ADRIAN PRATAMA. Itu nama guru di sekolah gue yang paling gue benci. Karena apa? Karena dia udah membuka aib yang hampir tiga tahun ini gue tutup mati-matian.
“Dewi Mantili. Mulai sekarang kamu saya panggil Tili.”
Nyebelin banget kan tuh orang😠 Aaarrrrggghhh.. Rasanya pengen gue sumpel mulutnya pake popok bekas. Dan yang lebih nyebelin lagi, ternyata sekarang dia dosen di kampus gue😭
ADITYA BRAMASTA. Cowok ganteng, tetangga depan rumah gue yang bikin gue klepek-klepek lewat wajah ganteng plus suara merdunya.
“Wi.. kita nikah yuk.”
Akhirnya kebahagiaan mampir juga di kehidupan gue. Tapi lagi-lagi gue mendapati kenyataan yang membagongkan. Ternyata guru plus dosen nyebelin itu calon kakak ipar gue😱
Gue mesti gimana gaaeeesss???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kencan
Motor yang dikendarai Aditya memasuki gerbang tempat kontrakan haji Soleh berada. Sejenak pemuda itu menghentikan kendaraannya, mencoba mencari di mana rumah petak tempat tinggal Dewi. Dia lalu menghampiri beberapa pemuda yang tengah berkumpul di dekat gerbang. Masih berada di atas motornya Aditya mulai bertanya.
“Punten kang, kalau rumahnya Dewi yang mana?”
“Dewi anaknya almarhum pak Herman?”
“Iya, kang.”
“Itu yang paling ujung, sebelah kanan,” pria yang menjawab pertanyaan Aditya menunjuk rumah petak yang paling ujung. Dan mata Aditya langsung mengikuti gerakan tangannya.
“Nuhun, kang.”
“Sami-sami.”
Aditya langsung mengarahkan motornya ke rumah yang ditunjuk tadi. Dia mematikan mesin motornya kemudian mendekati rumah tersebut. Dia terdiam di depan teras sejenak. Suasana rumah nampak sepi, namun dari luar bisa terdengar suara yang berasal dari televisi.
TOK
TOK
TOK
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Nenden yang tengah menonton televisi, bangun dari duduknya lalu bergegas membukakan pintu. Sejenak wanita itu terpaku melihat pemuda yang belum pernah dilihatnya. Aditya melemparkan senyuman pada Nenden.
“Malam tante. Dewinya ada?”
“Ada. Maaf dengan siapa ya?”
“Kenalkan tante, saya Aditya.”
Aditya mengulurkan tangannya pada Nenden, saat wanita itu membalas uluran tangannya, dia terkejut ketika Aditya langsung mencium punggung tangannya. Bertepatan dengan itu Dewi muncul.
“Adit,” panggil Dewi.
“Ini teman kamu, neng?” tanya Nenden seraya menoleh pada sang putri.
“Iya, bu.”
“Maaf tante, saya boleh ajak Dewi keluar? Ngga lama kok tante, paling jalan-jalan sambil keliling cari tukang sekuteng yang bawa kabur centong sayur mama saya.”
“Idih..” sahut Dewi. Nenden hanya tersenyum mendengarnya. Dia teringat akan nama Aditya yang pernah disebutkan anaknya beberapa waktu yang lalu.
“Ini teh Aditya yang waktu itu kamu bilang bukan?”
“Dewi bilang apa tante?”
“Cakep katanya.”
“Ibu iihhh…” Dewi menarik daster yang dikenakan Nenden.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu mengakui juga ya kegantenganku.”
“Apaan sih,” wajah Dewi langsung merona merah.
Dari interaksi muda mudi di dekatnya, Nenden sudah tahu kalau ada percikan cinta di antara mereka. Apalagi sikap Aditya juga begitu sopan dan santun, membuat yang baru mengenalnya langsung menyukainya.
“Bagaimana tante? Apa saya boleh ajak Dewi pergi?”
“Boleh, tapi pulangnya jangan malam-malam. Jam sembilan harus sudah di rumah.”
“Siap tante. Ayo, De.”
Dewi segera berpamitan pada ibunya seraya mencium punggunng tangannya. Nenden masih bertahan di tempatnya, memperhatikan Aditya yang tengah memberikan helm berwarna pink pada Dewi. Tak lama kendaraan roda dua itu mulai bergerak pergi.
“Ini motor siapa?” tanya Dewi.
“Motor kakakku, tapi sekarang udah diwarisin ke aku,” jawab Aditya setengah berteriak karena bersaing dengan desiran angin.
“Kita mau ke mana?”
“Ada deh.”
Dewi tak bertanya lagi, dia membiarkan saja Aditya menjalankan kendaraan ke tempat yang ditujunya. Dia percaya pemuda itu tidak akan membawanya ke tempat yang berbahaya atau menyeramkan.
Aditya terus melajukan kendaraannya melewati beberapa lampu merah. Motornya kemudian berbelok memasuki area Teras Cikapundung. Di sana sudah terparkir banyak kendaraan roda dua dan juga roda empat. Pemuda itu menghentikan motornya di salah satu tempat yang kosong. Dewi turun dari motor kemudian melepas helmnya. Matanya memandangi kerumunan pengunjung yang ada di sana.
“Ayo.”
Sambil menggandeng tangan Dewi, Aditya mulai berjalan kelaur dari area parkir kemudian menuju teras Cikapundung. Nampak pengunjung di sana sudah mulai berkumpul untuk menikmati pertunjukkan air mancur. Aditya mengambil tempat di dekat air mancur, sedikit berdesakan dengan pengunjung lain seraya menggenggam tangan Dewi erat.
“Kamu udah pernah ke sini?” tanya Aditya.
“Pernah sekali, tapi pas sore aja.”
“Kalau lihat pertunjukkan air mancur udah belum?”
“Belum.”
“Sebentar lagi mau mulai.”
Baru saja Aditya menyelesaikan ucapannya, terdengar suara seseorang yang mengatakan kalau pertunjukkan air terjun akan segera berlangsung. Banyak pengunjung yang menyiapkan ponselnya untuk mengabadikan pertunjukkan. Tak terkecuali Aditya, di tangan pemuda itu sudah terdapat ponselnya.
Pertunjukkan air mancur pun dimulai. Awalnya air mancur bergerak seperti biasa kemudian, pendaran cahaya mulai menghiasi sekelilingnya. Lalu terdengar sebuah lagu mengalun dan pergerakan air mancur mulai mengikuti irama lagu. Dewi dan juga beberapa pengunjung yang lain menikmati pertunjukan air mancur yang seperti menari mengikuti irama lagi Manuk Dadali yang diputar.
Selesai satu lagu, pertunjukkan terus berlanjut. Kini pergerakan air mancur mengikuti irama lagu Final Countdown. Mata Dewi tak berkedip melihat gerakan air yang begitu indah, Aditya pun sibuk mengabadikan dengan ponselnya. Kemudian dia mengajak Dewi berbaik dan mengganti kamera belakangnya menjadi kamera depan. Pemuda itu merekam dirinya dan Dewi dengan pertunjukkan air mancur sebagai latarnya.
Gemuruh tepuk tangan terdengar ketika pertunjukkan selesai. Beberapa orang masih bertahan di sekitar air mancur dan beberapa yang lain berpencar menuju tempat yang dirasa cocok untuk tempat mereka duduk. Aditya mengajak Dewi duduk di anak tangga yang ada di sisi kanan air mancur. Pemuda itu terus menapaki anak tangga, melewati beberapa pengunjung yang duduk di sana. Kemudian dia berhenti dan mendudukkan diri di bagian paling atas.
“Ternyata makin malam makin rame, ya,” ujar Dewi yang matanya terus memandangi pengunjung di depannya.
“Ya gitu deh. Buat yang pengen kumpul bareng atau kencan dengan modal minim ya ke sini, kaya kita, hehehe..”
“Emang kita lagi kencan gitu?”
“Anggap aja iya.”
Dewi mengulum senyumnya. Hatinya benar-benar bahagia malam ini. Kedatangan Aditya telah menghapus kesedihan yang dirasakannya tadi siang. Kebersamaannya dengan Aditya telah mengembalikan moodnya yang tadi sempat hancur berceceran.
Tanpa sengaja kepalanya menoleh ke arah kiri. Tak jauh darinya berkumpul beberapa ABG yang sepertinya juga datang untuk menikmati petunjukkan kembang api. Namun hati Dewi menjadi kesal saat tahu para ABG tersebut ternyata tengah memperhatikan Aditya. Bahkan salah satu di antaranya mengambil gambar pemuda itu diam-diam.
“Jalan-jalan ke sana yuk.”
Dewi menunjuk kearah jembatan berwarna merah. Aditya langsung mengiyakannya. Pemuda itu bangun kemudian menuruni anak tangga, tak lupa dia menggenggam tangan Dewi. Sekilas Dewi mencoba melihat pada kumpulan ABG tadi, senyumnya tersungging melihat wajah kecewa mereka. Dengan bangganya dia membalas genggaman tangan Aditya, seakan menegaskan kalau pemuda tampan ini adalah miliknya.
“Foto yuk.”
Aditya mengarahkan kameranya, mengambil gambar dirinya juga Dewi di atas jembatan. Beberapa kali dia menjepretkan kamera ponselnya sampai mendapatkan gambar yang bagus.
“Kalau pagi atau siang, kita bisa naik perahu karet.”
“Ah rutenya pendek gitu, males banget.”
“Ya anggap aja arung jeram,” Aditya terkekeh.
Dewi melayangkan pandangannya ke arah sungai. Menatap air sungai yang debitnya berkurang karena belum masuk musim penghujan. Aditya berdiri di sampingnya seraya menaruh kedua tangannya di besi pembatas.
“De.. apa ada yang buat kamu sedih hari ini?”
“Hah?”
“Mata kamu sedikit bengkak, kaya habis nangis. Kenapa?”
“Ehm.. itu…”
Dewi nampak ragu untuk bercerita, tapi kemudian meluncur juga cerita kejadian siang tadi, di mana dia begitu emosi saat melihat reka adegan pembunuhan ayahnya. Dan dia melewatkan bagian di mana dirinya menjadikan wali kelasnya samsak hidup.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Udah lumayan baikan.”
“Hal sedih tentang bapakmu tidak usah diingat lagi. Cukup kenang saja kebersamaan kalian yang membahagiakan. Jangan terus tenggelam dalam kesedihan dan amarah, karena itu hanya akan menimbulkan dendam saja. Jangan biarkan hal negatif seperti itu menguasai dirimu. Masih banyak hal penting yang harus kamu pikirkan dalam hidup, salah satunya aku,” Aditya memperlihatkan lesung pipinya saat tersenyum.
“Makasih, Dit. In Syaa Allah, aku baik-baik aja sekarang. Makasih karena kamu sudah mengembalikan moodku yang sempat hancur tadi.”
“Besok-besok kalau kamu lagi sedih, hubungi aku. Jangan sungkan untuk berbagi kesedihan denganku. Sebisa mungkin aku akan menghiburmu.”
“Makasih. Kok kamu baik banget sih.”
“Kan kamu calon makmum aku.”
“Ish..”
Dewi menundukkan kepalanya, Aditya bukan hanya selalu sukses membuat wajahnya merona, tapi juga berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan salah tingkah.
“Hari ini aku habis tanda tangan kontrak kerja, dan besok udah mulai kerja.”
“Oh ya? Selamat ya,” Dewi mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap Aditya.
“Besok kamu berangkat jam berapa? Aku antar ya ke sekolah.”
“Besok aku libur.”
“Oh libur. Kalau gitu kamu bisa dong antar aku belanja.”
“Belanja apa?”
“Aku baru pindah kontrakan, mau beli kasur, lemari sama yang lainnya. Kalau boleh kamu temanin ya.”
“Bukannya besok kamu kerja?”
“Besok aku masuk jam 3. Jadi kita belanja pagi, jam sepuluhan. Mau ngga?”
“Boleh.”
“Pulang yuk, udah jam setengah sembilan. Nanti aku kena SP ibu kamu.”
Aditya kembali menggandeng tangan Dewi kemudian meninggalkan jembatan dan berjalan menuju area parkir. Pemuda itu memakaikan helm berwarna pink ke kepala Dewi.
“Cowok kok helmnya warna pink,” ujar Dewi.
“Aku sengaja beli itu buat kamu. Kan cewek biasanya suka warna pink.”
“Ngga semua cewek.”
“Emang kamu suka warna apa?”
“Hijau.”
“Wah salah dong. Nanti aku beli pylox deh.”
“Buat apa?”
“Buat ngecat ulang helmnya.”
“Dih.”
Dewi menepuk pelan lengan Aditya. Dia segera naik ke belakang Aditya dan tak lama kemudian kuda besi itu segera meluncur. Aditya menarik tangan Dewi lalu melingkarkan ke pinggangnya.
“Pegangan! Nanti jatuh!”
Malu-malu, Dewi melingkarkan tangannya ke pinggang Aditya dan menautkan jari-jarinya. Dadanya berdebar kencang ketika motor berhenti di lampu merah, tangan Aditya memegang kedua tangannya.
“Tangan kamu dingin, De. Besok kita beli sarung tangan ya.”
“Ngga usah.”
“Ngga boleh ngebantah. Kalau kita kencan malam-malam kamu ngga akan kedinginan nantinya.”
“Terserah kamu aja.”
“Nah gitu dong, nurut sama calon imam.”
Aditya melepaskan pegangannya di tangan Dewi begitu lampu berubah menjadi hijau. Kendaraan roda dua itu kembali melaju membelah jalanan kota Bandung di malam hari. Dua puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di kediaman Dewi.
“Helmnya simpan aja sama kamu. Aku langsung pulang ya. salam buat ibumu.”
“Iya, hati-hati, jangan ngebut.”
“Iya sayang.”
BLUSH
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Aditya memutar balik kendaraannya kemudian segera meluncur pergi. Dewi masih terpaku di tempatnya, memperhatikan motor yang membawa Aditya keluar dari gerbang.
Gadis itu meraba pipinya yang menghangat karena mendengar kata sayang barusan. Sesungguhnya dia belum tahu apa nama hubungannya dengan Aditya saat ini. Pemuda itu belum menyatakan cinta secara resmi padanya, namun dari sikap dan sebutan calon makmum untuknya membuat Dewi menyimpulkan kalau Aditya menyukainya. Dan semoga saja kesimpulannya itu benar adanya.
🌸🌸🌸
Bener Wi.. Aditya suka sama kamu, Adrian juga loh🚴🚴🚴🚴