lugu itu. Alana adalah tipe manusia yang tidak masalah berteman dengan siapa saja.
"Woi lo!" tegur Devano pada Alana yang berjalan di koridor sekolah.
"Apa?"
"Sudah berani ternyata lo sama gue. Jangan harap lo bisa tenang ya di sekolah ini. Lo harus ingat, musuh abadi All Star adalah Avegas!"
"Gue nggak pernah lupa." Alana mengedikkan bahunya acuh. Menabrak pundak Devano dan berlalu begitu saja bersama teman barunya yang sejak tadi menunduk.
"Jangan mencari gara-gara dengan Vano. Dia kalau marah seram dan suka main fisik," peringatan Gebi.
"Bagus dong."
"Bagus apanya? Kamu bisa terluka karena Vano. Dia adik kelas tapi gayanya seperti kakak kelas. Dia tidak pernah nurut pada siapa pun. Mungkin karena anak pemilik sekolah."
"Gebi, nama lo Gebi kan?" tanya Alana padahal jelas-jelas ia telah memegang name tag teman barunya itu. "Dari tampang lo, sepertinya lo selalu mendapatkan masalah dari Devano. Mulai hari ini lo teman gue dan Devano nggak boleh menyentuh lo meski seujung kuku saja."
"Omongannya jangan besar-besar Alana, nanti Vano dengar." Gebi membekap mulut Alana.
mana dia nggak dkasih anak lagi
kasiaan banget,
seakan disini marwah dito dipertaruhkan