Benci jadi cinta, atau cinta jadi benci?
Kisah mereka salah sejak awal. Sebuah pertemuan yang didasarkan ketidaksengajaan membuat Oktavia harus berurusan dengan Vano, seorang idol terkenal yang digandrungi banyak kalangan.
Pertemuan itu merubah hidupnya. Semuanya berubah dan perubahan itu membawa mereka ke dalam sebuah rasa. Cinta atau benci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suci Aulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali dengan Kecewa
• Saat akal sudah tau ujungnya pasti kecewa, tapi kenapa hati masih memberi celah untuk menumbuhkan harapan?.
Kuatin bahunya untuk kecewa-kecewa yang akan datang dikemudian hari ya....
Sebelumnya, mau ngucapin happy new year dulu buat orang-orang baik ❤
Tepuk tangan untuk kita yang berhasil bertahan sampai di titik ini, kalian hebat!.
Jangan putus asa, jangan nyerah. Yuk kokohin bahunya lagi, masih banyak mimpi yang harus diraih dan masih banyak asa yang harus digapai. Tetap semangat, meskipun hati selalu dirundung kecewa:)
Ketemu lagi sama Okta dan Vano, jangan lupa tinggalkan jejak dan share sebanyak mungkin!.
***********
Helaan nafas kembali terdengar dari bibir Okta. Rasanya ini seperti mimpi. Bisa berdiri di depan podium seperti tadi tidak pernah ada dibayangannya selama 25 tahun hidup di dunia.
"Nih, minum" Vano menyerahkan sebotol air mineral yang sudah dia bukakan tutupnya. Okta menerima dengan senang hati. Perempuan itu meminumnya sampai tersisa setengah.
"Masih gugup?" tanya Vano dengan nada rendah. Dia mengambil posisi duduk di samping Okta. Mereka kini masih berada di ruang tunggu studio, sembari menunggu Pak Adi selesai menyiapkan mobil.
Okta mengangguk tanpa bersuara. Pikirannya berkelana kemana-mana. Memikirkan persepsi orang-orang tentang dia setelah video konferensi pers yang tadi ditayangkan di hampir semua stasiun televisi. Sudah bisa dipastikan besok wajahnya dan wajah Vano akan menjadi headline dimana-mana, dengan judul berita yang penuh kontroversi.
"Gimana kalo yang gak suka sama kita jadi tambah banyak?" tanya Okta dengan nada gusar. Rasanya dia kepengen hidup normal, bisa jalan kesana-kemari tanpa perlu mikir dua kali karena takut diikuti haters.
"Padahal tadi lo sendiri yang bilang, kita gak bisa maksa orang lain untuk suka sama kita. Jadi kenapa lo masih mikirin itu. Hati orang itu urusan masing-masing, yang gak suka biar gak suka. Sekarang tugas lo cuma perlu tutup kuping, gak perlu dengerin omongan orang. Nurutin omongan orang pasti gak ada habisnya, lo malah sakit sendiri entar" jelas Vano dengan muka serius. Matanya menyorot tajam kearah bola mata Okta, membuat perempuan itu tidak bisa berkutik.
Kenapa disaat seperti ini, Vano selalu berhasip membuat Okta tenang. Cowok itu punya cara sendiri untuk mengendalikan suasana kembali kondusif. Dia selalu berhasil membuat orang tenang dengan kata-kata penenangnya meskipun Okta tau, cowok itu juga sama-sama gelisah. Tapi memang dasarnya Vano jago mengendalikan perasaan, dan bersikap setenang mungkin padahal pikirannya juga sedang kacau.
Dering ponsel Vano memecah chemistry yang tercipta antara dua orang itu. Vano merogoh ponselnya yang ada di saku jaket, dia melihat sekilas. Karena pencahayaan yang mendukung, Okta dapat melihat nama yang tertera di HP cowok itu, Kia♡.
Okta mengalihkan pandangannya darisana. Vano kemudian bangkit, pamit pergi dengan alasan harus mengangkat telfon dari client penting. Padahal Okta tau siapa yang dimaksud 'client penting' oleh cowok itu. Tanpa sepengetahuan Vano, Okta ikut bangkit dan membuntutinya dari belakang. Merasa penasaran dengan apa yang akan mereka bicarakan nanti.
"Hallo Kia?" Vano menyapa lebiu dulu, dengan suara yang lembut. Bahkan ini adalah suara paling lembut milik Vano yang baru sekarang ini Okta dengar. Akh baru juga nguping diawal, dia udah snewen duluan. Pas bicara berdua, mana pernah Vano memanggilnya selembut ini.
Kia, itu adalah nama panggilan khusus dari Vano. Cuma dia yang memanggil Kiara dengan panggilan, Kia. Orang lain biasanya memanggil perempuan cantik itu dengan panggilan 'Ra', 'Ara', ada juga yang lengkap Kiara.
"Kamu lagi dimana?" Kiara bertanya dari seberang telfon, dengan nada tidak kalah halus. Suaranya aja berhasil buat Okta insecure. Dia bisa jamin, Kiara pasti belum pernah makan bakwan sambil minum es fanta. Suaranya bening abis, lebih merdu ketimbang suara mc gereja.
"Lagi di Studio" sahut Vano sembari menyenderkan bahunya di tembok. Okta masih setia menguping dari jarak 10 meter.
"Sama istri kamu?" cowok itu tidak langsung menjawab. Dia diam terlebih dulu, kemudian baru menjawab iya.
"Van...."
"Hmm?"
"Aku liat video kalian di TV tadi", Kiara menjeda ucapannya. Dari seberang telfon Vano bisa mendengar kalau perempuan itu sedang menghela nafas. "Kalian cocok ya, couple goals banget" kekehnya kecil.
"Ra..."
Ra, mendengar panggilan itu Kiara langsung diam. Vano tidak biasa memanggilnya dengan panggilan itu, kecuali kalau cowok itu sedang marah atau sedang membahas pembahasan serius.
"Aku nggak suka kamu ngomong gitu" ucap Vano yang tanpa sadar menyinggung perasaan Okta di belakang sana. Perempuan itu memegang dadanya, kenapa terasa perih. Padahal harusnya dia tau diri, di hati Vano cuma ada Kiara. Dan akan terus begitu sampai kapanpun.
"Tapi itu kenyataannya kan. Kamu udah sama dia, Van. Kalo kamu bahagia, aku siap mundur" Kiara sendiri sedang mati-matian menahan sakit hati. Andai dulu Papanya tidak keras kepala, menjodohkan dia dengan laki-laki yang tidak dia sukai. Sehingga membuatnya harus meninggalkan Vano, cinta pertama dan terakhir bagi Kiara. Andai tidak ada perjodohan itu, pasti sekarang dia dan Vano masih sama-sama. Mereka pasti menjadi pasangan paling bahagia di dunia.
Tapi itu semua cuma kata 'andai'. Karena kenyataannya waktu tidak bisa diputar, takdir tidak bisa dirubah. Mereka harus menerima kenyataan disaat keadaan sudah tidak sama seperti dulu.
"Siapa yang nyuruh kamu mundur?!" Vano bertanya dengan nada tidak suka. Rahangnya mengetat hingga otot-otot lehernya tercetak jelas.
Tidak adanya sahutan dari Kiara, tapi dari deru nafasnya Vano tau kalau perempuan itu sedang menangis. Vano kembali bicara, "Jangan nangis, Bidadari gak boleh sedih. Gak usah percaya sama media, cukup percaya sama aku. Semua pasti baik-baik, aku bakal berusaha perbaiki semuanya"
Tapi lo malah makin ngehancurin semuanya, Van.
Kiara menghela nafas panjang, sebelum akhirnya senyum tipis tersungging di bibir perempuan cantik itu. "Aku percaya sama kamu, love you Geovano"
"Love you more, Kia"
Okta rasanya ingin menertawai hatinya yang receh abis. Masak gini doang sakit hati, lemah! Perempuan itu tertawa miris, udah tau bakalan kecewa, tapi tetap aja berharap.
Jadi sebenarnya siapa yang salah, hatinya atau keadaan?.
Okta memilih menyingkir ke rooftop studio untuk mendamaikan pikiran. Angin kencang langsung menyambut kedatangannya di lantai paling atas studio itu. Kini dia berdiri di tepi lantai, sendirian. Ditemani sepi dan sejuta rasa terpendam yang sulit untuk dijelaskan. Kepalanya terasa berat, penuh dengan segala masalah tanpa adanya solusi.
"Berharap sama lo adalah sakit yang gue buat sendiri" gumam Okta setelah sekian lama terdiam sambil melihat awan.
"Lo ibarat cinta dan sakit yang hadir secara bersamaan", perempuan itu terkekeh kecil. "Bohong kalo gue bilang gak cinta, tapi gue juga sadar berharap sama lo itu sebuah kebodohan".
"Disaat raga lo deket sama gue, tapi kenapa hati lo rasanya jauh banget buat gue gapai"
Okta tidak menangis, dia tidak selemah itu. Hatinya sakit, tapi dia tidak semenyedihkan itu sampai harus menangis sesenggukan di pojokan.
Dering telfon mengalihkan perhatian perempuan itu dari lamunannya. Dia melihat nama yang tertera, 'Ayah'.
Nomor yang sudah 3 bulan ini tidak terlihat, kini kembali muncul secara mendadak. Tidak biasanya, Okta segera menekan ikon hijau sehingga panggilan terhubung.
"Halo, Ayah" bahkan sapaan itu terasa asing di mulut Okta, sekarang dia baru sadar sejauh apa jaraknya dengan sang Ayah kini. Apalagi setelah dia memutuskan untuk merantau ke Jakarta, jarak itu semakin terasa diantara keduanya.
"Gimana kabar kamu disana, lama nggak pulang" suara Fandi menyahut dengan nada rendah, terdengar lebih bersahabat.
Okta tersenyum lebar, sudah lama Ayahnya tidak bicara selembut ini, sesantai ini tanpa melibatkan emosi. "Okta baik, Ayah gimana kabarnya sama Bunda?. Baik-baik juga kan?"
"Ayah baik, Bunda juga sehat"
"Okta kangen Ayah sama Bunda" mata perempuan itu memanas, rasanya dia ingin menangis tapi ditahan. Jangan sampai ayahnya dengar suara tangisannya dan malah membuat laki-laki itu khawatir.
"Kami juga, pintu rumah selalu terbuka buat kamu. Pulang kalo kamu pengen pulang"
Iya, Okta pengen pulang Yah, Okta nggak kuat disini. Rasanya Okta ingin bilang begitu, tapi tidak bisa. Dia tidak mau membuat orang tuanya kecewa, dia tidak mau membuat ayahnya malu karena mempunyai anak perempuan yang lemah dan gampang menyerah pada keadaan.
"Ayah lihat siaran kalian di TV, gak ada masalah kan Ta?"
"Enggak Yah, semuanya baik kok. Ayah nggak perlu khawatir, Okta bisa jaga diri. Okta kan kuat" perempuan itu menyahut dengan nada semangat untuk menutupi kesedihan.
"Nak...."
"Selalu bahagia apapun yang terjadi. Kalo kamu ngerasa berat, balik badan. Masih ada Ayah dan Bunda di belakang kamu"
Kalimat itu singkat, tapi berhasil membuat dada Okta terasa terhimpit. Perempuan itu menarik nafas panjang, berusaha untuk tidak menangis.
"Ta, seburuk apapun orang menilai kamu, kamu akan tetap jadi bintang hidupnya Ayah"
"Dan Ayah akan selalu jadi angkasanya Okta"
Ayahnya mungkin bukan orang yang punya jabatan tinggi, bukan orang yang berpenghasilan milyaran, tapi ayah akan menjadi sosok paling kuat untuk membahagiakan keluarganya. Menjadi bahu paling kokoh untuk tempat melepas penat anak-anaknya.
"Okta sayang Ayah, sampai dunia berhenti berputar"
...****************...
Vano
Okta
Kiara
bener itu amp hamidun🤔
kasian tuh sana sini musti pinter nyari jln