Membaca novel ini bisa menyebabkan baper akut, kesel, geregetan, emosi tingkat tinggi, juga sedih karena mengandung banyak bawang yang juga bikin nyesek. Yang lemah hati lebih baik menyingkir. Takutnya nggak akan kuat. Tapi semua akan edan pada waktunya, eh salah, maksudnya akan manis pada waktunya. Jadi, bijaklah dalam memilih bacaan.
Ini adalah season kedua dari novel 'SUGAR'. Kini cerita beralih pada keturunan mereka, Dygta Hanindiita.
Dygta berusaha keras meredam perasaannya kepada Arfan, asisten dari ayah, sambungnya, sekaligus sahabat ibunya.
Usia mereka yang terpaut cukup jauh membuat segalanya terasa semakin sulit. Terlebih lagi, status Arfan yang sudah beristri dan memiliki satu anak balita.
Namun tugas Arfan yang diberi tanggung jawab penuh oleh Satria untuk menjaga Dygta hingga gadis itu beranjak dewasa, membuat mereka berdua semakin dekat.
Keadaan istrinya yang koma pun menambah segalanya menjadi semakin rumit.
"Jangan gila Arfan! dia sudah seperti anakmu sendiri!"
follow author di
ig @tiyanapratama
fb FitTri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
*
*
Arfan melangkahkan kakinya degan ringan melewati lorong rumah sakit ke lantai empat tempat Dygta di rawat selama tiga hari ini. Pria itu menyempatkan diri datang ke rumah sakit sebelum pergi ke kantor. Satu kantung makanan ringan dia bawa ditangannya.
Arfan mengetuk pintu, lalu membukanya dengan perlahan. Tampak gadis itu tengah berjalan tertatih lalu berusaha naik ke tempat tidurnya.
"Memangnya kamu sudah bisa?" Arfan setengah berlari menerobos masuk kedalam ruangan. Dia langsung meraup tubuh Dygta untuk membantunya naik ke tempat tidur setelah sebelumnya meletakan bungkusan makanan di meja.
"Ng ... aku juga bi-ssa... " Dygta tak sempat menjawab, dalam sekejap saja dia sudah berada diatas tempat tidurnya. Gadis itu lalu diam karena terkejut.
"Kamu tidak pergi bekerja?" suara Sofia menginterupsi. Tubuh Arfan sedikit menegang, dia tak mengira sama sekali jika di ruangan itu ada orang lain selain Dygta. Dia bahkan lupa bahwa gadis itu di tunggui oleh ibunya.
"Mmm... aku, ... mampir untuk... " Arfan berusaha mengingat apa yang telah membawanya kembali mendatangi rumah sakit tersebut, selain karena selama dua malam berturut-turut dia tak bisa melepaskan pikirannya dari Dygta.
Sofia mengerutkan dahi.
"Ponsel, ..." Arfan merogoh saku jas nya. Mengambil ponsel yang dia kantungi sejak dari rumah.
"Aku mampir untuk mengantarkan ponsel milik Dygta." sambungnya, yang lantas menyodorkan benda pipih tersebut kepada pemiliknya.
Mata Dygta membulat dengan sempurna. "Nggak hilang?" katanya.
Arfan tak menjawab, dia hanya menatap gadis itu dalam diam.
"Memangnya nggak rusak?" Dygta segera merebut benda tersebut dari tangan Arfan.
"Tidak. itu bahkan masih menyala waktu om temukan di pinggir sungai." jawab Arfan.
"Beneran? kok aku nggak nyadar, ya? Aku pikir hape nya hilang terbawa arus sungai." dia mengutak-atik ponsel tersebut setelah menyalakannya.
"Tidak, Kondisinya masih bagus waktu ditemukan. Hanya sedikit basah dan terkena lumpur, setelah di bongkar dan dikeringkan, lalu dibersihkan sedikit jadi terlihat seperti baru." jelas Arfan.
"Ah, syukurlah." Dygta mendekapnya seolah benda itu sangat berharga. Namun sesaat kemudian dia membeku ketika ingat apa yang ada di dalam ponselnya tersebut. Rahasia terbesarnya ada didalam sana. Tubuhnya kemudian menegang.
"Om, ... periksa?" tanya Dygta dengan ragu-ragu.
"Ya." Arfan mengangguk. "Sudah om periksa juga. Sepertinya tidak ada data yang hilang." lanjutnya, dengan pandangan tak biasa.
Walau faktanya memang dia telah mengetahui isi dari benda tersebut jauh sebelum hari ini, namun tetap saja dirinya merasa benar-benar terkejut. Setelah dua malam berturut-turut kembali mengobrak-abrik ponsel itu dan memastikan prasangkanya. Dan fakta mencengangkan pun kembali dia temukan.
Membuatnya merasakan hal lain setelah mengetahui bahwa gadis itu memiliki perasaan lebih kepadanya. Sekalipun dia tak benar-benar yakin, namun tetap saja hal itu membuatnya sedikit terguncang.
Wajah Dygta terlihat memucat. Lalu mereka berdua sama-sama diam dengan pikirannya masing-masing.
Sofia menatap interaksi di hadapannya dengan heran. Kecurigaan kembali muncul di benaknya.
Lalu suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan mereka bertiga. Yang serentak menoleh ketika pintu di dorong dari luar.
Wajah Evan yang muncul pertama kali, kemudian disusul kedua orang tuanya yang mengikuti dari belakang.
"Selamat pagi?" sapa perempuan yang dikenali sebagai ibunya Evan. Sementara putranya malah tertegun setelah menyadari pria yang berada di dalam ruangan yang mereka tuju.
"Pagi ..." Sofia menjawab, lalu menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
"Apa kami mengganggu? kami hanya ingin menjenguk Dygta, apa keadaannya sudah membaik?" perempuan itu mendekat.
"Ah, Dygta sudah baikan. Hari ini bisa pulang." jawab Sofia, yang kemudian menerima bingkisan yang di berikan Evan kepadanya.
"Terimakasih, Arfan. Sekarang kamu bisa kembali bekerja." ucap Sofia, yang sejenak mengalihkan perhatiannya.
Dan Arfan pun tersadar setelah diam cukup lama. "Baiklah, ..." ucapnya, seraya berjalan lalu menganggukkan kepala ketika melewati tamu yang baru saja tiba. Kemudian dia pun memutuskan untuk pergi.
"Maaf, tante ..." terdengar suara Evan yang segera menyapa. Seketika menghentikan langkah Arfan saat pria itu sudah berada diluar ruangan. Dia menunggu beberapa detik untuk mendengarkan percakapan.
"Tidak apa-apa Evan. Lihat, Dygta sudah baikan." jawab Sofia, yang terdengar dengan ramah.
Arfan menggelengkan kepala saat menyadari kelakuannya sendiri.
Kenapa aku menjadi seperti pengintip macam ini? batinnya, yang kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu.
*
*
*
Seorang pria muda sudah berada di dalam ruangannya begitu Arfan tiba. Berdiri tegap bersiap menerima perintah atau apapun yang akan dilakukan atasannya itu setelah selama tiga hari berturut-tutut dirinya dibebas tugaskan karena insiden menghilangnya Dygta dari perkemahan.
"Selamat pagi, pak?" sapa Andra, begitu menyadari atasannya masuk kedalam ruangan.
Arfan tak menjawab. Hanya terus melayangkan pandangan tajam ke arahnya. Kemarahan masih tampak pada pria 38 tahun itu setiap kali mengingat kesalahan fatal yang dilakukan bawahannya tersebut.
"Kamu masih berani menampakkan batang hidungmu disini?" Arfan menempelkan bokongnya pada pinggiran meja kerja dengan kedua tangan dilipat didada.
"Saya minta maaf, pak." ucap Andra, dia memberanikan diri menatap wajah tegas atasannya.
"Permintaan maaf mu tidak akan berguna. Apa yang menimpa Dygta merupakan kesalahan yang sangat Fatal." jawab Arfan dengan suara dingin dan datar.
"Saya tahu, pak. Dari itu saya ingin menebusnya." tukas Andra.
"Dan bagaimana caramu menebusnya? setelah kamu membahayakan nyawa seorang anak karena kelalaianmu? Kamu pikir kami masih kan menaruh kepercayaan kepadamu? kamu tahu, kami tidak pernah mentoleransi kesalahan semacam ini." Arfan bangkit dari posisinya.
Andra tak menjawab. Kelengahannya memang sangat fatal. Ini memang pertama kalinya dia mendapatkan tugas pengawasan secara pribadi setelah hampir lima tahun mengabdi sebagai staf pengamanan dibawa instruksi Arfan. Biasanya dia hanya akan mendapatkan tugas penyelidikan beberapa kasus kejanggalan di dalam perusahaan rekanan Satria, ataupun pengawasan terhadap beberapa orang yang dicurigai berpotensi melakukan kecurangan. Dan dia mampu melakukannya dengan baik tanpa kesalahan sedikitpun. Itulah sebabnya Arfan mencoba menugaskannya dalam pengawalan pribadi tempo hari.
Yang tanpa Andra duga, tugas ini ternyata lebih berat dari pada mengawasi orang-orang sebelumnya. Menangani remaja seperti Dygta dan teman-temannya ternyata membutuhkan perhatian ekstra.
"Satu-satunya yang membuatmu dipertahankan setelah melakukan kesalahan fatal ini adalah karena sahabatmu adalah keponakan pak Satria. Yang meminta secara langsung untuk memberimu pekerjaan yang lebih layak dari sebelumnya." Arfan berdiri di dekat jendela besar yang menghadap pemandangan kota Jakarta denga hamparan gedung tinggi dan bangunan kokoh.
"Aku tidak meragukan kemampuanmu. Selama lima tahun ini pekerjaanmu sangat baik. Maka dari itu aku menugaskanmu untuk pekerjaan ini. Tapi hasilnya? Mengecewakan." Arfan menggelengkan kepala.
Andra mengeratkan rahangnya.
"Pergilah, sementara waktu tugasmu aku ambil alih. Aku akan manggilmu nanti jika tenagamu dibutuhkan." Arfan menoleh sekilas.
"Tapi pak, ..."
"Aku tidak akan mengulang kata-kataku." pria itu berjalan ke arah kursi kerjanya, lalu menghempaskan tubuhnya disana.
"Pergilah." ucap Arfan lagi.
Andra tak membantah. Dia segera keluar dari ruangan itu dengan raut kecewa.
*
*
*
Bersambung ...
Tumben om nggak ngamuk?
Ada yang kangen Babang Terang? eh, ..babang Andra maksudnya.. 😂😂😂