Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Operasi Lancar
Ia lama terdiam.
Ketika kembali ke ruang tunggu, malam sudah semakin larut. Jam dinding menunjukkan lewat tengah malam. Ana masih duduk pada posisi yang hampir sama, namun sorot matanya kini lebih lembab. Ardian berdiri dekat jendela, seperti menjaga dirinya agar tidak runtuh.
Lia duduk tak jauh, tapi juga tidak terlalu dekat. Ia tahu batas. Ia tahu tempatnya. Tidak ada satu pun dari mereka yang tahu ia adalah istri lelaki di ruang operasi itu, apalagi seorang ibu yang sedang mengandung anaknya.
Dan ia memilih tetap diam.
Detik terasa berubah menjadi jam. Setiap langkah dokter yang lewat seakan membuat nyali mereka runtuh, lalu tegak lagi.
Akhirnya—pintu ruang operasi terbuka.
Seorang dokter muda dengan masker diturunkan ke dagu keluar. Wajahnya lelah namun tidak sesuram sebelumnya.
“Ibu Ana Kusuma?” tanyanya.
Ana spontan berdiri. Ardian menyusul. Lia ikut ikut berdiri tanpa sadar, meski tetap menjaga jarak.
“Operasi berjalan lancar,” ujar dokter itu tenang. “Pendarahan sudah kami tangani. Sekarang beliau masih dalam pengawasan ketat dan akan dipindahkan ke ruang ICU terlebih dahulu untuk observasi.”
Ana langsung menangis—tapi tangis lega. Ardian menutup wajahnya sesaat, menahan luapan emosi.
“Dok… bagaimana dengan ingatannya?” tanya Ardian, suara bergetar.
Dokter itu menarik napas pelan. “Untuk hal itu… kita belum bisa memastikan. Trauma di kepala bisa memulihkan sebagian memori… bisa juga justru menghapus memori yang terbentuk setelah kejadian trauma. Semua bergantung respons otak pasien setelah sadar nanti.”
Jawaban itu menggantung. Tidak tegas. Tidak mutlak. Namun cukup untuk menghantam jantung Lia.
Memori yang terbentuk setelah kejadian trauma. Itu berarti, Kemungkinan besar ingatannya tentang desa… tentang malam-malam sederhana bersama Lia… tentang sebutan “istriku” yang lirih dan tulus…
bisa lenyap seperti embun pagi.
Lia menunduk. Ia bersyukur lelaki itu selamat. Namun di saat bersamaan, ia merasa seperti baru saja mengantar kepergiannya dari hidupnya sendiri.
Ana memeluk suaminya erat. “Ardian… anak kita selamat…”
Natan menutup mata, melepaskan napas panjang yang sejak tadi ia tahan. Dalam hatinya, potongan puzzle yang ia lihat di desa kini tersusun, pria sederhana yang dipanggil Wijaya… adalah Krisna Kusuma.
Ia sempat melirik Lia. Gadis desa itu berdiri diam, tubuhnya kecil namun kuat menahan badai. Tidak satu pun dari mereka tahu rahasia paling besar yang ia bawa dalam rahimnya.
Seorang perawat keluar mendorong brankar.
Krisna kini tertidur dengan wajah lebih tenang, kabel-kabel medis terpasang di tubuhnya.
Ana mengikuti langkah perawat dengan air mata mengalir tanpa ia hapus.
Lia hanya mengikuti sampai batas pintu. Ia tidak ingin melampaui garis yang tak terlihat itu. Garis antara keluarga sah dan perempuan yang harus rela melepaskan.
Ia berdiri memegangi dadanya sendiri. Lelah. Ngantuk. Sakit. Tapi tidak bersandar sedikit pun. Ia tidak akan menyulitkan siapa pun. Bahkan tidak akan membiarkan siapa pun tahu ia sedang mengandung.
Malam itu, dunia seolah membelah, di satu sisi, ruang ICU yang terang di sisi lain, hati Lia yang gelap namun pasrah.
Ia berbisik sekali lagi pada dirinya sendiri, “Selamat datang kembali, Krisna… meski itu berarti selamat tinggal untukku.”
.
Pagi merayap pelan lewat jendela kaca besar rumah sakit itu. Tirai tipis menahan cahaya, membiarkannya masuk sebagai temaram keemasan. Koridor sudah kembali ramai, suara langkah dokter dan roda brankar bersahutan, namun di ruang tunggu lantai tiga suasana masih terasa seperti sisa malam.
Lia mengerjapkan mata pelan.
Ia tidak sadar kapan tepatnya tertidur—mungkin setelah azan Subuh merambat lembut dari masjid kecil depan rumah sakit, mungkin setelah doa terakhirnya selesai ia bisikkan sambil memeluk perutnya sendiri. Kepala Lia bersandar di dinding, kerudungnya sedikit miring, jemarinya masih menggenggam ujung baju seperti anak kecil yang ketakutan.
“Lia…”
Suara lembut memanggilnya.
Ana berdiri di hadapannya, sudah rapi, namun mata sembabnya tak bisa menipu siapa pun. Di tangannya ada kotak kecil dari kantin rumah sakit dan segelas susu hangat.
“Kamu belum makan sejak kemarin,” ucap Ana pelan.
Lia buru-buru bangkit setengah duduk. “Saya tidak apa-apa, Bu… saya...”
“Tidak,” potong Ana lembut namun tegas. “Kalau kamu jatuh sakit, siapa yang akan kuat menunggu dia?”
Kata-kata itu membuat Lia diam. Ana membuka kotak makanan itu. Nasi putih hangat, telur dadar sederhana, dan sayur bening. Sangat sederhana untuk ukuran keluarga Kusuma, namun justru karena itu terasa seperti perhatian yang tulus.
“Maaf ya, hanya ini yang ada di kantin,” kata Ana, sedikit canggung.
Lia menggeleng, matanya mulai berkaca. “Ini sudah… lebih dari cukup, Bu.”
Ia makan perlahan pada awalnya. Lalu rasa lapar yang ditahannya semalaman menyerbu tanpa bisa ia kendalikan. Sendok bergerak lebih cepat. Nasi, telur, sayur hangat, semua lenyap tanpa sisa.
Ana memperhatikan diam-diam. Ada perasaan aneh menyelinap ke dalam dadanya melihat gadis itu makan lahap seperti anak sendiri.
“Tambahkan ini,” kata Ana sambil menyodorkan susu. “Biar perutmu hangat.”
Lia menerima, kedua tangannya gemetar kecil. Ia meminumnya perlahan. Hangatnya turun ke dada, lalu ke perut, lalu menjadi rasa ingin menangis yang sulit dijelaskan.
Tidak ada seorang pun di ruangan itu tahu bahwa setiap teguk ia minum bukan hanya untuk dirinya—melainkan untuk kehidupan kecil yang tengah ia lindungi diam-diam.
Tidak ada yang tahu bahwa semalaman ia tak hanya berdoa untuk nyawa seorang lelaki, tetapi juga untuk masa depan anak mereka.
Ana duduk di sampingnya.
Ia menatap pintu ICU yang masih tertutup rapat.
“Operasi berjalan lancar,” katanya lirih, seolah masih takut memecahkan keajaiban itu jika suara dibuat terlalu keras. “Dokter bilang… tinggal menunggu dia sadar.”
Lia mengangguk pelan.
Tapi kalimat dokter lain juga berputar di kepalanya:
Jika ingatan lamanya kembali… ingatan barunya bisa hilang.
Dan “ingatan baru” itu adalah dirinya.
Ana tidak tahu apa pun tentang itu. Ardian tidak tahu. Seluruh rumah sakit tidak tahu.
Hanya Lia yang memeluk kenyataan itu sendirian.
Ana tersenyum tipis, senyum seorang ibu yang paham bahwa ada hal-hal yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Ia tidak bertanya lebih jauh tentang hubungan mereka. Tidak memaksa. Tidak menghakimi. Ia hanya merasakan bahwa gadis ini punya ruang istimewa dalam hidup anaknya.
“Baiklah,” katanya lembut. “Kalau begitu, tetaplah dekat. Kalau dia terbangun… mungkin kamu yang pertama ingin dia lihat.”
Lia menunduk.
Ia menggenggam jemarinya sendiri, menahan air mata yang hampir jatuh.
Dalam hati ia berbisik, Kalau Mas Wijaya benar-benar kembali jadi Krisna… dan dunia Mas Wijaya bukan lagi aku… aku janji nggak akan ganggu. Aku cuma mau lihat Mas Wijaya bahagia, meski aku harus berdiri jauh sekali.
Di luar jendela, matahari pagi akhirnya naik penuh.
Hari baru dimulai.
Namun bagi Lia, hari itu terasa seperti garis tipis antara yang harus ia pertahankan… dan yang harus ia lepaskan.