Berawal dari pekerjaan sebagai 'suami bayaran' Devan akhirnya terjebak dalam sebuah kisah cinta rumit diantara kaka beradik, Bellinda Halley dan Clarissa Halley.
Pada siapa akhirnya Devan melabuhkan hatinya?
Baca juga side story dari karya ini:
"Bidadari untuk Theo" yang merupakan kisah dari Theo Rainer, sepupu sekaligus asisten dari Bellinda Halley.
"Oh, My Bee" yang merupakan kisah dari Nick Kyler, mantan calon tunangan Bellinda Halley yang mempunyai penyakit alergi pada wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bundew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEKAMAR SERANJANG
Makan malam sudah usai.
Bellinda membuka pintu kamarnya dengan kasar. Clarissa masih sibuk memelototi layar macbook di depannya, jadi Bellinda memilih untuk tidak menyapa adik perempuannya tersebut.
Nona direktur itu langsung membuka lemari besarnya dan mengeluarkan beberapa baju untuk ia bawa pindah ke kamar Devan.
Huh! Merepotkan!
"Kau yakin akan butuh piyama sebanyak itu?" Tanya Clarissa yang sudah mengalihkan pandangannya ke arah Bellinda yang masih sibuk memilah-milah piyama miliknya.
"Apa maksudmu?" sergah Bellinda berusaha abai.
"Bukankah kau akan tidur dengan suamimu? Biasanya wanita normal tidak perlu lagi memakai piyama atau baju lainnya setelah masuk ke kamar," ujar Clarissa dengan nada sangat santai.
Bellinda yang mendengar kalimat Clarissa barusan, mendadak jadi batuk-batuk karena tersedak ludahnya sendiri.
"Kau seperti wanita dewasa yang sudah berpengalaman saja," sindir Bellinda seraya mendengus sebal.
Clarissa tergelak mendengar sindiran sang kakak.
"Ngomong-ngomong, Devan orangnya asyik juga diajak ngobrol. Tapi aku lihat sikapnya masih sedikit kaku kepadamu. Apa dia juga seperti itu saat di atas ranjang?" Tanya Clarissa lagi mulai kepo.
"Pertanyaanmu benar-benar sudah melampaui batas, Nona Clarissa!" Tegur Bellinda sinis.
Bukannya merasa bersalah, Clarissa malah semakin tergelak.
Bellinda memilih untuk mengabaikan adiknya yang sedikit sinting ini.
Wanita itu sudah selesai mengambil beberapa bajunya dan segera keluar dari kamarnya sendiri yang kini dikuasai oleh Clarissa.
Bellinda mendorong kasar pintu kamar Devan, hingga si empunya kamar yang sedang duduk santai di atas ranjang terlonjak kaget.
"Kau ingin pindahan, Bell?" Tanya Devan heran.
"Diamlah!" Gertak Bellinda seraya menyentak pintu lemari dengan kasar. Tanpa memilah, Bellinda menyumpalkan begitu saja baju-bajunya ke lemari Devan.
Devan yang menyaksikan semua pemandangan tersebut hanya geleng-geleng kepala.
"Kita akan berbagi kamar mulai malam ini. Kau senang sekarang?" Sinis Bellinda seraya menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang Devan.
Devan hanya tersenyum menanggapi tingkah Bellinda yang sepertinya sedang kesal tersebut.
"Benar-benar sulit di percaya. Aku pemilik apartemen ini, dan sekarang gadis sinting itu menguasai kamarku dengan sangat lancang." Bellinda masih tak berhenti menggerutu.
"Lalu kenapa kau tidak menuruti permintaan Clarissa saja, untuk pulang ke rumah orang tuamu?" Timpal Devan memberikan usul.
"Kita juga akan tetap berbagi kamar jika pindah kesana. Apa kau sedang mencari kesempatan?" Tuduh Bellinda seraya mendelik ke arah Devan.
Pria itu mengangkat tangannya ke arah Bellinda, pertanda menyerah dan enggan berdebat lagi.
"Ngomong-ngomong, aku harus menjadi suami bayaranmu sampai kapan?" Devan mengalihkan topik pembicaraan, sekedar untuk mencairkan suasana yang sedikit tegang.
"Kenapa bertanya? Apa kau sudah tidak sabar menjadi orang kaya baru bersama Riana?"cecar Bellinda pedas.
"Tidak! Bukan itu maksudku!" Sangkal Devan cepat.
"Aku lihat kau begitu menderita setelah menjadikanku suami bayaran. Kau terkekang di apartemenmu sendiri, kau harus beberapa kali mencium bibir pria asing, dan kau harus terus berakting untuk meyakinkan semua orang kalau kita memang pasangan suami istri." Devan menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. Dan Bellinda masih menyimak sambil menautkan kedua alisnya.
"Maksudku, jika kontrak ini berakhir, bukankah kau akan lebih bebas dan kembali ke kehidupan normalmu sebagai Nona Bellinda yang sempurna." Devan mengucapkan lima kata terakhir dengan nada yang lebay.
Bellinda memutar bola matanya.
"Proyek baru rampung 30%. Jadi aku tidak mungkin menceraikanmu sekarang. Lagipula, kita menikah baru dua bulan, lucu sekali kalau kita sudah berpisah secara tiba-tiba." Bellinda tersenyum miris.
"Akan kentara sekali kalau kita hanya menikah settingan," imbuh Bellinda lagi yang kini menerawang.
"Lalu, agar tidak kentara atau menjadi sebuah skandal, berapa waktu yang ideal untuk kita berpisah setelah pernikahan palsu ini?" Tanya Devan sok serius.
"Harusnya satu tahun. Tapi karena aku masih ingin tetap waras, jadi aku persingkat saja menjadi enam bulan," jawab Bellinda yang langsung membuat Devan mendengus sebal.
"Apa maksudmu masih ingin tetap waras? Apa kau menganggap kalau aku ini yang sudah membuatmu menjadi tidak waras?" Sergah Devan merasa tidak terima.
"Bukan aku, tapi kau yang baru saja mengatakannya dan menuduh dirimu sendiri," Bellinda menuding sesaaat ke arah Devan.
Devan menggeram kesal. Namun Bellinda mengabaikan pria itu dan malah menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Bellinda berbaring miring dan membelakangi Devan.
Baru saja, Bellinda akan memejamkan mata, telinganya tak sengaja mendengar ponsel Devan yang berdering nyaring.
"Hai, Riana!" Sapa Devan pada orang yang meneleponnya barusan.
Tidak!
Devan tidak sedang menelepon. Pria itu malah sedang video call sekarang.
"Bagaimana kabarmu, Mas?" Suara Riana dari seberang telepon terdengar jelas di telinga Bellinda.
Nona direktur itu mengurungkan niatnya untuk tidur, dan segera memasang pendengarannya baik-baik. Masih dengan posisi membelakangi Devan, Bellinda mulai menguping pembicaraan Devan dan Riana di telepon.
"Kabarku baik. Kau kemana saja kemarin? Nomormu tidak bisa dihubungi," cecar Devan yang terdengar sedih.
"Ponsel Riana rusak. Jadi Riana minta maaf,"
"Oh, begitu. Yaudah, jangan sedih. Aku hanya khawatir saja karena mendadak nomormu mati selama berminggu-minggu." Suara Devan terdengar lembut.
Bellinda masih memasang pendengarannya baik-baik. Mendadak nona direktur itu merasa penasaran dengan obrolan Devan dan Riana.
"Mas Devan lagi dimana?"
"Di kamar. Udah mau tidur, tapi mendadak kangen sama kamu. Eh kamunya telepon," Devan menggombali Riana dan sedikit terkekeh.
Bellinda yang mendengar gombalan Devan hanya memutar bola matanya seraya mencibir. Namun Devan tidak tahu tentu saja karena nona direktur itu masih memunggungi Devan.
"Mas Devan bisa saja. Riana kan jadi malu."
"Aku kangen sama kamu, Riana." Yang ini suara Devan terdengar memelas.
"Riana juga kangen sama mas Devan. Kapan mas Devan pulang?"
"Beberapa bulan lagi. Kamu sabar dulu ya, nungguin mas,"
Terdengar isak tangis dari seberang telepon. Bellinda rasa, pacar Devan itu tengah menangis sekarang.
"Hei, kenapa menangis?" Tanya Devan khawatir sambil mengusap-usap layar ponselnya yang ada wajah Riana.
Gadis itu terlihat menggeleng-geleng di layar telepon.
"Mas pulang tidak lama lagi. Kamu sabar ya, Riana," ucap Devan lagi masih dengan nada lembut. Riana mengangguk-angguk.
"Oh, ya. Mas sudah menghubungi bapak sama ibu?"
"Ya, kemarin karena nomor kamu tidak aktif beberapa minggu, jadi mas minta tolong salah satu teman Mas buat beliin ponsel buat bapak ibu. Jadi sekarang mas sudah bisa menghubungi mereka tanpa perlu merepotkanmu," cerita Devan yang langsung disambut Riana dengan sebuah anggukan.
"Udah malam. Mas istirahat ya! Besok kerja, kan?"
"Iya. Kamu juga istirahat, ya!" Balas Devan masih dengan nada lembut.
"Bye, Mas Devan. Cepat pulang!"
"Bye, Sayang!" Pungkas Devan seraya mengakhiri panggilannya.
Layar ponsel sudah mati, dan Devan berulang kali menghela nafas.
Devan memang rindu pada Riana. Tapi belakangan ini, Devan merasa aneh pada perasaannya sendiri.
Rasa rindunya pada Riana tak lagi menggebu-gebu seperti saat pertama kali Devan menginjakkan kaki di kota ini. Apa mungkin perasaan Devan ke Riana memang sudah luntur?
Atau memang selama ini sebenarnya Devan tidak mencintai Riana dan hanya merasa berhutang budi pada gadis itu?
Devan meletakkan ponselnya di atas nakas dan berbaring miring membelakangi Bellinda. Sepertinya itu memang posisi favorit Devan dan Bellinda saat harus tidur seranjang.
Saling memunggungi!
"Ehem!" Bellinda berdehem.
"Kau belum tidur, Bell?" Tanya Devan tanpa mengubah posisinya.
"Ya, mendadak aku merasa haus karena mendengar gombalan seorang pria di dekatku." Bellinda sudah beranjak bangun dan duduk di tepi tempat tidur.
Gadis itu meraih gelas di atas nakas yang ternyata kosong. Bellinda mendengus kasar dan segera bangkit berdiri, membuka pintu kamar lalu menuju ke arah dapur untuk mengambil minum.
Tenggorokan Bellinda sekering Gurun Sahara rasanya.
.
.
.
Aku cemburu...
Melihat kamu video call-an 🎶🎶🎶
Terima kasih yang sudah mampir.
Dukung othor dengan like dan komen di bab ini 👠